Jakarta (ANTARA) - Dua orang advokat bernama Heriyanto dan Ramdansyah mengajukan permohonan pengujian UU 7/2017 (UU Pemilu) terkait dengan aturan pengajuan sengketa Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kami menguji Pasal 473 ayat (2), Pasal 474 ayat (1), Pasal 523 dan Pasal 488 UU Pemilu," ujar Ramdansyah di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu.
Menurut para pemohon, Pasal 473 ayat (2) tidak membuka ruang perselisihan hasil berupa perselisihan ambang batas dan Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota terpilih.
"Sedangkan Pasal 474 ayat (1) hanya membuka ruang perselisihan hasil pemilu diajukan oleh partai politik peserta pemilu, namun tidak memberikan peluang calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota mengajukan langsung tanpa harus meminta tandatangan ketua umum dan sekretaris jenderal," kata Ramdansyah.
Para pemohon juga mendalilkan Pasal 523 UU Pemilu tidak tepat bila merujuk Pasal 280 ayat (1) huruf j UU Pemilu.
Ramdansyah berpendapat bahwa Pasal 280 ayat (1) huruf j UU Pemilu tidak mengatur spesifikasi peristiwa pidana yaitu menjanjikan atau memberikan dalam konteks kepemiluan.
"Akan menjadi sesat apabila peristiwa menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye tidak dalam konteks kepemiluan bisa dijerat dengan sanksi pidana pemilu," kata Ramdansyah.
Selain itu, para pemohon juga berpendapat bahwa tidak teoat bila Pasal 488 UU Pemilu merujuk Pasal 203 UU Pemilu, karena Pasal 203 UU Pemilu tidak menjelaskan pengisian daftar pemilih dan hanya mengulang unsur Pasal 448 UU Pemilu.
"Penegak hukum akan kesulitan dalam membuktikan pasal ini karena Pasal 203 UU Pemilu juga menjadi norma yang mandiri dan tidak bergantung pada norma yang lain," ujar Ramdansyah.
Baca juga: MK tetapkan lima peraturan pendukung penanganan sengketa pemilu
Baca juga: MK siap tangani sengketa Pemilu 2019
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2019