Mudahnya memilih capres, sulitnya memilih caleg

Delapan parpol penuhi ambang batas parlemen, PDIP suara terbanyak
Arsip Petugas KPU Daerah Kendari memberikan edukasi cara memasukan surat suara sesuai warna kotak suara dan surat suara Pemilu 2019 kepada warga saat simulasi pencoblosan di Lapangan Upacara Kantor Walikota Kendari, Kendari, Sulawesi Tenggara, Jumat (5/4/2019). Simulasi dilakukan untuk memantapkan pelaksanaan Pemilu 2019 yang nantinya akan memilih presiden dan wakil presiden, anggota legislatif tingkat DPR, DPRD serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD). (ANTARA FOTO/JOJON)
Blitar, Jatim (ANTARA) - Jika untuk memilih pasangan calon presiden-calon wakil presiden pada Pemilu 17 April 2019 relatif mudah, maka tidak demikian dengan calon legislatif yang terdiri Caleg DPRD kabupaten/kota, provinsi, DPR RI dan Dewan Perwakilan Daerah yang secara keseluruhan jumlahnya mencapai ratusan orang.

Untuk memilih pasangan calon presiden-cawapres pada pemilu hari Rabu, 17 April nanti, berdasarkan berbagai survei sebagian besar masyarakat sudah menentukan pilihannya, ke 01 atau 02. Tinggal belasan persen saja penduduk Indonesia yang dikategorikan sebagai "massa mengambang".

Jumlah massa mengambang ini pun, diprediksi sudah semakin sedikit seiring penyelenggaraan debat capres-cawapres yang sudah sampai tahap 4, dan tinggal sekali lagi menunggu debat yang ke 5, Sabtu (13/4) malam.

Selain massa mengambang sudah semakin tergiring untuk menentukan pilihannya ke Jokowi-Ma'ruf atau memilih Prabowo-Sandi melalui debat tersebut, dukungan massa juga dapat dilihat dari antusiasme masyarakat yang mendatangi arena-arena kampanye akbar di berbagai daerah belakangan ini.

Jika massa pendukung Jokowi-Ma'ruf umumnya masih harus "dibiayai" melalui pembagian kaos, nasi bungkus dan uang transport, maka tidak demikian dengan massa pendukung Prabowo-Sandi yang di berbagai daerah terlihat justru mereka ramai-ramai memberikan sumbangan uang dari puluhan ribu, ratusan ribu rupiah, semacam gerakan rakyat (people power).

Realitas massa pendukung pasangan calon presiden-cawapres sudah semakin mudah dilihat melalui siaran televisi biasa/manual maupun saluran online dan video-video yang segera tersebar melalui media sosial, namun tidak demikian untuk memilih caleg yang masih membingungkan, terutama bagi masyarakat di perdesaan.

Masyarakat umumnya masih bingung untuk menentukan pilihan calon legislatif tingkat kabupaten/kota, provinsi, DPR RI maupun calon DPD RI, padahal pemilu tinggal beberapa hari lagi.

Seperti masyarakat di desa-desa di Kabupaten Blitar, ketua RT sampai harus berkeliling dari rumah ke rumah warganya guna menjelaskan cara memilih di TPS nanti.

Jalan termudah jika terpaksa, masyarakat dapat memilih partainya saja, tanpa menentukan nama caleg-nya. Namun tidak bisa demikian dengan calon DPD yang hanya bisa dipilih satu di antara puluhan nama di setiap daerah pemilihan atau dapil.

Seperti Daftar Calon Tetap (DCT) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Jatim Pemilu 2019, yang mencantumkan 44 nama, yang harus dipilih salah seorang di antaranya.


Pilih yang "berkeringat"

Memilih caleg yang sudah "berkeringat" dalam arti sudah bekerja, dari upaya membangun diri melalui pendidikan yang telah dijalankan, hingga kesanggupan menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinan masing-masing secara tulus ikhlas.

Sebagai wakil rakyat, baik DPRD/DPR RI maupun DPD RI, tentu kita harapkan mereka yang memiliki bekal sumber daya manusia yang mumpuni sesuai persepsi masing-masing pemilih.

Bagi caleg/calon DPD RI yang beragama Islam, modal awalnya tentu yang sudah menjalankan minimal sholat wajib lima waktu, syukur bagi laki-laki yang sudah biasa menjalankannya secara berjamaah di masjid/mushalla. Bagi umat Islam penting menjalankan ibadah sholat, mengingat hal itu merupakan tiang agama.

Selain menjalankan ibadah sholat yang sesuai dengan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, masalah pendidikan atau pengalaman kerja, tentu juga penting. Hal ini juga sesuai persepsi masing-masing pemilih yang berbeda-beda.

