Palu (ANTARA) - Pascabencana gempa, tsunami dan likuefaksi menimpa Kota Palu, Kabupaten Donggala, Sigi dan Parigi Moutong (Padagimo), Sulawesi Tengah, banyak masyarakat termasuk pemilih hingga saat ini membangun tempat tinggal di lokasi pengungsian.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas-HAM) Perwakilan Sulawesi Tengah menegaskan hak partisipasi pemilu korban bencana di lokasi pengungsian harus dijamin oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu.
"Hak politik, hak partisipasi pemilu korban bencana di Pasigala, harus dijamin oleh negara dengan baik. Yaitu memberikan akses seluas-luasnya, memberikan kemudahan kepada mereka untuk menyalurkan hak politik dan hak partisipasi tersebut," ucap Ketua Komnas-HAM Perwakilan Sulteng Dedi Askary.
Dedi Askary menegaskan Hak yang berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan menyangkut perlindungan hak sipil dan politik, tidak boleh di terlantarkan oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu.
Pemerintah dan penyelenggara pemilu, sebut dia, harus memastikan, menjamin dan memberikan informasi kepada korban di pengungsian bahwa korban berhak mendapat, menyalurkan hak politik tersebut pada pesta demokrasi tahun 2019.
Pemerintah dan penyelenggara pemilu, harus memberikan akses semudah-mudah mungkin kepada korban di lokasi pengungsian, agar korban dapat menyalurkan hak politik dan partisipasi.
"Hak yang berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan menyangkut perlindungan hak sipil dan politik, misalnya hak atas kebebasan beragama dan kebebasan berbicara, dokumentasi pribadi, partisipasi politik dalam pemilihan umum, akses ke lembaga-lembaga peradilan dan kebebasan dari diskriminasi. Kesemua itu mutlak dijamin pelaksanaannya, termasuk terhadap korban bencana alam di Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong (Pasigala/Padagimo), sekalipun mereka menyebar dan masih bertahan di tenda-tenda Pengungsian," kata Dedi tegas.
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Sulawesi Tengah, berjanji mengawal ketat hak pilih pengungsi korban bencana.
"Kami terus mengupayakan dengan berbagai cara dan strategi agar hak pilih, hak politik, hak konstitusional korban bencana Sulteng di lokasi pengungsian, dapat tersalurkan," ucap Ketua Bawaslu Sulteng, Ruslan Husen.
Data Bawaslu Sulteng berdasarkan faktualisasi pengawas pemilu di lokasi pengungsian korban bencana Sulteng, tiga kabupaten dan satu kota. Tercatat bahwa jumlah pengungsi sebagai wajib pilih sebanyak 14.321 pemilih.
Jumlah tersebut, terdiri dari Kota Palu sebanyak 10.026 pemilih di 64 titik pengungsian, Kabupaten Sigi 640 pemilih di 13 titik pengungsian, Donggala 3.649 pemilih di 54 titik pengungsian, dan Parigi Moutong 6 pemilih di 4 titik pengungsian.
Kemudian, jumlah pemilih di empat daerah tersebut yang telah menempati hunian sementara sebanyak 3.142 pemilih. Terdiri dari Kota Palu 705 pemilih di 40 titik huntara, Kabupaten Donggala 653 pemilih di 9 titik huntara, Sigi 1.784 di 26 titik huntara, dan Parigi Moutong 0. Selanjutnya, pengungsi dan penghuni huntara yang tercatat sebagai pemilih sebanyak 17.463 pemilih.
Karena itu, Bawaslu Sulawesi Tengah menempuh empat langkah atau strategi untuk mengawal dan melindungi hak pilih pengungsi korban bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi di Kota Palu, Kabupaten Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong.
Pertama, kata Ruslan Husen, Bawaslu meminta dan merekomendasikan kepada pemerintah agar lokasi pembangunan hunian sementara, lokasi pengungsian tidak berada di luar daerah pemilihan, bagi warga yang terdampak gempa, tsunami, dan likuefaksi.
"Pemerintah menyetujui rekomendasi dan usulan kami tersebut, kami meminta agar relokasi, lokasi pengungsian dan pembangunan huntara jangan sampai di luar daerah pemilihan," ujar dia pula.
Kedua, kata dia pula, Bawaslu meminta pemerintah atau Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk mengunci sementara/tidak menerima permohonan dari korban bencana atau pun masyarakat yang daerahnya tidak terdampak untuk pindah alamat.
Bawaslu meminta agar permohonan itu dikunci sementara, nanti akan dilayani kembali setelah pesta demokrasi Pemilu 17 April 2019, agar data pemilu utamanya Daftar Pemilih Tetap tidak terlalu mengalami perubahan pascabencana Sulteng di empat wilayah itu.
