Jayapura (ANTARA) - Tokoh pemuda Papua Alberth Ali Kabiay minta aparat kepolisian resor (Polres) Jayapura Kota untuk menaikkan status caleg berinisial S, dari saksi menjadi tersangka karena memberikan uang kepada dua anggota pengawas distrik (Pandis) Jayapura Selatan (Japsel) dalam kaitannya dengan pemilu 2019 di Kota Jayapura.
"Jika alat bukti sudah kuat dan jelas, apalagi terbukti sebaiknya caleg S dijadikan sebagai tersangka penyuap," kata Alberth Ali Kabiay di Kota Jayapura, Papua, Selasa.
Menurut dia, pemilu legislatif dan presiden 2019 di ibu kota Provinsi Papua terbilang amburadul dan penuh dengan trik-trik kecurangan oleh oknum-oknum yang ingin mengambil untung dari pesta rakyat, pesta demokrasi.
"Pemilu di Kota Jayapura terlihat rumit. Lihat saja, awal hari H bisa dua distrik tertunda pencoblosannya karena logisitik pemilu tidak sampai. Lalu, dalam rekap penghitungan tingkat distrik dan kota juga bermasalah, ada penggelembungan suara," katanya.
Kemudian, lanjut dia, yang paling buruk adalah ditangkap tangan oleh polisi terhadap ketua dan anggota Pandis Japsel, IW dan VR dihari terakhir pleno KPU Kota Jayapura di Grand Abe Hotel pada 21 Mei 2019.
"Ditangkap di sebelah hotel, di halaman parkir Saga Abepura. Ini kan menunjukkan citra yang buruk bagi Kota Jayapura yang seharusnya menjadi barometer politik dan demokrasi di Papua," katanya.
Untuk itu, kata dia, sudah seharusnya polisi bekerja keras dan transparan dalam mengungkap motif dari pemberian uang senilai Rp16,6 juta dari caleg berinisial S kepada dua Pandis Japsel.
"Sebagai generasi penerus bangsa, kita harus peduli dengan degradasi etika politik yang terlihat sangat tidak elegan sekali. Pemilu di Kota Jayapura rusak karena moral dan etika politik yang tidak santun," katanya.
Alberth mengaku sepakat dengan pendapat dari Kepala Kantor Komnas HAM Provinsi Papua Frits Ramandey yang mendesak agar polisi proses hukum caleg S.
"Jika alat bukti sudah kuat dan jelas, apalagi terbukti sebaiknya caleg S dijadikan sebagai tersangka penyuap," kata Alberth Ali Kabiay di Kota Jayapura, Papua, Selasa.
Menurut dia, pemilu legislatif dan presiden 2019 di ibu kota Provinsi Papua terbilang amburadul dan penuh dengan trik-trik kecurangan oleh oknum-oknum yang ingin mengambil untung dari pesta rakyat, pesta demokrasi.
"Pemilu di Kota Jayapura terlihat rumit. Lihat saja, awal hari H bisa dua distrik tertunda pencoblosannya karena logisitik pemilu tidak sampai. Lalu, dalam rekap penghitungan tingkat distrik dan kota juga bermasalah, ada penggelembungan suara," katanya.
Kemudian, lanjut dia, yang paling buruk adalah ditangkap tangan oleh polisi terhadap ketua dan anggota Pandis Japsel, IW dan VR dihari terakhir pleno KPU Kota Jayapura di Grand Abe Hotel pada 21 Mei 2019.
"Ditangkap di sebelah hotel, di halaman parkir Saga Abepura. Ini kan menunjukkan citra yang buruk bagi Kota Jayapura yang seharusnya menjadi barometer politik dan demokrasi di Papua," katanya.
Untuk itu, kata dia, sudah seharusnya polisi bekerja keras dan transparan dalam mengungkap motif dari pemberian uang senilai Rp16,6 juta dari caleg berinisial S kepada dua Pandis Japsel.
"Sebagai generasi penerus bangsa, kita harus peduli dengan degradasi etika politik yang terlihat sangat tidak elegan sekali. Pemilu di Kota Jayapura rusak karena moral dan etika politik yang tidak santun," katanya.
Alberth mengaku sepakat dengan pendapat dari Kepala Kantor Komnas HAM Provinsi Papua Frits Ramandey yang mendesak agar polisi proses hukum caleg S.
Pewarta: Alfian Rumagit
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019