Jakarta (ANTARA) - Sekitar 13 ribu personel kepolisian sudah berjaga di lingkungan Mahkamah Konstitusi yang akan memutus perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) pada Kamis (27/6) pukul 12.30 WIB.
Kurang lebih 15 ribu polisi lainnya berjaga di objek-objek vital nasional lain, seperti Istana Kepresidenan, Kantor KPU RI, Kantor Bawaslu RI dan perwakilan kedutaan besar asing yang ada di Jakarta.
Selain total puluhan ribu polisi, sebanyak 17 ribu tentara pun disiagakan untuk membantu polisi mengamankan objek-objek vital nasional di Ibu Kota.
Puluhan ribu personel kepolisian itu akan berhadapan langsung dengan massa yang menggelar aksi di sekitar Monas dan Monumen Arjuna Wijaya, sementara sekitar Gedung MK harus steril agar pembacaan putusan tidak terganggu.
Sesuai standar operasional prosedur (SOP), seluruh personel di lapangan tidak dibekali senjata api serta peluru tajam. Personel yang dibekali peluru tajam hanya tim antianarkis. Penggunaan peluru tajam pun tidak sembarangan, di bawah kendali Kapolda Metro Jaya langsung dan penggunaannya selektif sesuai eskalasi ancaman.
Namun begitu, tidak bersenjata api di lapangan tidak berarti tidak dapat melakukan penyiksaan.
Baca juga: Polri tanggapi temuan Amnesty Internasional terkait kekerasan Brimob
Dalam laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang baru diluncurkan pada Hari Anti Penyiksaan Internasional 26 Juni, aparat kepolisian menduduki peringkat pertama dalam praktik penyiksaan selama Juni 2018-Mei 2019, yakni dari total 72 kasus dalam kurun waktu setahun itu, 57 di antaranya dilakukan aparat polisi.
Diketahui dari laporan itu, alat dominan yang digunakan adalah tangan kosong.
Contoh lainnya, dalam investigasi yang dilakukan Amnesty International Indonesia setelah video belasan personel Brimob melakukan penyiksaan di Kampung Bali pada 23 Mei 2019 viral, terungkap terdapat dugaan oknum personel Brigade Mobile (Brimob) melakukan penangkapan dan penyiksaan terhadap lima demonstran serta masyarakat yang berada di Kampung Bali, Jakarta Pusat.
Bahkan dalam temuan Amnesty, personel Brimob tersebut menyeret korban di Kampung Bali menuju depan Gedung Bawaslu RI untuk dikumpulkan dengan orang lain yang ditangkap.
Setiap anggota Brimob yang mendapati lima orang itu diseret ke Gedung Bawaslu pun bergantian melayangkan bogem mentah.
Gunakan cara persuasif
Penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat dalam penanganan kericuhan 21-23 Mei 2019 menjadi sorotan oleh sejumlah lembaga pemerhati kemanusiaan. Apalagi polisi telah mengungkap delapan dari sembilan korban meninggal karena peluru tajam, meski hingga kini belum diketahui pelaku penembakan tersebut.
Untuk itu, agar catatan buruk 21-23 Mei 2019 tidak terulang, Koordinator KontraS Yati Andriyani mengingatkan kepolisian sudah mempunyai berbagai macam aturan dan rujukan cara menangani massa aksi.
"Semua ada rujukan dalam penanganan tetap memperhatikan parameter HAM. Dalam penanganan tetap menggunakan cara persuasif dan dialog," tutur Yati Andriyani di Jakarta, Rabu (26/6).
Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian, dalam Pasal 10 mengatur aparat tidak boleh menggunakan kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah kejahatan, membantu melakukan penangkapan terhadap pelanggar hukum atau tersangka sesuai dengan peraturan penggunaan kekerasan.
Baca juga: Amnesty ungkap dugaan Brimob lakukan penyiksaan di Kampung Bali
Selain itu, aparat tidak boleh menghasut, mentolerir tindakan penyiksaan, perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia.
Menjadikan perintah atasan atau keadaan luar biasa seperti ketika dalam keadaan perang sebagai pembenaran untuk melakukan penyiksaan pun tidak diperbolehkan.
"Tidak dibenarkan melakukan cara kekerasan dan penyiksaan. Kalau punya diskresi untuk melakukan tindakan menggunakan kekerasan harus berpatokan pada prinsip penggunaan kekuatan proporsional, bisa dijelaskan," kata Yati Andriyani.