Selain itu, sebagai bentuk sinkronisasi data kependudukan antara penyelenggara pemilu dengan pemerintah yang memudahkan penyelenggara dalam pendataan pemilih.
Ketiga, ujar Ruslan, Bawaslu meminta dan merekomendasikan agar pembangunan tempat pemungutan suara diadakan di lokasi pengungsian atau berdekatan dengan hunian sementara.
"Bagi korban dengan lokasi TPS awalnya hilang karena terdampak likuefaksi atau tsunami, maka KPU harus membangunkan TPS di lokasi pengungsian dan huntara. Namun, bagi korban yang TPS-nya tidak hilang, maka disarankan untuk kembali ke TPS-nya pada 17 April 2019," kata Ruslan Husen.
Keempat, Bawaslu memaksimalkan kegiatan sosialisasi pemilu untuk peningkatan partisipasi serta mensosialisasikan langkah ke satu sampai tiga, kepada korban bencana melibatkan pemerintah desa/kelurahan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Tengah juga mengupayakan agar hak memilih para korban bencana pada Pemilu 2019 tetap tersalurkan dengan baik.
"Bagi korban bencana yang mengungsi keluar wilayah, desa/kelurahan, kecamatan dan kabupaten/kota, bila jumlahnya mencapai 300 maka KPU akan mendekatkan TPS kepada mereka," ucap Komisioner KPU Sulteng Bidang Partisipasi Masyarakat, Sumber Daya Manusia dan Sosialisasi, Sahran Raden.
Sahran menjelaskan, terhadap kategori pengungsi yang direlokasi di suatu tempat yang masih di kelurahan asal, sebaiknya pemilih tersebut dibangunkan TPS di dekat pengungsian pemilih. Sebabnya, pengungsiannya masih dalam wilayah kelurahan asalnya.
Akan tetapi pemilih yang mengungsi di kelurahan tertentu yang berasal dari kelurahan lain atau kecamatan lain dan/atau kabupaten lain, sebaiknya pemilih ini didata untuk dimasukkan ke dalam DPTb pemilih untuk kelurahan tertentu itu.
Terhadap penduduk yang mengungsi atau pindah domisili secara sporadis yang tinggal di kos-kosan atau tenda-tenda dan bahkan hunian sementara di kelurahan dan desa yang berbeda, sebaiknya didata untuk dimasukkan ke dalam DPTb dengan ketentuan bahwa yang bersangkutan pada saat pemungutan suara tidak kembali ke daerah asalnya.
Ketua RT01/RW 05 Kelurahan Petobo Abdul Naim, di shelter pengungsian Jalan Jepang mengakui bahwa sebagian korban bencana gempa dan likuefaksi Petobo, peduli terhadap pesta demokrasi 2019.
"Ada juga sebagian warga/korban yang acuh tak acuh, kurang peduli, ada yang tidak pusing dengan pemilu," sebut Abdul Naim.
Kehilangan harta benda, tempat tinggal, lapangan pekerjaan, sanak saudara dan keluarga, mempengaruhi psikologi korban bencana Sulteng yang saat ini di pengungsian. Karena itu, korban tidak fokus terhadap pemilu 2019.
"Orang berpikir bagaimana bisa makan, bagaimana bisa minum, bisa tidur. Korban tidak berpikir tentang pesta demokrasi," ujar dia.
Namun demikian, KPU Sulawesi Tengah mengklaim bahwa korban bencana Sulteng di pengungsian peduli terhadap pemilu 2019.
"Ada beberapa faktor yang secara langsung mempengaruhi tingkat kepedulian dan partisipasi korban bencana terhadap Pemilu 2019," ucap Komisioner KPU Sulteng Bidang Partisipasi Masyarakat, Sumber Daya Manusia dan Sosialisasi, Sahran Raden.
Menurut Sahran, jauh sebelum bencana gempa, tsunami dan likuefaksi menghantam tiga kabupaten dan satu kota di Sulteng, korban telah memiliki calon legislatif yang nantinya akan dipilih pada 17 April mendatang.
Hal itu sangat berpengaruh terhadap korban bencana yang saat ini berada di lokasi pengungsian di empat daerah tersebut.
Karena itu, sekalipun korban berada di lokasi pengungsian, antusiasme dan semangat untuk berpartisipasi pada 17 April nanti tidak surut.
