pemilu.antaranews.com
HITUNG CEPAT
PEMILU PRESIDEN 2024
25.55%
57.81%
16.62%
25.34%
58.08%
16.58%
25.06%
59.08%
15.86%
24.77%
59.19%
16.04%

Terbentuknya gerakan kekuatan rakyat

Rutan Salemba sudah terima logistik Pemilu 2024
Warga melintas di samping spanduk sosialisasi Pemilu 2019 di Jalan Imam Bonjol, Jakarta, Senin (1/4/2019). KPU mensosialisasikan kepada masyarakat agar menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2019 yang akan dilaksanakan pada 17 April mendatang. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/pras.)
Jakarta (ANTARA) - Dalam sejarah politik di mana pun, kekuatan rakyat yang menjelmakan diri dalam bentuk unjuk rasa massal di jalan-jalan bukanlah resultante atas seruan alias rekayasa politisi yang sedang berkepentingan dalam perburuan kekuasaan.

Untuk memberikan gambaran jelas tentang bagaimana gerakan kekuatan rakyat itu terbentuk, fenomena paling pas yang bisa dirujuk adalah peristiwa politik di Filipina yang berujung pada tergulingnya kekuasaan otoriter Ferdinand Marcos pada 1986.

Pada 22-25 Februari 1986, ditaksir sekitar 2 juta orang berkumpul di kawasan Epifanio de los Santos, Metro Manila, menuntut penggulingan Presiden Ferdinand Marcos dan penetapan Corazon Aquino sebagai penggantinya.

Keresahan dan ketakpuasan warga terhadap pemerintahan Marcos berlangsung puluhan tahun. Lalu terjadilah tragedi pembunuhan secara brutal terhadap tokoh oposisi Benigno Aquino Jr pada 1983 lewat drama yang diyakini dirancang rezim yang sedang berkuasa.

Dalam tiga tahun itulah kekuatan rakyat semakin hari semakin mengkristal dan meraksasa. Tentu pertarungan kekuasaan di tingkat elite juga mewarnai pergolakan politik yang kian hari kian memanas itu. Kalangan militer, kalangan rohaniwan, mahasiswa juga ambil bagian dalam kekecewaan rakyat terhadap penguasa yang represif dan korup.

Satu setengah windu setelah gerakan kekuatan rakyat di Filipina itu, fenomena kurang lebih serupa berlangsung di Tanah Air, dengan hasil substansial yang kurang lebih sepadan: tergulingnya penguasa otoriter yang berkuasa selama lebih dari tiga puluh tahun.

Gelombang unjuk rasa massal yang klimaksnya berlangsung pada 21 Mei 1998 itu, yang juga hari lengsernya penguasa represif dan otoriter Soeharto, adalah ekspresi kekuatan rakyat yang pembentukannya berproses beberapa tahun sebelumnya.

Benih-benih gerakan kekuatan rakyat itu tak dimulai oleh seruan atau ajakan politisi untuk turun ke jalan-jalan. Keresahan dan penderitaan rakyat yang kemerdekaan berekspresinya ditindas itulah yang membentuk gerakan kekuatan rakyat.

Disimak lebih dalam, perlawanan massal yang mengejawantah dalam bentuk gerakan kekuatan rakyat itu bukan semata-mata dilatarbelakangi oleh kesengsaraan atau kemiskinan massa tapi penindasan hak-hak politik. Penguasa bukan saja melarang pers atau oposisi bersuara bebas tapi juga membunuh dan menculik siapa pun yang dianggap merongrong sang penguasa.

Pembunuhan politik berulang kali terjadi, aktivis buruh dibantai, disiksa untuk menebarkan ketakutan di kalangan buruh agar mereka tak menuntut macam-macam yang menggerogoti bangunan kekuasaan sang otokrat. Muara penindasan itu meluber ke mana-mana: para seniman, pelawak pun yang coba-coba mengkritik penguasa akan terkena teror dan intimidasi. Buku-buku fiksi pun dilarang. Paranoia menjadi ciri utama penguasa otoriter.

