Jakarta (ANTARA) - Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden RI Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahudin Uno terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) ternyata sama sekali tidak menciutkan Pasangan Nomor Urut 02 itu untuk mengajukan gugatan. Kali ini diarahkan ke Mahkamah Agung (MA).
Prabowo kali ini menggugat masalah pelanggaran peraturan pemilu presiden yang mencakup tuduhan telah terjadinya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), padahal sembilan hakim konstitusi telah menolak semua tuntutan Prabowo-Sandiaga itu.
Rakyat Indonesia tidak akan bisa melupakan sejumlah pernyataan pasangan tersebut yang menyatakan menghomati keputusan MK tersebut. Kalau sudah menghormati, pertanyaan mendasar yang patut diajukan kepada Letnan Jenderal (Purnawirawan) TNI Angkatan Darat ini adalah kenapa lagi harus membawa kasus pelanggaraan TSM ke Mahkamah Agung?
Yang bisa menjawab pertanyaan sederhana ini adalah tentu saja Prabowo Subianto beserta Sandiaga Uno. Akan tetapi, bisa diperkirakan bahwa pasangan ini tidak akan menjawab pertanyaan ini secara terbuka kepada rakyat Indonesia. Paling-paling para anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) yang bakal menjawabnya secara tidak langsung.
Baca juga: Nicholay: permohonan PAP kepada MA bukan kasasi
Kalau Mahkamah Konstitusi sudah menolak semua gugatan Pasangan Calon Nomor Urut 02 terhadap KPU, apakah mungkin Mahkamah Agung akan menyidangkan lagi kasus ini? Saat ini gugatan Prabowo-Sandi sudah diregistrasi atau terdaftar di MA sehingga yang menjadi pertanyaan adalah sudikah MA menyidangkan masalah ini?
Masalah gugatan ke MA ini menjadi bisa menarik perhatian masyarakat, terutama karena beberapa hari terakhir ini muncul gosip alias desas-desus bahwa telah terjadi “PDKT” atau pendekatan di antara kedua pihak, yatu pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dengan pasangan Pabowo-Sandiaga.
Yang disebut-sebut menjadi perantara adalah anak buah Jokowi yang bernama Jenderal Polisi Budi Gunawan yang jabatannya adalah Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Namun, secara diplomatis Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Wiranto pernah mengatakan kepada wartawan bahwa dirinya akan “bertanya” kepada Budi Gunawan apakah pernah bertemu dengan pihak Prabowo?
Mungkin pernyataan Wiranto itu sekadar basa-basi karena logikanya tak mungkin Wiranto sama sekali tidak mengetahui pertemuan Budi Gunawan dan Prabowo. Saat ini makin banyak dugaan bahwa kedua pihak bakal melakukan rekonsiliasi atau berbaik-baikan alias rujuk. Namun, mungkinkah rekonsiliasi ini terlaksana?
Baca juga: Soal gugatan Prabowo lagi ke MA, KPU: Bagi kami sudah selesai
Raih 45 persen
Setelah Pemilihan Umum Pesiden dan Wakil Pesiden RI, 17 April 2019, KPU pada tanggal 27 Mei 2019 mengumumkan bahwa Pasangan Nomor Urut 01 meraih suara 55 persen, sedangkan Prabowo-Sandiaga meraih 45 persen suara. Disebutkan pula bahwa Jokowi menang di 21 provinsi, sementara Prabowo mendapat suara 45 persen sehingga akhirnya pasangan 01 dinyatakan sebagai pemenang.
Karena sudah resmi dinyatakan sebagai pihak yang unggul, Jokowi-Ma’ruf dijadwalkan bakal dilantik pada tanggal 20 Oktober 2019. Yang perlu disiapkan adalah nama-nama para calon menteri dan pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian atau LPND, seperti BPPT, Lapan, dan Bakosurtanal, dan LIPI.
Karena masih menjadi presiden periode 2014 s.d. 2019, Jokowi berhak memilih para calon pembantu terdekatnya itu. Partai- partai politik yang selama ini menjadi pendukungnya mulai dari PDIP, Golkar, NasDem, hingga PPP, tentu amat berharap agar jumlah kursi mereka tidak “disunat” alias dikurangi karena telah merasa “berjasa” memenangkan Presiden Joko Widodo.
Akan tetapi, di lain pihak, ada kehendak atau niat dari para pendukung Jokowi untuk melakukan rekonsiliasi dengan Prabowo dan mitranya, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) , Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasiona (PAN).
PKS sudah menyatakan pendiriannya bahwa akan tetap menjadi oposisi. Sebaliknya, Partai Demokrat terus “mendekat” ke Jokowi. PAN masih terbagi dua antara tetap menjadi oposan ataukah juga berkoalisi.
Peristiwa kerusuhan pada tanggal 21 dan 22 Mei 2018 di depan Kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jakarta bisa menjadi salah satu penyebab perlunya upaya rekonsiliasi karena kelompok Jokowi ingin “merangkul“ sebanyak mungkin kelompok oposisi agar selama 5 tahun mendatang tak terjadi lagi begitu banyak gejolak politik.