Hadirnya kandidat legislatif tingkat kabupaten/kota yang daerah pemilihannya terdapat lokasi-lokasi pengungsian, juga secara langsung turut serta menyosialisasikan Pemilu 2019, sekaligus meningkatkan antusiasme korban bencana terhadap pemilu.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas-HAM) Perwakilan Sulawesi Tengah menegaskan hak partisipasi pemilu korban bencana di lokasi pengungsian harus dijamin oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu.
"Hak politik, hak partisipasi pemilu korban bencana di Pasigala, harus dijamin oleh negara dengan baik. Yaitu memberikan akses seluas-luasnya, memberikan kemudahan kepada mereka untuk menyalurkan hak politik dan hak partisipasi tersebut," ucap Ketua Komnas-HAM Perwakilan Sulteng Dedi Askary.
Dedi Askary menegaskan Hak yang berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan menyangkut perlindungan hak sipil dan politik, tidak boleh di terlantarkan oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu.
Pemerintah dan penyelenggara pemilu, sebut dia, harus memastikan, menjamin dan memberikan informasi kepada korban di pengungsian bahwa korban berhak mendapat, menyalurkan hak politik tersebut pada pesta demokrasi tahun 2019.
Pemerintah dan penyelenggara pemilu, harus memberikan akses semudah-mudah mungkin kepada korban di lokasi pengungsian, agar korban dapat menyalurkan hak politik dan partisipasi.
"Hak yang berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan menyangkut perlindungan hak sipil dan politik, misalnya hak atas kebebasan beragama dan kebebasan berbicara, dokumentasi pribadi, partisipasi politik dalam pemilihan umum, akses ke lembaga-lembaga peradilan dan kebebasan dari diskriminasi. Kesemua itu mutlak dijamin pelaksanaannya, termasuk terhadap korban bencana alam di Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong (Pasigala/Padagimo), sekalipun mereka menyebar dan masih bertahan di tenda-tenda Pengungsian," kata Dedi tegas.
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Sulawesi Tengah, berjanji mengawal ketat hak pilih pengungsi korban bencana.
"Kami terus mengupayakan dengan berbagai cara dan strategi agar hak pilih, hak politik, hak konstitusional korban bencana Sulteng di lokasi pengungsian, dapat tersalurkan," ucap Ketua Bawaslu Sulteng, Ruslan Husen.
Data Bawaslu Sulteng berdasarkan faktualisasi pengawas pemilu di lokasi pengungsian korban bencana Sulteng, tiga kabupaten dan satu kota. Tercatat bahwa jumlah pengungsi sebagai wajib pilih sebanyak 14.321 pemilih.
Jumlah tersebut, terdiri dari Kota Palu sebanyak 10.026 pemilih di 64 titik pengungsian, Kabupaten Sigi 640 pemilih di 13 titik pengungsian, Donggala 3.649 pemilih di 54 titik pengungsian, dan Parigi Moutong 6 pemilih di 4 titik pengungsian.
Kemudian, jumlah pemilih di empat daerah tersebut yang telah menempati hunian sementara sebanyak 3.142 pemilih. Terdiri dari Kota Palu 705 pemilih di 40 titik huntara, Kabupaten Donggala 653 pemilih di 9 titik huntara, Sigi 1.784 di 26 titik huntara, dan Parigi Moutong 0. Selanjutnya, pengungsi dan penghuni huntara yang tercatat sebagai pemilih sebanyak 17.463 pemilih.
Karena itu, Bawaslu Sulawesi Tengah menempuh empat langkah atau strategi untuk mengawal dan melindungi hak pilih pengungsi korban bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi di Kota Palu, Kabupaten Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong.
Pertama, kata Ruslan Husen, Bawaslu meminta dan merekomendasikan kepada pemerintah agar lokasi pembangunan hunian sementara, lokasi pengungsian tidak berada di luar daerah pemilihan, bagi warga yang terdampak gempa, tsunami, dan likuefaksi.
"Pemerintah menyetujui rekomendasi dan usulan kami tersebut, kami meminta agar relokasi, lokasi pengungsian dan pembangunan huntara jangan sampai di luar daerah pemilihan," ujar dia pula.
Kedua, kata dia pula, Bawaslu meminta pemerintah atau Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk mengunci sementara/tidak menerima permohonan dari korban bencana atau pun masyarakat yang daerahnya tidak terdampak untuk pindah alamat.
Bawaslu meminta agar permohonan itu dikunci sementara, nanti akan dilayani kembali setelah pesta demokrasi Pemilu 17 April 2019, agar data pemilu utamanya Daftar Pemilih Tetap tidak terlalu mengalami perubahan pascabencana Sulteng di empat wilayah itu.
