Oleh Arnaz Ferial Firman *)
Menjelang pemilihan calon anggota legislatif (caleg) pada 17 April 2019, sebanyak 192,8 juta calon pemilih harus ikhlas menerima keputusan majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi di Jakarta tanggal 1 Februari.
Majelis hakim akhirnya memutuskan terdakwa Eni Maulani Saragih di vonis enam tahun penjara.
Eni yang pernah duduk di Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR.RI) selama empat tahun. Tak hanya itu, Eni juga dicabut hak politiknya selama tiga tahun.
Selain itu permintaannya kepada hakim bagi pemberian status "justice collaborator" atau sebagai orang yang membantu mengungkap rahasia-rahasia yang terkait dengan tindak pidana korupsi yang dituduhkan kepada dirinya juga ditolak.
Wanita anggota parlemen ini diseret ke meja hijau setelah para penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sukses membuktikan bahwa dia ikut terlibat dalam kasus pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau I.
Wakil rakyat yang terhormat ini terbukti menerima uang sogok alias "commitment fee" dari sebuah perusahaan yang berambisi menjadi kontraktor proyek raksasa ini senilai tidak kurang dari Rp4,7 miliar.
"Uang haram" ini antara lain akan digunakan untuk membantu seorang anggota keluarganya yang berambisi untuk menjadi bupati di Provinsi Jawa Tengah.
Selesaikah Eni?
Kasus ini juga akhirnya melibatkan sesama anggota Partai Golkar, yakni Idrus Marham yang pada saat ini juga menjadi pesakitan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang juga di Jakarta dalam kasus yang sama pula.
Dia pernah menjadi pelaksana tugas Ketua Umum DPP Partai Golkar untuk menggantikan Setya Novanto yang juga terbukti terlibat dalam kasus korupsi berskala raksasa.
Setya Novanto telah terbukti terlibat dalam kasus proyek pembuatan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-E) yang bernilai triliunan rupiah. Setya Novanto dihukum 15 tahun penjara.
Setnov bahkan pernah menjadi ketua Dewan Perwakilan Rakyat, sebuah lembaga negara yang setingkat dengan lembaga kepresidenan. Tidak hanya Setnov yang jatuh tapi juga Idrus yang pada awal tahun 2018 menjadi menteri sosial pada akhirnya harus terjungkal dari kursi empuknya pada bulan Agustus 2018.
Airlangga Hartarto kemudian terpilih menjadi nakhoda Partai Golkar.
Ternyata kasus hukum tidak hanya melibatkan begitu banyak wakil rakyat berskala nasional di Senayan, Jakarta, tapi juga di berbagai daerah. KPK baru saja mengumumkan bahwa tidak kurang dari 12 anggota DPRD Provinsi Jambi dikenai status Cegah, alias tidak boleh bepergian ke luar negeri.
Mereka ini diduga terlibat kasus korupsi bersama- sama Gubernur Jambi Zumi Zola dalam masalah pengesahan RAPBD.
Di Malang, Jawa Timur, kurang lebih 41 anggota DPRD juga dipantau KPK yang lagi- lagi terlibat dalam kasus "uang haram" bersama Pemerintah Daerah Malang.
Sebelumnya puluhan mantan dan anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara telah dijebloskan ke penjara yang istilah halusnya sekarang adalah lembaga pemasyarakatan (lapas) karena ikut "bermain mata" dengan mantan gubernur Sumatera Utara Gatot Pudjo Nugroho.
Perlukah pileg?
Kasus demi kasus hukum yang melibatkan para wakil rakyat di ibu kota Jakarta dan berbagai daerah lainnya bisa menimbulkan pertanyaan di benak para calon pemilih Pileg 2019, seperti masih bergunakah pemilihan wakil rakyat jika akhirnya hanya melahirkan banyak terpidana koruptor?
Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru- baru ini mengumumkan bahwa puluhan mantan terpidana koruptor telah lolos dalam seleksi menjadi wakil rakyat. Ada yang mencalonkan diri di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) hingga DPRD tingkat provinsi, kota serta kabupaten.
Akan tetapi rakyat patut bersyukur karena tidak ada satu pun mantan terpidana koruptor yang bakal masuk ke DPR.RI.
Ternyata kurang lebih puluhan mantan koruptor ini sukses untuk maju ke Pileg 17 April mendatang karena mereka ini sudah "sukses" dalam tahap-tahap awal seleksi mulai dari kota, kabupaten hingga provinsi.
