Jakarta (ANTARA) - Hakim mahkamah agung (MK) pada sidang putusan final sengketa pilpres 2019, Saldi Isra nyatakan pemohon (Prabowo-Sandi) tidak mampu membuktikan dalilnya sendiri mengenai adanya manipulasi daftar pemilih khusus (DPK) berupa penambahan DPK sebanyak 5,8 juta tanpa disertai formulir A5 dan formulir C7.
"Bahwa berdasarkan pertimbangan demikian terutama dalam hal dalil pemohon tidak diuraikan dengan rinci dan tidak didukung alat bukti mahkamah berpendapat dalil pemohon tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut," ujar Saldi Isra saat membacakan hasil pertimbangan dalil pemohon di gedung persidangan, Kamis.
Saldi menerangkan bahwa bukti P144 yang tertera dalam permohonan pemohon dan daftar alat bukti pemohon tidak pernah diserahkan kepada mahkamah dan karenanya tidak pernah disahkan sebagai alat bukti, sehingga dalil pemohon tidak memiliki rujukan alat bukti.
Baca juga: Bambang Widjojanto: Hakim MK tidak bantah adanya kecurangan
Baca juga: MK tidak terima dalil perolehan suara unggul versi Prabowo-Sandiaga
Baca juga: Abdullah Hehamahua, bawa kecurangan Situng ke peradilan internasional
"Adapun ahli Jaswarkoto dan saksi Agus Muhammad Maksum meskipun dalam keterangannya sebagai ahli dan saksi keduanya menyinggung masalah DPK namun tidak ada keterangan serta kesaksian lebih lanjut bahwa DPK tersebut bersifat manipulatif dan menimbulkan kerugian nyata bagi pemohon," tambahnya.
Menurut Saldi, seandainya benar pemilih fiktif sejumlah 5,8 juta, pemohon pun tidak dapat membuktikan bahwa pemilih fiktif tersebut mengakibatkan kerugian pada pemohon.
Dalil pemohon tersebut juga dianggap Saldi tidak jelas karena tidak diuraikan lebih rinci bagaimana penambahan pemilih fiktif tersebut terjadi, serta menurutnya, andai pun pemilih fiktif tersebut benar adanya, tidak dapat dipastikan pemilih tersebut memilih pasangan calon tertentu.
Sementara itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai termohon sebelumnya juga membantah dan menyatakan bahwa dalil pemohon merupakan dalil yang tidak jelas dan tidak berdasar hukum, karena pemohon tidak menunjukkan di tempat pemungutan suara (TPS) mana saja tempat beradanya data yang dianggap manilulatif tersebut.
Pihak termohon juga sempat menyatakan jika jumlah 5.818.565 pemilih dalam DPK dibandingkan dengan TPS yang berjumlah 812.708 maka rata-rata pemilih DPK di setiap TPS hanya terdiri dari tujuh sampai delapan orang, serta menurutnya, DPK tidak memiliki kaitan dengan formulir A5 karena pemilih yang menggunakan formulir A5 dicatat dalam Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) bukan dalam DPK.
"Bahwa berdasarkan pertimbangan demikian terutama dalam hal dalil pemohon tidak diuraikan dengan rinci dan tidak didukung alat bukti mahkamah berpendapat dalil pemohon tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut," ujar Saldi Isra saat membacakan hasil pertimbangan dalil pemohon di gedung persidangan, Kamis.
Saldi menerangkan bahwa bukti P144 yang tertera dalam permohonan pemohon dan daftar alat bukti pemohon tidak pernah diserahkan kepada mahkamah dan karenanya tidak pernah disahkan sebagai alat bukti, sehingga dalil pemohon tidak memiliki rujukan alat bukti.
Baca juga: Bambang Widjojanto: Hakim MK tidak bantah adanya kecurangan
Baca juga: MK tidak terima dalil perolehan suara unggul versi Prabowo-Sandiaga
Baca juga: Abdullah Hehamahua, bawa kecurangan Situng ke peradilan internasional
"Adapun ahli Jaswarkoto dan saksi Agus Muhammad Maksum meskipun dalam keterangannya sebagai ahli dan saksi keduanya menyinggung masalah DPK namun tidak ada keterangan serta kesaksian lebih lanjut bahwa DPK tersebut bersifat manipulatif dan menimbulkan kerugian nyata bagi pemohon," tambahnya.
Menurut Saldi, seandainya benar pemilih fiktif sejumlah 5,8 juta, pemohon pun tidak dapat membuktikan bahwa pemilih fiktif tersebut mengakibatkan kerugian pada pemohon.
Dalil pemohon tersebut juga dianggap Saldi tidak jelas karena tidak diuraikan lebih rinci bagaimana penambahan pemilih fiktif tersebut terjadi, serta menurutnya, andai pun pemilih fiktif tersebut benar adanya, tidak dapat dipastikan pemilih tersebut memilih pasangan calon tertentu.
Sementara itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai termohon sebelumnya juga membantah dan menyatakan bahwa dalil pemohon merupakan dalil yang tidak jelas dan tidak berdasar hukum, karena pemohon tidak menunjukkan di tempat pemungutan suara (TPS) mana saja tempat beradanya data yang dianggap manilulatif tersebut.
Pihak termohon juga sempat menyatakan jika jumlah 5.818.565 pemilih dalam DPK dibandingkan dengan TPS yang berjumlah 812.708 maka rata-rata pemilih DPK di setiap TPS hanya terdiri dari tujuh sampai delapan orang, serta menurutnya, DPK tidak memiliki kaitan dengan formulir A5 karena pemilih yang menggunakan formulir A5 dicatat dalam Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) bukan dalam DPK.
Pewarta: Pamela Sakina
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019