Jakarta (ANTARA) - Para mantan aktivis mahasiswa perempuan yang tergabung dalam Srikandi Indonesia menyatakan menolak gerakan pengerahan massa (people power) terhadap kubu-kubu yang merasa tidak terima terhadap hasil pemilu.
Aktivis Srikandi Indonesia Vivin Sri Wahyuni dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa, mengatakan upaya pengerahan massa sangat tidak elok dan mengganggu ketertiban umum. Bahkan dapat membahayakan keutuhan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara.
Untuk itu, menurut mantan Aktivis LMND tersebut, bila ada kubu yang tidak menerima hasil pemilu, maka mekanisme demokrasi telah menyediakan lembaga untuk mengadili kecurangan, yaitu Badan Pengawas Pemilu dan Mahkamah Konstitusi.
"Daripada aksi massa yang memicu ketidaktertiban disarankan untuk melakukan gugatan, karena telah tersedia lembaga-lembaga untuk mengadukan hal itu," katanya.
Ia sepakat untuk menindak tegas para provokator yang memicu perpecahan dan mengancam stabilitas negara.
Sementara masyarakat diminta agar tidak mudah terhasut oleh fitnah dan provokasi-provokasi yang mengajak kepada perpecahan.
Mantan Aktivis GMNI yang tergabung dalam Srikandi Indonesia, Widya Almis mengatakan, aksi turun ke jalan hanya demi untuk memaksakan kehendak hanya akan menjadikan perpecahan.
Untuk itu, ia berharap mereka yang kalah dalam konstestasi demokrasi, harus mampu berjiwa besar, tidak memaksakan kehendaknya.
Sementara bila tidak menerima hasilnya, dan menilai adanya kecurangan, maka gunakanlah mekanisme konstitusi melalui Bawaslu maupun Mahkamah Konstitusi.
"Jadi jangan terus menjadikan masyarakat terpolarisasi dengan hasutan-hasutan kepada masyarakat, jadilah berjiwa besar," katanya.
Sementara Srikandi Indonesia merupakan kumpulan mantan aktivis mahasiswa perempuan dari berbagai organisasi. Selain Vivin (mantan aktivis LMND) dan Widya (mantan aktivis GMNI), anggota Srikandi Indonesia antara lain Lidya Natalia Sartono (mantan aktivis PMKRI), Betariani Saraswati (mantan aktivis KMHDI), Irma (mantan aktivis PMII), Ifda Hanum (mantan aktivis HMI) dan Desy Datum (mantan aktivis GMKI).
Aktivis Srikandi Indonesia Vivin Sri Wahyuni dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa, mengatakan upaya pengerahan massa sangat tidak elok dan mengganggu ketertiban umum. Bahkan dapat membahayakan keutuhan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara.
Untuk itu, menurut mantan Aktivis LMND tersebut, bila ada kubu yang tidak menerima hasil pemilu, maka mekanisme demokrasi telah menyediakan lembaga untuk mengadili kecurangan, yaitu Badan Pengawas Pemilu dan Mahkamah Konstitusi.
"Daripada aksi massa yang memicu ketidaktertiban disarankan untuk melakukan gugatan, karena telah tersedia lembaga-lembaga untuk mengadukan hal itu," katanya.
Ia sepakat untuk menindak tegas para provokator yang memicu perpecahan dan mengancam stabilitas negara.
Sementara masyarakat diminta agar tidak mudah terhasut oleh fitnah dan provokasi-provokasi yang mengajak kepada perpecahan.
Mantan Aktivis GMNI yang tergabung dalam Srikandi Indonesia, Widya Almis mengatakan, aksi turun ke jalan hanya demi untuk memaksakan kehendak hanya akan menjadikan perpecahan.
Untuk itu, ia berharap mereka yang kalah dalam konstestasi demokrasi, harus mampu berjiwa besar, tidak memaksakan kehendaknya.
Sementara bila tidak menerima hasilnya, dan menilai adanya kecurangan, maka gunakanlah mekanisme konstitusi melalui Bawaslu maupun Mahkamah Konstitusi.
"Jadi jangan terus menjadikan masyarakat terpolarisasi dengan hasutan-hasutan kepada masyarakat, jadilah berjiwa besar," katanya.
Sementara Srikandi Indonesia merupakan kumpulan mantan aktivis mahasiswa perempuan dari berbagai organisasi. Selain Vivin (mantan aktivis LMND) dan Widya (mantan aktivis GMNI), anggota Srikandi Indonesia antara lain Lidya Natalia Sartono (mantan aktivis PMKRI), Betariani Saraswati (mantan aktivis KMHDI), Irma (mantan aktivis PMII), Ifda Hanum (mantan aktivis HMI) dan Desy Datum (mantan aktivis GMKI).
Pewarta: M Arief Iskandar
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019