Entah mereka yang "hebat" ataukah tim seleksi dari berbagai partai politik itu yang tega mencantumkan atau memasukkan nama-nama orang pernah dinyatakan sebagai "pemakan uang rakyat" yang pada akhirnya masuk ke dalam Daftar Calon Tetap (DCT) untuk pesta demokrasi mendatang.
Karena sudah seperti pribahasa "nasi menjadi bubur" maka sudah siapkah para pimpinan dan tokoh-tokoh mayoritas partai yang mendaftarkan mereka itu untuk bertanggung jawab, jika mereka ini lagi-lagi menciderai amanah rakyat?
Para oknum ini bisa saja berdalih bahwa mereka telah berhasil memenuhi syarat-syarat hukum.
Akan tetapi masyarakat juga sebaliknya berhak bertanya apakah para bekas penghuni sel-sel penjara ini sudah 1000 persen bertobat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa?
Sudahkan mereka mengaku dosa kepada masyarakat di daerah pemilihannya masing- masing? Pernahkah mereka ini berbuat hal-hal nyata alias konkrit terhadap pemilih-pemilih di daerah pemilihannya?
Terpidana Eni Maulani Saragih misalnya, memang sudah menyatakan bahwa dia mengaku bersalah kepada rakyat sehingga tidak bakal mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi. Akan tetapi bakalkah masyarakat Indonesia akan melupakan begitu saja kasus hukum terhadap wanita ini?
Pileg tinggal puluhan hari lagi. Namun, setumpuk pertanyaan masih sangat layak diajukan kepada para calon wakil rakyat yang masih bersih dari "dosa korupsi" maupun puluhan "lulusan akademi korupsi".
Masyarakat Indonesia hanya membutuhkan wakil-wakil rakyat yang siap 100 persen untuk mengabdi kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Jadi jangan sekalipun menyalahgunakan kepercayaan mayarakat Indonesia dengan korupsi, bahkan jangan mengambil satu sen uang rakyat dan bangsa di Tanah Air tercinta ini.
Pileg amat penting bagi rakyat Indonesia untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia sudah menjadi sebuah negara yang makin demokratis karena menyelenggarakan pesta demokrasi lima tahunan yang jujur dan adil, tanpa melahirkan koruptor-koruptor yang baru. Sanggupkah?
Baca juga: Demokrat berharap raih suara sama seperti 2014
Baca juga: Bawaslu Pasaman Barat tangani tiga dugaan pelanggaran pemilu
Menjelang pemilihan calon anggota legislatif (caleg) pada 17 April 2019, sebanyak 192,8 juta calon pemilih harus ikhlas menerima keputusan majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi di Jakarta tanggal 1 Februari.
Majelis hakim akhirnya memutuskan terdakwa Eni Maulani Saragih di vonis enam tahun penjara.
Eni yang pernah duduk di Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR.RI) selama empat tahun. Tak hanya itu, Eni juga dicabut hak politiknya selama tiga tahun.
Selain itu permintaannya kepada hakim bagi pemberian status "justice collaborator" atau sebagai orang yang membantu mengungkap rahasia-rahasia yang terkait dengan tindak pidana korupsi yang dituduhkan kepada dirinya juga ditolak.
Wanita anggota parlemen ini diseret ke meja hijau setelah para penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sukses membuktikan bahwa dia ikut terlibat dalam kasus pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau I.
Wakil rakyat yang terhormat ini terbukti menerima uang sogok alias "commitment fee" dari sebuah perusahaan yang berambisi menjadi kontraktor proyek raksasa ini senilai tidak kurang dari Rp4,7 miliar.
"Uang haram" ini antara lain akan digunakan untuk membantu seorang anggota keluarganya yang berambisi untuk menjadi bupati di Provinsi Jawa Tengah.
Selesaikah Eni?
Kasus ini juga akhirnya melibatkan sesama anggota Partai Golkar, yakni Idrus Marham yang pada saat ini juga menjadi pesakitan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang juga di Jakarta dalam kasus yang sama pula.
Dia pernah menjadi pelaksana tugas Ketua Umum DPP Partai Golkar untuk menggantikan Setya Novanto yang juga terbukti terlibat dalam kasus korupsi berskala raksasa.
Setya Novanto telah terbukti terlibat dalam kasus proyek pembuatan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-E) yang bernilai triliunan rupiah. Setya Novanto dihukum 15 tahun penjara.
Setnov bahkan pernah menjadi ketua Dewan Perwakilan Rakyat, sebuah lembaga negara yang setingkat dengan lembaga kepresidenan. Tidak hanya Setnov yang jatuh tapi juga Idrus yang pada awal tahun 2018 menjadi menteri sosial pada akhirnya harus terjungkal dari kursi empuknya pada bulan Agustus 2018.
