Mantan komisioner Komnas HAM minta elite politik tak lakukan provokasi

Ini kata KPU DKI bagi pemilih sebelum ke TPS pada Rabu
Sebanyak 10 mantan komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ambil sikap terkait kerusuhan tolak hasil Pemilu 22 Mei 2019, di Jakarta, Sabtu (25/5/2019). (Istimewa)
Elite politik hendaknya memberikan tauladan dan bijaksana serta tidak melakukan provokasi-provokasi untuk kepentingan politik sesaat, kata Ridha Saleh
Jakarta (ANTARA) - Sebanyak 10 mantan komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2002-2017 meminta elite politik tidak melakukan provokasi yang dapat memperkeruh suasana dan stabilitas keamanan di Jakarta.

"Elite politik hendaknya memberikan tauladan dan bijaksana serta tidak melakukan provokasi-provokasi untuk kepentingan politik sesaat," kata mantan Komisioner Komnas HAM periode 2007-2012, M Ridha Saleh, di Jakarta, Sabtu.

Hal itu dikatakan mantan komisioner Komnas HAM menanggapi aksi kerusuhan 21-22 Mei yang menolak hasil Pemilu 2019.

Menurut Ridha, elite politik harus bertindak negawaran demi kepentingan dan keutuhan bangsa dan negara Indonesia serta mendukung langkah-langkah konstitusional dari para pihak untuk membawa sengketa pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Masyarakat Indonesia hendaknya bersikap dewasa dan bijaksana dalam menerima dan memilah informasi serta tidak terprovokasi oleh berbagai infomasi palsu atau pun provokasi lainnya serta berkewajiban menjaga tegaknya demokrasi dengan menghormati pilihan rakyat melalui proses pemilu," katanya.

Menurut dia, bangsa Indonesia telah menyepakati bahwa pemilihan umum merupakan satu-satunya cara untuk memilih para penyelenggara negara dengan berbagai aturan main yang telah diatur oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan untuk menjamin pemilu berjalan secara bebas dan adil (free and fair election).

"Pemilu yang bebas dan adil, lebih jauh menjadi sebuah topangan berjalannya transisi politik secara beradab dan demokratis," katanya.

Hasil pemilihan umum, lanjut dia, haruslah dimaknai sebagai perwujudan kehendak rakyat (the people has spoken) yang tidak dapat dibatalkan dengan cara diluar yang telah diatur oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan.

Sementara itu, mantan Ketua Komnas HAM periode 2007-2012, Ifdhal Kasim menyebutkan, Kepolisian RI harus menjamin ketertiban dan keamanan demi pemenuhan hak atas rasa aman bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tetap berpegang teguh pada penghormatan hak asasi manusia dan hukum yang berlaku.

"Harus ditekankan dalam hal ini bahwa hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat serta hak atas berkumpul secara damai (peaceful assembly) dijamin oleh konstitusi dan harus dihormati dan dipenuhi oleh negara," ujarnya.

Namun demikian, kata Ifdhal, hak tersebut tidak berlaku secara mutlak dan bukan tanpa pembatasan.

Oleh karena itu, dalam hal terjadinya ujaran kebencian dan kekerasan, maka kepolisian harus bertindak tegas dengan kewenangan berdasarkaan peraturan perundang-undangan serta memproses secara hukum semua pelaku kekerasan dan mereka yang diduga terlibat, baik dalam hal pendanaan maupun keterlibatan bentuk lain dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip "fair trial" dalam koridor negara demokrasi.

"Polisi dapat bertindak sesuai kewenangan untuk melakukan tindakan yang diperlukan dalam penggunaan kekuatan (use of force) untuk mengatasi kelompok yang melanggar hukum karena melakukan tindakan anarkis dengan berdasar prinsip asas 'necessitas' dan proporsionalitas," kata Ifdhal.
Pewarta:
Editor: Edy Supriyadi
Copyright © ANTARA 2019
Pengamat: Kericuhan 22 Mei agar jadi momen perubahan kultur politik Sebelumnya

Pengamat: Kericuhan 22 Mei agar jadi momen perubahan kultur politik

KPU Kabupaten Boyolali fasilitasi pengguna kursi roda di simulasi pemungutan suara Pilkada 2024 Selanjutnya

KPU Kabupaten Boyolali fasilitasi pengguna kursi roda di simulasi pemungutan suara Pilkada 2024