Penggunaan kekuatan harus dapat dipertanggungjawabkan, framing adanya agenda politik penting sehingga pengamanan dengan segala cara pun tidak dapat dibenarkan, aturan harus tetap diikuti.
KontraS juga mengimbau massa mengikuti aturan yang ada dalam menjalankan aksi dengan tidak melakukan kekerasan dan memperhatikan aturan hukum yang ada agar tidak mudah dipolitisir dan tidak mudah ditunggangi pihak tertentu.
Jangan jadi kewajaran
KontraS menyatakan dalam akuntabilitas lembaga, semestinya ada mekanisme pertanggungjawaban anggota polisi yang tidak mengikuti aturan.
Apabila mekanisme itu tidak dilakukan dalam institusi, aturan pun menjadi sekedar formalitas yang berarti internal lembaga gagal menerapkan kebijakannya.
Institusi pun tidak boleh lempar tanggung jawab penyiksaan atau kekerasan sebagai kesalahan anggota di lapangan. Apabila tindakan penyiksaan terjadi lagi, tidak hanya oknum personel yang salah, institusi pun bersalah lantaran gagal memastikan aturan dipatuhi.
"Ini bukan sesuatu yang sulit menghentikan praktik (penyiksaan). Aturan sudah ada," kata Yati.
Senada, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan pentingnya secara institusi kepolisian menghukum anggota yang melanggar SOP agar terdapat efek jera terhadap anggota polisi yang lain.
Selain itu, oknum aparat pelaku penyiksaan harus diproses hukum agar tidak membentuk pola kekerasan yang dianggap wajar.
"Polisi harus lebih tertib menghukum kalau ada anggota melanggar, supaya ada efek jera terhadap polisi yang lain," kata Wakil Ketua Komnas HAM bidang Eksternal HAM Sandrayati Moniaga.
Sandrayati mengatakan polisi sudah mempunyai SOP yang jelas dalam penanganan massa sehingga semestinya tidak ada alasan untuk melakukan tindakan berlebihan.
Siapa pun yang menyaksikan perusuh melakukan provokasi pasti kesal, apalagi melihat sabarnya polisi selama berjam-jam membujuk agar bubar.
Namun, praktik penyiksaan terhadap diduga perusuh atau bahkan warga yang berada di waktu dan lokasi yang salah tidak bisa dibenarkan. Nanti tuman.
Baca juga: Ribuan aparat keamanan bersiaga di silang Monas
Kurang lebih 15 ribu polisi lainnya berjaga di objek-objek vital nasional lain, seperti Istana Kepresidenan, Kantor KPU RI, Kantor Bawaslu RI dan perwakilan kedutaan besar asing yang ada di Jakarta.
Selain total puluhan ribu polisi, sebanyak 17 ribu tentara pun disiagakan untuk membantu polisi mengamankan objek-objek vital nasional di Ibu Kota.
Puluhan ribu personel kepolisian itu akan berhadapan langsung dengan massa yang menggelar aksi di sekitar Monas dan Monumen Arjuna Wijaya, sementara sekitar Gedung MK harus steril agar pembacaan putusan tidak terganggu.
Sesuai standar operasional prosedur (SOP), seluruh personel di lapangan tidak dibekali senjata api serta peluru tajam. Personel yang dibekali peluru tajam hanya tim antianarkis. Penggunaan peluru tajam pun tidak sembarangan, di bawah kendali Kapolda Metro Jaya langsung dan penggunaannya selektif sesuai eskalasi ancaman.
Namun begitu, tidak bersenjata api di lapangan tidak berarti tidak dapat melakukan penyiksaan.
Baca juga: Polri tanggapi temuan Amnesty Internasional terkait kekerasan Brimob
Dalam laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang baru diluncurkan pada Hari Anti Penyiksaan Internasional 26 Juni, aparat kepolisian menduduki peringkat pertama dalam praktik penyiksaan selama Juni 2018-Mei 2019, yakni dari total 72 kasus dalam kurun waktu setahun itu, 57 di antaranya dilakukan aparat polisi.
Diketahui dari laporan itu, alat dominan yang digunakan adalah tangan kosong.
Contoh lainnya, dalam investigasi yang dilakukan Amnesty International Indonesia setelah video belasan personel Brimob melakukan penyiksaan di Kampung Bali pada 23 Mei 2019 viral, terungkap terdapat dugaan oknum personel Brigade Mobile (Brimob) melakukan penangkapan dan penyiksaan terhadap lima demonstran serta masyarakat yang berada di Kampung Bali, Jakarta Pusat.
