Pengamat nilai evaluasi sistem pemilu terlalu dangkal

Delapan parpol penuhi ambang batas parlemen, PDIP suara terbanyak
Pengamat politik dari Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampow (kiri), memaparkan pandangan tentang Pemilu serentak 2019, di Jakarta, Kamis (25/4/2019). (ANTARA/Suwanti)
Ada tiga maksud ketika membuat sistem pemilu serentak, yang pertama penguatan sistem presidensial, kedua efektivitas anggaran dan penghematan, lalu yang ketiga mobilisasi pemilih, ucap dia
Jakarta (ANTARA) - Pengamat politik dari Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampow, menilai evaluasi sistem Pemilu yang ramai dibicarakan belakangan ini terlalu dangkal karena faktor pemicu yang diangkat tidak komprehensif.

Menurut dia, evaluasi semestinya dilakukan berdasarkan dua hal, yaitu tujuan sistem dibuat dan bagaimana teknis pelaksanaan atau implementasi sistem itu.

“Ada tiga maksud ketika membuat sistem pemilu serentak, yang pertama penguatan sistem presidensial, kedua efektivitas anggaran dan penghematan, lalu yang ketiga mobilisasi pemilih,” ucap dia, dalam diskusi di Jakarta, Kamis.

Ia berpendapat, jika dievaluasi dengan tiga variabel itu, sistem Pemilu 2019 sudah relatif berhasil.

Ia menyebutkan, keberhasilan tersebut ditandai dengan calon presiden dan koalisi partai pendukungnya sama-sama mendapatkan mayoritas suara berdasarkan hasil hitung cepat, serta ada peningkatan partisipasi pemilih.

Dalam hal anggaran, data Kementerian Keuangan menunjukkan, jumlah anggaran yang digelontorkan untuk pemilu adalah Rp25,59 triliun.

Ia mengakui angka itu memang membengkak, namun akan jauh lebih besar jika yang dilaksanakan adalah pemilu terpisah.

Adapun wacana yang mengemuka saat ini untuk mengevaluasi sistem pemilu adalah petugas meninggal yang banyak jumlahnya.

Menurut dia, isu itu hal teknis yang bahkan tidak terkait langsung dengan sistem, sehingga merupakan variabel evaluasi yang tidak tepat.

Menjadikan isu banyak petugas pelaksana pemilu yang meninggal untuk mengevaluasi sistem, kata dia, bisa salah kaprah. Isu itu adalah isu kemanusiaan sehingga tidak akan pas dan sulit mencapai titik temu jika dikaitkan dengan sistem.

Jika isu itu diteruskan sebagai variabel evaluasi sistem pemilu, dia memprediksi hal serupa akan terulang pada pelaksanaan pemilu berikutnya.

Jeirry membandingkan isu yang sama pada pelaksanaan Pemilu 2019 dengan Pemilu 2014. Penambahan orang yang bertugas dalam pemilu turut memengaruhi banyaknya kasus yang terjadi, bukan semata-mata karena sistem.

Berdasarkan data KPU, pada Pemilu 2014 total 157 petugas meninggal ketika menjalankan tugas. Sedangkan pada Pemilu 2019, sampai Kamis sore, jumlah yang meninggal 144 petugas.

Dibanding menyalahkan sistem, dia justru menilai teknis pelaksanaan pemilu yang sesungguhnya perlu dibenahi. Kasus-kasus yang terjadi adalah cerminan ketidaksiapan KPU dalam mengimplementasikan sistem itu.
Pewarta:
Editor: Edy Supriyadi
Copyright © ANTARA 2019
Bawaslu tunggu laporan pembakaran surat suara di Papua Sebelumnya

Bawaslu tunggu laporan pembakaran surat suara di Papua

Logistik Pilkada untuk Kabupaten Tangerang mulai didistribusikan ke TPS Selanjutnya

Logistik Pilkada untuk Kabupaten Tangerang mulai didistribusikan ke TPS