Jakarta (ANTARA) - Anggota MPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Sodik Mujahid menilai pertemuan antara Presiden terpilih Joko Widodo dan Calon Presiden Prabowo Subianto, sudah sepatutnya terjadi setelah pemilu presiden usai, tanpa perlu mewacanakan rekonsiliasi.
"Pertemuan kedua pemimpin, kedua tokoh, sudah sepatutnya terjadi setelah pemilu berakhir. Soal waktu pertemuan agak lambat, karena keduanya sama-sama sibuk," kata Sodik Mujahid pada diskusi MPR RI "Rekonsiliasi untuk Persatuan Bangsa" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Senin.
Baca juga: Amien Rais katakan Jokowi paham demokrasi karena sebut oposisi mulia
Baca juga: Gerindra: Prabowo tidak ada kesepakatan politik dengan Jokowi
Baca juga: Jokowi: Silahkan oposisi asal jangan menimbulkan dendam dan kebencian
Sodik Mujahid mengatakan hal itu menanggapi pertemuan antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta, hingga ke Stasiun MRT Senayan Jakarta, dan dilanjutkan ke sebuah restoran di FX Plaza Sudirman, Jakarta, Sabtu.
Menurut Sodik Mujahid, Partai Gerindra komit berada dalam kerangka besar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) meskipun setelah pemilu presiden 2019 akan memilih berada di luar pemerintahan. "Partai Gerindra juga komit untuk membangun Indonesia dari posisinya di luar pemerintahan, sama-sama membangun Indonesia," katanya.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI menambahkan, pada pertemuan Prabowo Subianto dan Joko Widodo di Stasiun MRT, pada Sabtu (13/7), Prabowo mengatakan siap membantu Presiden terpilih Joko Widodo, jika diperlukan. "Pak Prabowo juga mengatakan, kalau kadang-kadang mengkritik kebijakan pemerintah, itu merupakan bagian dari demokrasi," katanya.
Menurut Sodik, kalau sebelumnya muncul wacana rekonsiliasi dan menjadi ramai, itu karena pendukung Prabowo Subianto sangat banyak dan beragam. "Harus kita pahami posisi pendukung, semangatnya, dan perjuangannya, meskipun latar belakang dan pendidikannya berbeda-beda," katanya.
Dengan keragaman tersebut, kata dia, menjadi tugas bagi pemimpin untuk membangun kesadaran bahwa ada persoalan yang lebih besar dan harus diperbaiki bersama, yakni persoalan bangsa. "Karena Partai Gerindra juga dalam kerangka besar NKRI sehingga tidak perlu istilah rekonsiliasi, tapi cukup dengan istilah silaturrahmi antara kedua pemimpin," katanya.
"Pertemuan kedua pemimpin, kedua tokoh, sudah sepatutnya terjadi setelah pemilu berakhir. Soal waktu pertemuan agak lambat, karena keduanya sama-sama sibuk," kata Sodik Mujahid pada diskusi MPR RI "Rekonsiliasi untuk Persatuan Bangsa" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Senin.
Baca juga: Amien Rais katakan Jokowi paham demokrasi karena sebut oposisi mulia
Baca juga: Gerindra: Prabowo tidak ada kesepakatan politik dengan Jokowi
Baca juga: Jokowi: Silahkan oposisi asal jangan menimbulkan dendam dan kebencian
Sodik Mujahid mengatakan hal itu menanggapi pertemuan antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta, hingga ke Stasiun MRT Senayan Jakarta, dan dilanjutkan ke sebuah restoran di FX Plaza Sudirman, Jakarta, Sabtu.
Menurut Sodik Mujahid, Partai Gerindra komit berada dalam kerangka besar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) meskipun setelah pemilu presiden 2019 akan memilih berada di luar pemerintahan. "Partai Gerindra juga komit untuk membangun Indonesia dari posisinya di luar pemerintahan, sama-sama membangun Indonesia," katanya.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI menambahkan, pada pertemuan Prabowo Subianto dan Joko Widodo di Stasiun MRT, pada Sabtu (13/7), Prabowo mengatakan siap membantu Presiden terpilih Joko Widodo, jika diperlukan. "Pak Prabowo juga mengatakan, kalau kadang-kadang mengkritik kebijakan pemerintah, itu merupakan bagian dari demokrasi," katanya.
Menurut Sodik, kalau sebelumnya muncul wacana rekonsiliasi dan menjadi ramai, itu karena pendukung Prabowo Subianto sangat banyak dan beragam. "Harus kita pahami posisi pendukung, semangatnya, dan perjuangannya, meskipun latar belakang dan pendidikannya berbeda-beda," katanya.
Dengan keragaman tersebut, kata dia, menjadi tugas bagi pemimpin untuk membangun kesadaran bahwa ada persoalan yang lebih besar dan harus diperbaiki bersama, yakni persoalan bangsa. "Karena Partai Gerindra juga dalam kerangka besar NKRI sehingga tidak perlu istilah rekonsiliasi, tapi cukup dengan istilah silaturrahmi antara kedua pemimpin," katanya.
Pewarta: Riza Harahap
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019