Bahkan dalam temuan Amnesty, personel Brimob tersebut menyeret korban di Kampung Bali menuju depan Gedung Bawaslu RI untuk dikumpulkan dengan orang lain yang ditangkap.
Setiap anggota Brimob yang mendapati lima orang itu diseret ke Gedung Bawaslu pun bergantian melayangkan bogem mentah.
Gunakan cara persuasif
Penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat dalam penanganan kericuhan 21-23 Mei 2019 menjadi sorotan oleh sejumlah lembaga pemerhati kemanusiaan. Apalagi polisi telah mengungkap delapan dari sembilan korban meninggal karena peluru tajam, meski hingga kini belum diketahui pelaku penembakan tersebut.
Untuk itu, agar catatan buruk 21-23 Mei 2019 tidak terulang, Koordinator KontraS Yati Andriyani mengingatkan kepolisian sudah mempunyai berbagai macam aturan dan rujukan cara menangani massa aksi.
"Semua ada rujukan dalam penanganan tetap memperhatikan parameter HAM. Dalam penanganan tetap menggunakan cara persuasif dan dialog," tutur Yati Andriyani di Jakarta, Rabu (26/6).
Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian, dalam Pasal 10 mengatur aparat tidak boleh menggunakan kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah kejahatan, membantu melakukan penangkapan terhadap pelanggar hukum atau tersangka sesuai dengan peraturan penggunaan kekerasan.
Baca juga: Amnesty ungkap dugaan Brimob lakukan penyiksaan di Kampung Bali
Selain itu, aparat tidak boleh menghasut, mentolerir tindakan penyiksaan, perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia.
Menjadikan perintah atasan atau keadaan luar biasa seperti ketika dalam keadaan perang sebagai pembenaran untuk melakukan penyiksaan pun tidak diperbolehkan.
"Tidak dibenarkan melakukan cara kekerasan dan penyiksaan. Kalau punya diskresi untuk melakukan tindakan menggunakan kekerasan harus berpatokan pada prinsip penggunaan kekuatan proporsional, bisa dijelaskan," kata Yati Andriyani.
Penggunaan kekuatan harus dapat dipertanggungjawabkan, framing adanya agenda politik penting sehingga pengamanan dengan segala cara pun tidak dapat dibenarkan, aturan harus tetap diikuti.
KontraS juga mengimbau massa mengikuti aturan yang ada dalam menjalankan aksi dengan tidak melakukan kekerasan dan memperhatikan aturan hukum yang ada agar tidak mudah dipolitisir dan tidak mudah ditunggangi pihak tertentu.
Jangan jadi kewajaran
KontraS menyatakan dalam akuntabilitas lembaga, semestinya ada mekanisme pertanggungjawaban anggota polisi yang tidak mengikuti aturan.
Apabila mekanisme itu tidak dilakukan dalam institusi, aturan pun menjadi sekedar formalitas yang berarti internal lembaga gagal menerapkan kebijakannya.
Institusi pun tidak boleh lempar tanggung jawab penyiksaan atau kekerasan sebagai kesalahan anggota di lapangan. Apabila tindakan penyiksaan terjadi lagi, tidak hanya oknum personel yang salah, institusi pun bersalah lantaran gagal memastikan aturan dipatuhi.
"Ini bukan sesuatu yang sulit menghentikan praktik (penyiksaan). Aturan sudah ada," kata Yati.
Senada, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan pentingnya secara institusi kepolisian menghukum anggota yang melanggar SOP agar terdapat efek jera terhadap anggota polisi yang lain.
Selain itu, oknum aparat pelaku penyiksaan harus diproses hukum agar tidak membentuk pola kekerasan yang dianggap wajar.
"Polisi harus lebih tertib menghukum kalau ada anggota melanggar, supaya ada efek jera terhadap polisi yang lain," kata Wakil Ketua Komnas HAM bidang Eksternal HAM Sandrayati Moniaga.
Sandrayati mengatakan polisi sudah mempunyai SOP yang jelas dalam penanganan massa sehingga semestinya tidak ada alasan untuk melakukan tindakan berlebihan.
Siapa pun yang menyaksikan perusuh melakukan provokasi pasti kesal, apalagi melihat sabarnya polisi selama berjam-jam membujuk agar bubar.
Namun, praktik penyiksaan terhadap diduga perusuh atau bahkan warga yang berada di waktu dan lokasi yang salah tidak bisa dibenarkan. Nanti tuman.
Baca juga: Ribuan aparat keamanan bersiaga di silang Monas
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2019