Jakarta (ANTARA News) - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menyebutkan, tidak perlu menggunakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menjamin hak pilih dari pemilih yang masuk kategori daftar pemilih tambahan (DPTb).
"Menurut saya itu lebih baik aturannya cukup dengan aturan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Itu menurut saya ya, karena itu bukan hal yang genting memaksa," kata Tjahjo, di Jakarta, Senin.
Menurut dia, penyelesaian DPTb dengan menggunakan Perppu dinilai kurang tepat karena Perppu dibuat untuk hal-hal yang bersifat genting.
"Apakah ada jaminan, kalau ada Perppu akan simpel? Kan belum tentu itu akan dibahas juga, pasti akan merembet ke hal yang lain. Itu akan mengganggu tahapan-tahapan menurut saya," jelasnya.
Sebelumnya, Undang-Undang Pemilu dinilai mengabaikan pemilih DPTb karena tak ada aturan yang menyebutkan tentang ketentuan surat suara untuk pemilih tambahan.
Tjahjo juga tidak mempermasalahkan jika ada masyarakat yang ingin melakukan uji materi (judicial review) terhadap Pasal 344 ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.
Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa jumlah surat suara yang dicetak sama dengan jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), ditambah dengan 2 persen dari DPT per TPS.
"Iya itu bukan kewenangan pemerintah, itu hak-hak masyarakat yang punya hak politik, hak konstitusional untuk menggunakannya. Tapi saya kira KPU akan melakukan dengan sedetail-detailnya. Nanti akan dikonsultasikan dengan pemerintah dan DPR," kata Tjahjo.
Sebagian pemilih yang berpindah TPS terancam tak bisa mencoblos karena terjadi kendala dalam penyediaan surat suara tambahan yang khusus diperuntukkan bagi pemilih yang berpindah TPS.
KPU mencatat, jumlah pemilih yang pindah TPS mencapai 275.923 pemilih. Mereka dicatat ke DPTb.
Jumlah tersebut, di beberapa TPS, ternyata melebihi jumlah ketersediaan surat suara cadangan yang hanya dialokasikan sebesar 2 persen dari DPT per TPS.
Angka 275.923 pemilih masih mungkin bertambah karena KPU terus melakukan penyisiran potensi pemilih yang berpindah TPS hingga 17 Maret 2019.
"Menurut saya itu lebih baik aturannya cukup dengan aturan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Itu menurut saya ya, karena itu bukan hal yang genting memaksa," kata Tjahjo, di Jakarta, Senin.
Menurut dia, penyelesaian DPTb dengan menggunakan Perppu dinilai kurang tepat karena Perppu dibuat untuk hal-hal yang bersifat genting.
"Apakah ada jaminan, kalau ada Perppu akan simpel? Kan belum tentu itu akan dibahas juga, pasti akan merembet ke hal yang lain. Itu akan mengganggu tahapan-tahapan menurut saya," jelasnya.
Sebelumnya, Undang-Undang Pemilu dinilai mengabaikan pemilih DPTb karena tak ada aturan yang menyebutkan tentang ketentuan surat suara untuk pemilih tambahan.
Tjahjo juga tidak mempermasalahkan jika ada masyarakat yang ingin melakukan uji materi (judicial review) terhadap Pasal 344 ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.
Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa jumlah surat suara yang dicetak sama dengan jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), ditambah dengan 2 persen dari DPT per TPS.
"Iya itu bukan kewenangan pemerintah, itu hak-hak masyarakat yang punya hak politik, hak konstitusional untuk menggunakannya. Tapi saya kira KPU akan melakukan dengan sedetail-detailnya. Nanti akan dikonsultasikan dengan pemerintah dan DPR," kata Tjahjo.
Sebagian pemilih yang berpindah TPS terancam tak bisa mencoblos karena terjadi kendala dalam penyediaan surat suara tambahan yang khusus diperuntukkan bagi pemilih yang berpindah TPS.
KPU mencatat, jumlah pemilih yang pindah TPS mencapai 275.923 pemilih. Mereka dicatat ke DPTb.
Jumlah tersebut, di beberapa TPS, ternyata melebihi jumlah ketersediaan surat suara cadangan yang hanya dialokasikan sebesar 2 persen dari DPT per TPS.
Angka 275.923 pemilih masih mungkin bertambah karena KPU terus melakukan penyisiran potensi pemilih yang berpindah TPS hingga 17 Maret 2019.
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019