Selama ini sering muncul kesan bahwa ada parpol yang “bermua dua” alias menerapkan standar ganda atau double standard, yakni di satu pihak mendukung pemerintah, terutama di dalam kabinet, tetapi di lain pihak di Senayan alias di DPR.RI berusaha “menggoyang” pemerintah.
Bahkan, ada seorang tokoh senior PAN yang mengingatkan maukah PAN meraih satu atau dua kursi di kabinet dengan mengorbankan jutaan pendukung atau simpatisannya?
Amat jelas pada masa-masa penantian penyusunan kabinet serta pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI 2019 s.d. 2024 bakal muncul pertanyaan apakah mungkin Prabowo dan Sandiaga bakal menjadi oposan, atau sebaliknya siap berkoalisi dengan Jokowi? Setiap pilihan atau alternatif tentu mempunyai konsekuensinya masing-masing.
Apabila Prabowo-Sandiaga memilih menjadi oposisi, Pada Pemilu 2024, suara di 13 provinsi akan bisa dipertahankan atau malahan bertambah. Sebaliknya, jika “merapat” ke pemerintah alias Joko Widodo, diperkirakan bakal banyak sekali kehilangan pendukungnya, apalagi pemilih-pemilih konservatif. Alternatif mana yang paling baik?
Tentu saja Prabowo Subianto yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, apalagi Jokowi sudah tidak mungkin maju pada Pemilu 2024. Maka, persaingan pada 5 tahun mendatang bisa diharapkan akan benar-benar seru, the real fight, jika mengambil istilah di dalam pertandingan olahraga.
Saat itu tidak ada satu pun calon presiden yang bisa dituduh memanfaatkan berbagai fasilitas negara.
Karena gugatan pasangan dengan nomor urut 02 sudah didaftarkan ke Mahkamah Agung walaupun belum tentu MA bakal menyetujuinya, pertanyaan yang harus dijawab Prabowo adalah masalah gugatan ke MA ini sekadar “basa-basi” kepada jutaan pendukungnya bahwa dia harus tetap tampil sebagai lawan politik Jokowi yang “berani”, ataukah dia memang siap bergabung menerima ajakan rekonsiliasi dengan pasangan calon terpilih pada Pilpres 2019.
Baca juga: Yusril: Tidak mungkin MA sidangkan kasasi Prabowo-Sandi
Haruskah rakyat terus dijejali atau dipusingkan dengan masalah Pemilihan Presiden? Berilah ketenangan tuntas kepada rakyat .
*) Arnaz Ferial Firman adalah wartawan Antara tahun 1982-2018, pernah meliput acara- acara kepresienan tahun 1987-2009
Prabowo kali ini menggugat masalah pelanggaran peraturan pemilu presiden yang mencakup tuduhan telah terjadinya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), padahal sembilan hakim konstitusi telah menolak semua tuntutan Prabowo-Sandiaga itu.
Rakyat Indonesia tidak akan bisa melupakan sejumlah pernyataan pasangan tersebut yang menyatakan menghomati keputusan MK tersebut. Kalau sudah menghormati, pertanyaan mendasar yang patut diajukan kepada Letnan Jenderal (Purnawirawan) TNI Angkatan Darat ini adalah kenapa lagi harus membawa kasus pelanggaraan TSM ke Mahkamah Agung?
Yang bisa menjawab pertanyaan sederhana ini adalah tentu saja Prabowo Subianto beserta Sandiaga Uno. Akan tetapi, bisa diperkirakan bahwa pasangan ini tidak akan menjawab pertanyaan ini secara terbuka kepada rakyat Indonesia. Paling-paling para anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) yang bakal menjawabnya secara tidak langsung.
Baca juga: Nicholay: permohonan PAP kepada MA bukan kasasi
Kalau Mahkamah Konstitusi sudah menolak semua gugatan Pasangan Calon Nomor Urut 02 terhadap KPU, apakah mungkin Mahkamah Agung akan menyidangkan lagi kasus ini? Saat ini gugatan Prabowo-Sandi sudah diregistrasi atau terdaftar di MA sehingga yang menjadi pertanyaan adalah sudikah MA menyidangkan masalah ini?
Masalah gugatan ke MA ini menjadi bisa menarik perhatian masyarakat, terutama karena beberapa hari terakhir ini muncul gosip alias desas-desus bahwa telah terjadi “PDKT” atau pendekatan di antara kedua pihak, yatu pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dengan pasangan Pabowo-Sandiaga.
Yang disebut-sebut menjadi perantara adalah anak buah Jokowi yang bernama Jenderal Polisi Budi Gunawan yang jabatannya adalah Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Namun, secara diplomatis Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Wiranto pernah mengatakan kepada wartawan bahwa dirinya akan “bertanya” kepada Budi Gunawan apakah pernah bertemu dengan pihak Prabowo?
Mungkin pernyataan Wiranto itu sekadar basa-basi karena logikanya tak mungkin Wiranto sama sekali tidak mengetahui pertemuan Budi Gunawan dan Prabowo. Saat ini makin banyak dugaan bahwa kedua pihak bakal melakukan rekonsiliasi atau berbaik-baikan alias rujuk. Namun, mungkinkah rekonsiliasi ini terlaksana?
