Samarinda (ANTARA News) - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Mahyudin mengatakan perlunya evaluasi pemilihan umum langsung untuk memperbaiki iklim demokrasi.
"Yang perlu dievaluasi itu efektivitas dari pelaksanaan pemilu, kedua efisiensi anggaran, ketiga konflik horizontal yang mungkin terjadi akibat ekses-ekses pemilu langsung," katanya saat Sosialisasi Empat Pilar di Samarinda, Kalimantan Timur, Selasa.
Ia mengatakan evaluasi dapat dilakukan terhadap pemilihan langsung pilkada provinisi, kabupaten/kota,DPRD, DPR bahkan pemilihan presiden.
"Evaluasi itu bukan mesti diubah, apakah sistem pemilihan langsung ini yang paling tepat, apakah musti diperbaiki?," katanya.
Menurut dia, melalui evaluasi diketahui kekurangannya sehingga dapat diperbaiki. Bila memang sistem tersebut belum tepat untuk masyarakat saat ini, maka bisa juga hal itu diganti menjadi sistem perwakilan.
Misalnya, di tingkat provinsi tetap menggunakan pemilihan langsung sedangkan di Kabupaten/Kota digelar pemilihan oleh DPRD.
Selain itu pada pemilihan presiden perlinya evaluasi terkait dengan dana saksi. Dengan 800 ribu tempat pemungutan suara (TPS), maka dibutuhkan dana yang sangat besar untuk membiayai saksi.
Bila satu TPS Rp200 ribu untuk dana saksi maka dengan 800 ribu lebih TPS pada pemilu 2019 berarti membutuhkan Rp160 miliar. Hal ini tentu sangat memberatkan para calon kalau dibiayai sendiri.
Akibatnya para calon akan mengumpulkan dana dari berbagai sumber. Hal ini rentan dengan barter terhadap kebijakan pemerintah kelak.
Menurut dia, saat ini masyarakat belum siap seratus persen dengan pemilihan langsung. Hal ini terlihat dengan maraknya politik uang dalam pemilihan.
Ia mengatakan, pimpinan korup biasanya terlahir dari masyarakat yang korup. Masyarakat yang membuka diri untuk mau disuap akan menghasilkan pemimpin yang mudah disuap pula.
Akibat politik uang, maka banyak para pejabat negara yang dulu menyuap rakyat agar terpilih, mau menerima suap. Karena itu, tidak heran bila kemudian pejabat negara dari tingkat daerah hingga tingkat pusat ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Baca juga: Pimpinan MPR : Memilih di Pemilu seperti pilih menantu
Baca juga: Pimpinan MPR tegaskan perlunya PMP kembali diajarkan di sekolah
Baca juga: Politik uang sumber masalah demokrasi Indonesia
"Yang perlu dievaluasi itu efektivitas dari pelaksanaan pemilu, kedua efisiensi anggaran, ketiga konflik horizontal yang mungkin terjadi akibat ekses-ekses pemilu langsung," katanya saat Sosialisasi Empat Pilar di Samarinda, Kalimantan Timur, Selasa.
Ia mengatakan evaluasi dapat dilakukan terhadap pemilihan langsung pilkada provinisi, kabupaten/kota,DPRD, DPR bahkan pemilihan presiden.
"Evaluasi itu bukan mesti diubah, apakah sistem pemilihan langsung ini yang paling tepat, apakah musti diperbaiki?," katanya.
Menurut dia, melalui evaluasi diketahui kekurangannya sehingga dapat diperbaiki. Bila memang sistem tersebut belum tepat untuk masyarakat saat ini, maka bisa juga hal itu diganti menjadi sistem perwakilan.
Misalnya, di tingkat provinsi tetap menggunakan pemilihan langsung sedangkan di Kabupaten/Kota digelar pemilihan oleh DPRD.
Selain itu pada pemilihan presiden perlinya evaluasi terkait dengan dana saksi. Dengan 800 ribu tempat pemungutan suara (TPS), maka dibutuhkan dana yang sangat besar untuk membiayai saksi.
Bila satu TPS Rp200 ribu untuk dana saksi maka dengan 800 ribu lebih TPS pada pemilu 2019 berarti membutuhkan Rp160 miliar. Hal ini tentu sangat memberatkan para calon kalau dibiayai sendiri.
Akibatnya para calon akan mengumpulkan dana dari berbagai sumber. Hal ini rentan dengan barter terhadap kebijakan pemerintah kelak.
Menurut dia, saat ini masyarakat belum siap seratus persen dengan pemilihan langsung. Hal ini terlihat dengan maraknya politik uang dalam pemilihan.
Ia mengatakan, pimpinan korup biasanya terlahir dari masyarakat yang korup. Masyarakat yang membuka diri untuk mau disuap akan menghasilkan pemimpin yang mudah disuap pula.
Akibat politik uang, maka banyak para pejabat negara yang dulu menyuap rakyat agar terpilih, mau menerima suap. Karena itu, tidak heran bila kemudian pejabat negara dari tingkat daerah hingga tingkat pusat ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Baca juga: Pimpinan MPR : Memilih di Pemilu seperti pilih menantu
Baca juga: Pimpinan MPR tegaskan perlunya PMP kembali diajarkan di sekolah
Baca juga: Politik uang sumber masalah demokrasi Indonesia
Pewarta: M Arief Iskandar
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2018
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2018