Selain itu, sebagai bentuk sinkronisasi data kependudukan antara penyelenggara pemilu dengan pemerintah yang memudahkan penyelenggara dalam pendataan pemilih.
Ketiga, ujar Ruslan, Bawaslu meminta dan merekomendasikan agar pembangunan tempat pemungutan suara diadakan di lokasi pengungsian atau berdekatan dengan hunian sementara.
"Bagi korban dengan lokasi TPS awalnya hilang karena terdampak likuefaksi atau tsunami, maka KPU harus membangunkan TPS di lokasi pengungsian dan huntara. Namun, bagi korban yang TPS-nya tidak hilang, maka disarankan untuk kembali ke TPS-nya pada 17 April 2019," kata Ruslan Husen.
Keempat, Bawaslu memaksimalkan kegiatan sosialisasi pemilu untuk peningkatan partisipasi serta mensosialisasikan langkah ke satu sampai tiga, kepada korban bencana melibatkan pemerintah desa/kelurahan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Tengah juga mengupayakan agar hak memilih para korban bencana pada Pemilu 2019 tetap tersalurkan dengan baik.
"Bagi korban bencana yang mengungsi keluar wilayah, desa/kelurahan, kecamatan dan kabupaten/kota, bila jumlahnya mencapai 300 maka KPU akan mendekatkan TPS kepada mereka," ucap Komisioner KPU Sulteng Bidang Partisipasi Masyarakat, Sumber Daya Manusia dan Sosialisasi, Sahran Raden.
Sahran menjelaskan, terhadap kategori pengungsi yang direlokasi di suatu tempat yang masih di kelurahan asal, sebaiknya pemilih tersebut dibangunkan TPS di dekat pengungsian pemilih. Sebabnya, pengungsiannya masih dalam wilayah kelurahan asalnya.
Akan tetapi pemilih yang mengungsi di kelurahan tertentu yang berasal dari kelurahan lain atau kecamatan lain dan/atau kabupaten lain, sebaiknya pemilih ini didata untuk dimasukkan ke dalam DPTb pemilih untuk kelurahan tertentu itu.
Terhadap penduduk yang mengungsi atau pindah domisili secara sporadis yang tinggal di kos-kosan atau tenda-tenda dan bahkan hunian sementara di kelurahan dan desa yang berbeda, sebaiknya didata untuk dimasukkan ke dalam DPTb dengan ketentuan bahwa yang bersangkutan pada saat pemungutan suara tidak kembali ke daerah asalnya.
Ketua RT01/RW 05 Kelurahan Petobo Abdul Naim, di shelter pengungsian Jalan Jepang mengakui bahwa sebagian korban bencana gempa dan likuefaksi Petobo, peduli terhadap pesta demokrasi 2019.
"Ada juga sebagian warga/korban yang acuh tak acuh, kurang peduli, ada yang tidak pusing dengan pemilu," sebut Abdul Naim.
Kehilangan harta benda, tempat tinggal, lapangan pekerjaan, sanak saudara dan keluarga, mempengaruhi psikologi korban bencana Sulteng yang saat ini di pengungsian. Karena itu, korban tidak fokus terhadap pemilu 2019.
"Orang berpikir bagaimana bisa makan, bagaimana bisa minum, bisa tidur. Korban tidak berpikir tentang pesta demokrasi," ujar dia.
Namun demikian, KPU Sulawesi Tengah mengklaim bahwa korban bencana Sulteng di pengungsian peduli terhadap pemilu 2019.
"Ada beberapa faktor yang secara langsung mempengaruhi tingkat kepedulian dan partisipasi korban bencana terhadap Pemilu 2019," ucap Komisioner KPU Sulteng Bidang Partisipasi Masyarakat, Sumber Daya Manusia dan Sosialisasi, Sahran Raden.
Menurut Sahran, jauh sebelum bencana gempa, tsunami dan likuefaksi menghantam tiga kabupaten dan satu kota di Sulteng, korban telah memiliki calon legislatif yang nantinya akan dipilih pada 17 April mendatang.
Hal itu sangat berpengaruh terhadap korban bencana yang saat ini berada di lokasi pengungsian di empat daerah tersebut.
Karena itu, sekalipun korban berada di lokasi pengungsian, antusiasme dan semangat untuk berpartisipasi pada 17 April nanti tidak surut.
Hadirnya kandidat legislatif tingkat kabupaten/kota yang daerah pemilihannya terdapat lokasi-lokasi pengungsian, juga secara langsung turut serta menyosialisasikan Pemilu 2019, sekaligus meningkatkan antusiasme korban bencana terhadap pemilu.
Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019