Apakah pemilu serentak efisienkan biaya demokrasi ?

Ini kata KPU DKI bagi pemilih sebelum ke TPS pada Rabu
Warga memasukkan surat suara ke kotak suara saat dilakukannya pemilihan umum. (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)
Pekanbaru (ANTARA News) - Pengamat Politik dari Universitas Andalas, Sumbar, Syaiful Wahab berpendapat jika alasan pemilu serentak ini adalah untuk efisiensi, ternyata juga tidak karena biaya pesta demokrasi yang dikeluarkan negara cukup fantastis atau mencapai Rp24,8 triliun lebih.

"Biaya pemilu sebesar Rp24,8 triliun itu justru tidak banyak selisihnya dengan Pemilu 2014," kata Syaiful Wahab dihubungi dari Pekanbaru, Kamis.

Penilaian itu dikemukakan Syaiful terkait suksesi Pemilu 17 April 2019 yang menjadi pemilu bersejarah karena untuk pertama kalinya memilih Presiden/Wapres, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten dan Kota. Jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) KPU tercatat 185.732.093 (92.802.671 laki-laki dan 92.929.422 perempuan), tersebar di 805.075 TPS.

Menurut dia, selain Pemilu 2019 memenuhi kriteria "gila" karena biayanya terbesar sekitar Rp24,8 triliun, pemilu serentak membuat pemilu legislatif menjadi kurang menarik jika dibandingkan dengan Pilpres.

Sebab, ia menyebutkan, perhatian publik lebih tertuju pada Pilpres, karena Capres ini yang akan memimpin negara Indonesia lima tahun ke depan, dan karena kandidatnya lebih sedikit dan lebih mudah dikenal publik ketimbang kandidat-kandidat di lembaga legislative.

"Akhirnya apa yang terjadi, publik atau pemilih menjadi tidak kritis dan selektif untuk memilih siapa caleg yang berkualitas atau tidak, karena pusat perhatian lebih tertuju pada calon presiden ketimbang calon legislative," katanya.

Padahal, katanya lagi, aspirasi publik sangat ditentukan oleh anggota legislatifnya, dan pada mereka aspirasi publik tertumpu, serta pada mereka representasi kepentingan publik terwakili.

Bisa dibayangkan kalau akhirnya para anggota dewan atau legislatif yang terpilih orang "melempem" dan tidak kritis lantaran publik asal memilih atau mencoblos caleg tanpa pernah tahu kualitas dan reputasinya.

"Dapat dipastikan parlemen kita ke depan hanya terdiri atas orang-orang "pemburu status dan kehormatan" belaka, lemah dalam inisiatif dan pengawasan," katanya.

Jika ini terjadi maka praktek demokrasi kita menjadi pendangkalan, katanya lagim jika dulu anggota dewan sudah kurang berkualitas kini justru semakin dangkal lantaran publik atau pemilih tidak selektif memilih calegnya.

Baca juga: Kemendagri gelar Rakornas persiapan Pemilu Serentak 2019

Baca juga: Badan Pengawas Pemilu Maluku Utara akui Pemilu 2019 sangat kompleks

Baca juga: Hasil Pilkada serentak tidak berdampak ke Pemilu 2019

 
Pewarta:
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2019
Pakar: kampanye negatif boleh asal penuhi lima syarat Sebelumnya

Pakar: kampanye negatif boleh asal penuhi lima syarat

KPU Kabupaten Boyolali fasilitasi pengguna kursi roda di simulasi pemungutan suara Pilkada 2024 Selanjutnya

KPU Kabupaten Boyolali fasilitasi pengguna kursi roda di simulasi pemungutan suara Pilkada 2024