Baca juga: Soal gugatan Prabowo lagi ke MA, KPU: Bagi kami sudah selesai
Raih 45 persen
Setelah Pemilihan Umum Pesiden dan Wakil Pesiden RI, 17 April 2019, KPU pada tanggal 27 Mei 2019 mengumumkan bahwa Pasangan Nomor Urut 01 meraih suara 55 persen, sedangkan Prabowo-Sandiaga meraih 45 persen suara. Disebutkan pula bahwa Jokowi menang di 21 provinsi, sementara Prabowo mendapat suara 45 persen sehingga akhirnya pasangan 01 dinyatakan sebagai pemenang.
Karena sudah resmi dinyatakan sebagai pihak yang unggul, Jokowi-Ma’ruf dijadwalkan bakal dilantik pada tanggal 20 Oktober 2019. Yang perlu disiapkan adalah nama-nama para calon menteri dan pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian atau LPND, seperti BPPT, Lapan, dan Bakosurtanal, dan LIPI.
Karena masih menjadi presiden periode 2014 s.d. 2019, Jokowi berhak memilih para calon pembantu terdekatnya itu. Partai- partai politik yang selama ini menjadi pendukungnya mulai dari PDIP, Golkar, NasDem, hingga PPP, tentu amat berharap agar jumlah kursi mereka tidak “disunat” alias dikurangi karena telah merasa “berjasa” memenangkan Presiden Joko Widodo.
Akan tetapi, di lain pihak, ada kehendak atau niat dari para pendukung Jokowi untuk melakukan rekonsiliasi dengan Prabowo dan mitranya, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) , Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasiona (PAN).
PKS sudah menyatakan pendiriannya bahwa akan tetap menjadi oposisi. Sebaliknya, Partai Demokrat terus “mendekat” ke Jokowi. PAN masih terbagi dua antara tetap menjadi oposan ataukah juga berkoalisi.
Peristiwa kerusuhan pada tanggal 21 dan 22 Mei 2018 di depan Kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jakarta bisa menjadi salah satu penyebab perlunya upaya rekonsiliasi karena kelompok Jokowi ingin “merangkul“ sebanyak mungkin kelompok oposisi agar selama 5 tahun mendatang tak terjadi lagi begitu banyak gejolak politik.
Selama ini sering muncul kesan bahwa ada parpol yang “bermua dua” alias menerapkan standar ganda atau double standard, yakni di satu pihak mendukung pemerintah, terutama di dalam kabinet, tetapi di lain pihak di Senayan alias di DPR.RI berusaha “menggoyang” pemerintah.
Bahkan, ada seorang tokoh senior PAN yang mengingatkan maukah PAN meraih satu atau dua kursi di kabinet dengan mengorbankan jutaan pendukung atau simpatisannya?
Amat jelas pada masa-masa penantian penyusunan kabinet serta pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI 2019 s.d. 2024 bakal muncul pertanyaan apakah mungkin Prabowo dan Sandiaga bakal menjadi oposan, atau sebaliknya siap berkoalisi dengan Jokowi? Setiap pilihan atau alternatif tentu mempunyai konsekuensinya masing-masing.
Apabila Prabowo-Sandiaga memilih menjadi oposisi, Pada Pemilu 2024, suara di 13 provinsi akan bisa dipertahankan atau malahan bertambah. Sebaliknya, jika “merapat” ke pemerintah alias Joko Widodo, diperkirakan bakal banyak sekali kehilangan pendukungnya, apalagi pemilih-pemilih konservatif. Alternatif mana yang paling baik?
Tentu saja Prabowo Subianto yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, apalagi Jokowi sudah tidak mungkin maju pada Pemilu 2024. Maka, persaingan pada 5 tahun mendatang bisa diharapkan akan benar-benar seru, the real fight, jika mengambil istilah di dalam pertandingan olahraga.
Saat itu tidak ada satu pun calon presiden yang bisa dituduh memanfaatkan berbagai fasilitas negara.
Karena gugatan pasangan dengan nomor urut 02 sudah didaftarkan ke Mahkamah Agung walaupun belum tentu MA bakal menyetujuinya, pertanyaan yang harus dijawab Prabowo adalah masalah gugatan ke MA ini sekadar “basa-basi” kepada jutaan pendukungnya bahwa dia harus tetap tampil sebagai lawan politik Jokowi yang “berani”, ataukah dia memang siap bergabung menerima ajakan rekonsiliasi dengan pasangan calon terpilih pada Pilpres 2019.
Baca juga: Yusril: Tidak mungkin MA sidangkan kasasi Prabowo-Sandi
Haruskah rakyat terus dijejali atau dipusingkan dengan masalah Pemilihan Presiden? Berilah ketenangan tuntas kepada rakyat .
*) Arnaz Ferial Firman adalah wartawan Antara tahun 1982-2018, pernah meliput acara- acara kepresienan tahun 1987-2009
Pewarta: Arnaz Ferial Firman *)
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019