Airlangga Hartarto kemudian terpilih menjadi nakhoda Partai Golkar.
Ternyata kasus hukum tidak hanya melibatkan begitu banyak wakil rakyat berskala nasional di Senayan, Jakarta, tapi juga di berbagai daerah. KPK baru saja mengumumkan bahwa tidak kurang dari 12 anggota DPRD Provinsi Jambi dikenai status Cegah, alias tidak boleh bepergian ke luar negeri.
Mereka ini diduga terlibat kasus korupsi bersama- sama Gubernur Jambi Zumi Zola dalam masalah pengesahan RAPBD.
Di Malang, Jawa Timur, kurang lebih 41 anggota DPRD juga dipantau KPK yang lagi- lagi terlibat dalam kasus "uang haram" bersama Pemerintah Daerah Malang.
Sebelumnya puluhan mantan dan anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara telah dijebloskan ke penjara yang istilah halusnya sekarang adalah lembaga pemasyarakatan (lapas) karena ikut "bermain mata" dengan mantan gubernur Sumatera Utara Gatot Pudjo Nugroho.
Perlukah pileg?
Kasus demi kasus hukum yang melibatkan para wakil rakyat di ibu kota Jakarta dan berbagai daerah lainnya bisa menimbulkan pertanyaan di benak para calon pemilih Pileg 2019, seperti masih bergunakah pemilihan wakil rakyat jika akhirnya hanya melahirkan banyak terpidana koruptor?
Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru- baru ini mengumumkan bahwa puluhan mantan terpidana koruptor telah lolos dalam seleksi menjadi wakil rakyat. Ada yang mencalonkan diri di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) hingga DPRD tingkat provinsi, kota serta kabupaten.
Akan tetapi rakyat patut bersyukur karena tidak ada satu pun mantan terpidana koruptor yang bakal masuk ke DPR.RI.
Ternyata kurang lebih puluhan mantan koruptor ini sukses untuk maju ke Pileg 17 April mendatang karena mereka ini sudah "sukses" dalam tahap-tahap awal seleksi mulai dari kota, kabupaten hingga provinsi.
Entah mereka yang "hebat" ataukah tim seleksi dari berbagai partai politik itu yang tega mencantumkan atau memasukkan nama-nama orang pernah dinyatakan sebagai "pemakan uang rakyat" yang pada akhirnya masuk ke dalam Daftar Calon Tetap (DCT) untuk pesta demokrasi mendatang.
Karena sudah seperti pribahasa "nasi menjadi bubur" maka sudah siapkah para pimpinan dan tokoh-tokoh mayoritas partai yang mendaftarkan mereka itu untuk bertanggung jawab, jika mereka ini lagi-lagi menciderai amanah rakyat?
Para oknum ini bisa saja berdalih bahwa mereka telah berhasil memenuhi syarat-syarat hukum.
Akan tetapi masyarakat juga sebaliknya berhak bertanya apakah para bekas penghuni sel-sel penjara ini sudah 1000 persen bertobat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa?
Sudahkan mereka mengaku dosa kepada masyarakat di daerah pemilihannya masing- masing? Pernahkah mereka ini berbuat hal-hal nyata alias konkrit terhadap pemilih-pemilih di daerah pemilihannya?
Terpidana Eni Maulani Saragih misalnya, memang sudah menyatakan bahwa dia mengaku bersalah kepada rakyat sehingga tidak bakal mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi. Akan tetapi bakalkah masyarakat Indonesia akan melupakan begitu saja kasus hukum terhadap wanita ini?
Pileg tinggal puluhan hari lagi. Namun, setumpuk pertanyaan masih sangat layak diajukan kepada para calon wakil rakyat yang masih bersih dari "dosa korupsi" maupun puluhan "lulusan akademi korupsi".
Masyarakat Indonesia hanya membutuhkan wakil-wakil rakyat yang siap 100 persen untuk mengabdi kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Jadi jangan sekalipun menyalahgunakan kepercayaan mayarakat Indonesia dengan korupsi, bahkan jangan mengambil satu sen uang rakyat dan bangsa di Tanah Air tercinta ini.
Pileg amat penting bagi rakyat Indonesia untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia sudah menjadi sebuah negara yang makin demokratis karena menyelenggarakan pesta demokrasi lima tahunan yang jujur dan adil, tanpa melahirkan koruptor-koruptor yang baru. Sanggupkah?
Baca juga: Demokrat berharap raih suara sama seperti 2014
Baca juga: Bawaslu Pasaman Barat tangani tiga dugaan pelanggaran pemilu
Pewarta: -
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019