Seorang ustadz yang sudah biasa mendidik anak-anak belajar agama dan berceramah di berbagai tempat, tentu dinilai lebih baik ketimbang caleg/calon DPD yang sekadar baru menjalankan ibadah sholat saja.

Kriteria berikutnya adalah mereka yang benar-benar sudah berkeringat berkiprah membangun masyarakat dan daerah melalui berbagai bidang, seperti gerakan kebersihan, membentuk bank sampah, penanaman pohon dan gerakan lingkungan lainnya, selain melalui upaya advokasi kepada masyarakat dalam pemberantasan korupsi dan lainnya.

Masyarakat tentu tidak ingin punya wakil yang menjadikan lembaga legislatif, termasuk DPD itu sekadar sebagai lapangan kerja atau tempat bekerja/mencari makan.

Di era yang sudah memasuki dunia digital, dengan banyaknya pekerjaan yang digantikan oleh mesin dengan program komputer ini, tidak elok jika masih ada caleg yang menganggapnya lembaga perwakilan itu sebagai lowongan kerja semata.

Lembaga legislatif yang dianggap sama seperti pabrik yang memerlukan pekerja dan tempat mencari makan atau mendapatkan gaji.

Di era digital ini, masyarakat tentu berharap adanya calon wakil mereka di legislatif yang mampu bekerja dengan visi jauh ke depan, agar bangsa ini mampu mengejar kemajuan zaman, tidak tergilas oleh bangsa lain.


Isu membingungkan

Dengan semakin dekatnya penyelenggaraan Pileg dan Pilpres, 17 April 2019, bertambah banyak pula kabar berseliweran yang sulit dipercaya/dipegang kebenarannya, terutama terkait capres dan cawapres.

Masalah memilih caleg, termasuk untuk DPD RI dihadapkan kesulitan memantau rekam jejak calon yang jumlahnya banyak, namun tidak dihadapkan pada banyaknya isu-isu yang membingungkan. Hal ini berbeda dengan capres-cawapres yang dihadapkan pada banyaknya kabar bohong yang tersebar luas di masyarakat.

Karena itu, pemilih harus semakin berhati-hati dalam menerima informasi dari manapun, jangan langsung diterima, dipercaya sebagai dasar dalam menentukan pilihan di bilik suara nanti.

Walaupun memilih pasangan capres-cawapres bisa dibilang mudah, namun bisa menjadi sulit ketika kita menerima mentah-mentah informasi dari media massa, seperti televisi yang sudah berpihak ke pasangan calon tertentu.

Lakukanlah cek silang ke sumber yang bisa memberikan informasi yang dapat menjadi pertimbangan dalam mencari kebenaran atas sesuatu hal. Lakukan pengecekan ke Google, You Tube dan lainnya. Bisa juga bertanya kepada pihak yang lebih memahami suatu masalah.

Lakukan juga pengecekan realita di masyarakat, misalnya terkait isu pemanfaatan struktur pemerintahan untuk mencari dukungan masyarakat hingga tingkat RT/RW.

Isu itu harus dipilah, jika perangkat pemerintahan seperti ketua RT/RW sekadar memberi penjelasan tentang tata cara memilih caleg/DPD dan pasangan capres-cawapres yang ada dalam lima lembar kertas suara dengan warna berbeda-beda itu, tentu tidak jadi masalah. Yang jadi masalah adalah pertemuan masyarakat, seperti undangan dari ketua RW untuk sosialisasi program kelurahan/desa, tetapi juga diisi penggiringan dukungan untuk calon tertentu.

Hal tersebut semula dianggap kabar bohong, tetapi ternyata sudah terjadi di sejumlah daerah, seperti di Kabupaten Blitar. Pertemuan berdalih sosialisasi program kelurahan/desa, yang dihadiri lurah/kades, tetapi diselingi kampanye dengan menghadirkan pengurus partai tertentu.

Pertimbangan akal dan pikiran sehat, tentu juga tidak bisa diabaikan, selain berdoa. Pemilih perlu berdoa sebelum beranjak ke bilik suara untuk mencoblos pada hari Rabu 17 April nanti. Umat harus yakin bahwa Allah telah menetapkan, siapa yang kelak akan terpilih menjadi capres-cawapres. Juga siapa caleg dan calon DPD RI yang akan benar-benar terpilih menjadi wakil rakyat.
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019
Pemkab Yapen Berharap Warga Tidak Golput Sebelumnya

Pemkab Yapen Berharap Warga Tidak Golput

Logistik Pilkada untuk Kabupaten Tangerang mulai didistribusikan ke TPS Selanjutnya

Logistik Pilkada untuk Kabupaten Tangerang mulai didistribusikan ke TPS