Ambruknya kekuatan politik PDIP di Timor Tengah Utara

Ini kata KPU DKI bagi pemilih sebelum ke TPS pada Rabu
Ambruknya kekuatan politik PDIP di Timor Tengah Utara. (ANTARA Foto)
Kupang (ANTARA) - Pesta demokrasi pemilihan umum calon anggota DPR, DPRD, dan DPD serta presiden/wakil presiden telah berakhir yang ditandai dengan kemenangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

Sementara itu, calon legislator (caleg) sebagian besarnya telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) masing-masing, dan sebagiannya masih berproses sambil menunggu hasil putusan sidang sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK).

Tercatat lima dari 22 kota/kabupaten di NTT yang masih menunda pleno penetapan kursi dan caleg periode 2019 s.d. 2024 karena masih menunggu putusan dari MK. Selebihnya, 17 kabupaten lainnya sudah selesai pleno, kata Ketua KPU Provinsi NTT Thomas Dohu.

Baca juga: KPU TTU tunda pemungutan suara di satu TPS

Sambil menunggu jadwal pelantikan anggota DPRD terpilih periode 2019 s.d. 2024 pada tanggal 5 Agustus 2019, ada fenomena politik yang tampak menarik dari pemilu anggota legislatif pada tahun 2019,  yakni ambruknya kekuatan politik Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).

PDI Perjuangan yang selama 10 tahun terakhir mendominasi kekuatan politik di parlemen, akhirnya ambruk juga digilas Partai Nasional Demokrat (NasDem) dalam Pemilu 2019.

Dari 30 calon anggota DPRD Kabupaten TTU yang ditetapkan KPU setempat beberapa hari lalu, PDI Perjuangan hanya meraih dua kursi yang diwakili oleh Karolus Boromeus Sonbay dan Hendrikus F. Saunoah. Delapan kursi di antaranya diraih Partai NasDem.

Ketua KPU Kabupaten TTU Paulinus Lape Feka menyebutkan dari 30 anggota DPRD Kabupaten TTU, sebagian besar didominasi oleh Partai Nasional Demokrat (NasDem) dengan menempatkan delapan orang perwakilannya di lembaga legislatif setempat.

Perolehan kursi terbanyak kedua diraih Partai Golkar dengan meraih empat kursi. Selain itu, ada tiga partai lainnya memperoleh masing-masing tiga kursi di DPRD Kabupaten TTU, yakni Partai Hanura, Partai Gerindra, dan PKB.

Berdasarkan penetapan hasil pleno perhitungan suara, ada tiga partai yang memperoleh masing-masing dua kursi. Tiga partai itu adalah PDIP, Perindo, dan Demokrat. Adapun partai yang meraih satu kursi masing-masing PAN, Partai Berkarya, dan PKS.

Berdasarkan hasil analisis politik, delapan kursi yang direbut NasDem itu merupakan kursinya PDIP yang terus bercokol di parlemen setempat dalam10 tahun terakhir.

Faktor Raymundus

Kemenangan yang diraih Partai NasDem itu, tidak lepas dari peran dan ketokohan politik Raymundus Sau Fernandes yang kini menjalani masa terakhir kepemimpinannya sebagai Bupati Timor Tengah Utara (2015 s.d. 2020).

Lelaki bertubuh gempal itu memilih jalan merapat ke NasDem setelah terdepak dari PDI Perjuangan, saat tidak diakomodasinya menjadi calon Gubernur NTT periode 2018 s.d. 2023 dari pintu PDI Perjuangan.

Baca juga: Calon tunggal unggul sementara dalam Pilkada Timor Tengah Utara

Raymundus Sau Fernandes merasa sebagai orang yang sangat berjasa dalam membesarkan PDI Perjuangan di NTT, khususnya di wilayah Timor Tengah Utara, sehingga merasa pantas dan sah-sah saja jika dicalonkan menjadi Gubernur NTT.

Sebagai salah seorang pemimpin yang sudah cukup matang dalam membangun karier kehidupan politiknya, mulai dari Wakil Ketua DPRD Kabupaten TTU, Ketua DPRD Kabupaten TTU, Wakil Bupati TTU dan terakhir menjadi Bupati TTU, Raymundus Sau Fernandes merasa jika dirinya yang pantas untuk dicalonkan.

Keberanian Raymundus Sau Fernandes untuk mencalonkan diri menjadi Gubernur NTT dari pintu PDIP karena Frans Lebu Raya sudah tidak mencalonkan diri. Pasalnya, yang bersangkutan sudah dua periode memimpin NTT.

Namun, keputusan organisasi jatuh ke tangan orang lain yang bukan orang partai sehingga membuat Raymundus Sau Fernandes seakan patah arang dan redup dalam memandang karier politiknya ke depan.