Begitulah dua contoh proses terbentuknya kekuatan rakyat yang lahir dalam sejarah politik. Kedua fenomena itu, yang bisa mewakili fenomena universal terbentuknya gerakan kekuatan rakyat, dilatari oleh absennya kemerdekaan berpolitik yang tak memungkinkan demokrasi beroperasi secara substansial.

Setelah reformasi 1998, nilai-nilai demokrasi menjadi roh tatanan politik, yang membatasi masa kepemimpinan politik nasional di Tanah Air. Hanya dalam kurun 1998-2018 atau dua dekade, lima orang putra-putri terbaik menduduki kursi kepresidenan. Bandingkan dengan masa tiga dekade yang hanya diduduki seorang otokrat yang berpangkat jenderal besar, Soeharto.

Di alam demokrasi seperti sekarang ini, jika masih ada elite politik yang menarasikan gerakan kekuatan rakyat, logika politik yang mendasari lahirnya narasi itu pantas dipertanyakan jika bukan diragukan.

Adakah situasi penindasan atau pengekangan hak-hak politik warga negara oleh penguasa sehingga rakyat perlu turun ke jalan-jalan untuk melakukan perlawanan terhadap sang penguasa?

Kecurangan dalam pemilu yang dilakukan rezim Marcos, dalam kasus gerakan kekuatan rakyat di Filipina, memang juga dijadikan alasan oleh sejumlah analis politik yang mengupas pergolakan massal di sana. Namun, kecurangan itu berlangsung dalam sistem pemilu yang diselenggarakan oleh pemerintahan diktator di mana penyelenggara pemilu hingga penghitungan suaranya ditangani oleh kekuatan prodiktator.

Betapa jauhnya analogi itu jika diterapkan pada penyelenggaraan pemilu pada Pilpres dan Pileg 2019 yang semua kekuatan parpol, baik yang berada di kubu petahana maupun penantang, menyepakati tahapan-tahapan mulai perencanaan hingga penghitungan suaranya.

Sebagai negara demokrasi yang relatif mapan sistem kelembagaannya dalam penyelesaian sengketa pemilu, Indonesia memiliki Mahkamah Konstitusi yang antara lain menyelesaikan kasus-kasus ketidakpuasan kubu mana pun dalam penyelenggaraan pemilu.

Bagaimana dengan sikap elite politik yang tak mempercayai lembaga penegak hukum yang bertugas menangani sengketa dalam pemilu itu? Itu jelas penghinaan terhadap lembaga peradilan, demikian komentar kalangan pakar hukum tata negara.

Tampaknya, elite politik di mana pun selalu punya kiat-kiat untuk mencari cela yang bisa dipakai memprovokasi lawan politik. Kiat itu diperlukan untuk melapangkan jalan bagi ambisi kekuasaan politiknya. Lewat berbagai narasi yang dibangunnya, elite politik kadang memancing lawan politiknya untuk terperangkap dalam blunder jika keliru dalam mengambil langkah penindakan.

Elite politik yang sedang berkepentingan dalam perebutan kekuasaan kadang berusaha menarasikan isu-isu yang sensasional ketika strategi yang biasa-biasa saja diperkirakan tak memberikan hasil yang menguntungkan.

Melontarkan narasi tentang gerakan kekuatan rakyat dalam musim kampanye menjelang Pilpres 2019 adalah salah satu bentuk jalan meraih keuntungan politik, tentunya.*


Baca juga: Amien Rais ingatkan masyarakat waspadai "money politics"

Baca juga: Jokowi: jangan takut-takuti rakyat dalam pesta demokrasi


 
Pewarta:
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019
Bawaslu Banyumas memecat seorang pengawas TPS tidak netral Sebelumnya

Bawaslu Banyumas memecat seorang pengawas TPS tidak netral

KPU Kulon Progo tunggu putusan MK untuk tetapkan caleg terpilih Selanjutnya

KPU Kulon Progo tunggu putusan MK untuk tetapkan caleg terpilih