Jakarta (ANTARA) - Ketua Panitia Pemungutan Suara (PPS) Kampung Makmur, Distrik Fovi, Adrianus Sagi, sekitar Subuh pada Sabtu (20/4), baru saja menyelesaikan tugasnya dalam pemungutan suara.
Ia pulang ke rumah untuk istirahat tidur setelah sekitar 24 jam bekerja non stop, sejak pagi untuk mengawal perhelatan demokrasi di pulau kepala burung tersebut.
Pukul 06.00 WIT, sang istri menemukannya tak lagi bernafas di pembaringannya. Adrianus Sagi wafat.
Sagi bukan satu-satunya petugas PPPS maupun petugas lapangan yang meninggal setelah menjalankan tugas negara, mengawal demokrasi di negeri ini.
Di berbagai daerah laporan meninggalnya para petugas pengawal demokrasi menjadi berita.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Magetan, Jawa Timur, Poppy Putranto, Selasa (23/4), melaporkan satu orang anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) meninggal dunia diduga akibat kelelahan pascapelaksanaan pemungutan suara tanggal 17 April 2019.
Di Banten, Komisioner KPU Banten Eka Satyalaksmana mengatakan data per 23 April 2019, KPPS yang meninggal dunia dalam bertugas sebanyak tujuh orang dan 30 orang dalam kondisi perawatan karena sakit.
Di Sumatera Selatan (Sumsel), Ketua KPU Sumsel Kelly Mariana di Palembang, Selasa (23/4), menerima laporan, tambahan satu orang KPPS yang meninggal dunia sehingga total delapan petugas KPPS yang telah meninggal per 23 April 2019.
Di Mataram, Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) NTB Suhardi Soud di Mataram, menerima laporan tiga orang petugas KPPS yang meninggal dan sebanyak 25 orang petugas KPPS dan PPK dilaporkan jatuh sakit.
Bahkan ada satu orang anggota PPS di Desa Paok Motong, Kecamatan Masbagik mengalami keguguran lima bulan.
Komisioner KPU RI Viryan Azis mengatakan pada Selasa, 23 April 2019, hingga pukul 14.00 WIB, Petugas KPPS yang meninggal saat menjalankan tugas 119 orang dan 548 orang sakit yang tersebar di 25 provinsi se-Indonesia.
Sementara Ketua Badan Pengawas Pemilu Abhan mengatakan, hingga Selasa tercatat petugas Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang meninggal dunia tercatat 33 orang.
Data petugas yang menjadi korban tersebut dapat terus bertambah.
Evaluasi Pemilu 2019
Banyaknya korban jiwa para petugas di lapangan, telah membuat pemilu 2019 menjadi perhatian khalayak.
Pemilu 2019 sebenarnya mengukir sejarah sebagai pemilu serentak, pemilihan presiden dan legislatif (DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota) serta Dewan Perwakilan Daerah.
Pemilu 2019 tersebut dirancang dapat menghemat anggaran dengan menjadikan sejumlah kegiatan pemilihan dalam satu waktu. Pada Pemilu 2024, bahkan direncanakan akan ditambah dengan pemilihan kepala daerah.
Namun, pengalaman Pemilu 2019 menjadi alarm dalam penyelenggaraan pemilu ke depan.
Banyaknya kertas suara yang harus ditangani oleh petugas di lapangan, membuat terjadinya kelelahan para petugas dan mengakibatkan sejumlah kematian.
Penghitungan suara menjadi sangat panjang, bahkan hingga subuh baru dapat diselesaikan.
Tak urung, suara-suara untuk mengkaji ulang pemilu pun terus berdatangan.
Wakil Presiden Jusuf Kalla angkat bicara soal permasalahan tersebut. "Coba deh yang meninggal saja, kita berdoa supaya ditenangkan, kan hampir 100 orang. Apa itu diteruskan lagi supaya 5 tahun lagi ada meninggal ratusan orang karena kelebihan, karena capek, karena menghitung lama," kata Wapres.
Untuk itu, Wapres menilai pemilu serentak perlu dikaji ulang, salah satunya dengan mengembalikan pemisahan antar pemilihan presiden dengan pemilihan legislatif.
"Termasuk juga caleg-caleg itu tertutup. Pilih partai saja, sehingga tidak terjadi keruwetan menghitung," kata JK.
Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa Abdul Kadir Karding menilai secara teknis pemilu serentak membuat kelelahan petugas di lapangan.
Secara substansi, pemilu serentak telah mengakibatkan pemilihan legislatif kurang diperhatikan dibandingkan pemilihan presiden.
Untuk itu ia mengusulkan agar dipisah antara pemilihan presiden dengan pemilihan legislatif.
Sementara Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengkritik bahwa pemilu serentak bukan berarti pemilu borongan.
Perludem mengusulkan pemisahan pemilihan umum menjadi serentak secara nasional dan lokal.
Hal ini akan menjadi solusi untuk mengatasi kerumitan Pemilu 2019, kata Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini.
Usulan pemilu serentak nasional dan lokal tersebut pernah disampaikan sejumlah lembaga pemilu dan koalisi masyarakat sipil.
Rancangan pemilu serentak saat itu ialah pelaksanaan pemilu serentak nasional meliputi pilpres, pemilihan anggota DPR RI dan pemilihan anggota DPD RI, baru dua atau 2,5 tahun kemudian diselenggarakan pemilu serentak lokal meliputi pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota DPRD provinsi dan pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota.
"Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) saat itu adalah menerima pemilu serentak. Namun sayangnya pemilu serentak didesain oleh pembentuk undang-undang dengan lima jenis pemilu sekaligus seperti sekarang," jelas Titi.
Terkait usulan sejumlah pihak agar pemilu dipisahkan antara pilpres dan pileg, Titi menilai itu bukan jalan keluar untuk perbaikan demokrasi di Tanah Air.
Menurut dia, pemisahan pileg dan pilpres justru mengembalikan rancangan pemilu seperti pada 2004, 2009 dan 2014.
Padahal desain tiga pemilu tersebut pada dasarnya cenderung sulit dikelola. Kerumitannya juga menjadi sebab meninggalnya petugas di pemilu-pemilu legislatif sebelumnya, meski tidak sebanyak tahun ini, katanya.
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019