Partai NasDem NTT akhirnya merebutnya dan mengangkatnya menjadi ketua partai untuk wilayah Nusa Tenggara Timur sebelum Pemilu 2019.

Apakah fenomena politik ini disebut juga sebagai outsourcing politik karena parpol dinilai gagal menjalankan fungsi esensialnya sebagai kaderisasi.

"Jika partai tak menjalankan kaderisasi, anggota partai hanya akan menjadi pembebek," kata Bung Hatta.

Jika hal itu disebut sebagai outsourcing politik, mungkin ada benarnya juga, karena parpol telah menggunakan tenaga kerja dari luar organisasi politik sendiri untuk melaksanakan tugas atau pekerjaan tertentu yang spesifik. Dalam konteks politik, outsourcing dalam pilkada terjadi karena dua sebab.

Menurut Lembaga The Comparative Studi of Electoral Systemoutsourcing terjadi karena parpol ingin menang dalam kompetisi elektoral sehingga rela mencomot kader dari luar pagar partai dengan kalkulasi politik kader tersebut punya kans menang (elektabilitas tinggi).

Outsourcing Kandidat

Ini sejalan dengan tesis politik Strom yang mengatakan bahwa perilaku partai dalam pemilu selalu ditujukan untuk memperoleh kemenangan atau dukungan sebanyak-banyaknya.

Partai-partai yang menang kandidatnya cenderung naik elektabilitasnya. Argumentasi inilah yang membuat mengapa partai rela melakukan outsourcing kandidat dalam pilkada.

Berikutnya, tingkat kedekatan publik terhadap parpol sangat rendah. Level kedekatan masyarakat terhadap parpol di Indonesia hanya 12 persen. Berbeda dengan negara demokrasi lain seperti Amerika Serikat yang mencapai 57 persen dan Australia mencapai 84 persen.

Ekses dari melemahnya partai tersebut karena perilaku pemilih makin cair (gampang berpindah-pindah) di satu sisi dan sakralisasi figur makin mengkristal di sisi lain. Inilah mengapa dalam hajatan pemilu istilah “parpol mendukung siapa” lebih dominan ketimbang istilah “siapa didukung partai apa”.

Oleh karena itu, melalui kaderisasi yang baik dan serius, jalan pintas mencari kandidat “siap saji” melalui jurus outsourcing politik dapat diakhiri. Pada saat yang sama, pelembagaan partai juga makin menguat sehingga sakralisasi figur dalam kompetisi elektoral pelan-pelan dapat dikurangi.

Dalam Pemilu 2014, misalnya, Partai NasDem hanya menempatkan dua kadernya di lembaga legislatif. Namun, kini partai tersebut kembali menggilas PDIP setelah Ketua DPC PDIP Timor Tengah Utara Raymundus Sau Fernandes keluar dari lingkaran banteng gemuk dan merapat ke Partai NasDem.

PDI Perjuangan TTU selama empat kali pemilu sejak Pemilu 1999, cukup dominan, sehingga menempatkan kadernya sebagai pimpinan di lembaga legislatif maupun eksekutif, berkat pengaruh dari Raymundus Sau Fernandes.

Sekretaris DPD PDI Perjuangan NTT Yunus Takandewa mengatakan bahwa penurunan perolehan kursi DPRD TTU hasil Pemilu 2019 menjadi bahan evaluasi. Kondisi ini akan menjadi bahan evaluasi, betapa pentingnya tata kelola partai modern yang dituntut menggerakkan seluruh potensi struktural partai hingga pada level paling bawah, katanya.

DPD PDIP memahami bahwa PDI Perjuangan TTU telah bekerja maksimal dan terus berproses menemukan inovasi baru. PDI Perjuangan merupakan partai yang sudah teruji menghadapi iklim politik apa pun yang senantiasa dijadikan pembelajaran untuk menjadi partai solid dan kuat.

Namun, di Timor Tengah Utara, tampaknya sosok Raymundus Sau Fernandes jauh lebih dominan dan berpengaruh sehingga kepindahannya ke NasDem, ikut mengantar partai tersebut meraih kursi terbanyak di DPRD Kabupaten TTU sekaligus menggilas PDIP yang pernah membesarkannya.
Pewarta:
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019
PKB memperkirakan terjadi koalisi terbatas kubu 01 dan 02 Sebelumnya

PKB memperkirakan terjadi koalisi terbatas kubu 01 dan 02

KPU Kabupaten Boyolali fasilitasi pengguna kursi roda di simulasi pemungutan suara Pilkada 2024 Selanjutnya

KPU Kabupaten Boyolali fasilitasi pengguna kursi roda di simulasi pemungutan suara Pilkada 2024