Surabaya (ANTARA) - Caleg DPRD Jatim dari PDI Perjuangan peraih suara terbanyak di Dapil Jatim 1 (Surabaya), Armudji mempertimbangkan maju Pilkada Surabaya 2020 dengan syarat UU Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pilkada, yang mewajibkan anggota DPR, DPD dan DPRD untuk mundur jika maju sebagai calon kepala daerah direvisi dan diganti cuti.
"Kita mengajukan revisi UU 1/2015 agar disamakan dengan kepala daerah kalau maju lagi cuma cuti bukan mengundurkan diri. Anggota dewan dan kepala daerah kan sama-sama pejabat politis. Kecuali ASN, Polri dan TNI," kata Armudji yang juga Ketua DPRD Surabaya kepada ANTARA di Surabaya, Sabtu.
Berdasarkan rekapitulasi hasil perolehan suara Pemilu Legislatif 2019 di Kota Surabaya yang dilaksanakan KPU Surabaya sejak 30 April - 8 Mei, untuk perolehan suara caleg DPRD Jatim Dapil Jatim 1 (Surabaya) tertinggi Armudji dengan 136.308 suara, Aghata Retnosari (PDIP) 67.339 suara, Arif Hari Setiawan (PKS) 34.797 suara, Blegus Prijanggono (Golkar) 29.591 suara, Syamsul Arifin (PKB) 28.727 dan Hartoyo (Demokrat) 27.068 suara.
Menurut Armudji, Asosiasi DPRD Seluruh Indonesia (Adeksi) sudah lima kali mengajukan revisi UU 1/2015 ke Mahkamah Konstutisi (MK) tapi gagal terus. Ia menambahkan apabila UU Pilkada ini dipaksakan tanpa dilakukan revisi maka akan terjadi diskriminasi terhadap anggota dewan yang ingin maju menjadi kepala daerah.
"Ini saya kira jauh dari rasa keadilan. Kalau mau mundur sebaiknya mundur semua, begitu juga kalau mau cuti semua cuti, jadi tidak ada dikotomi karena sama-sama pejabat negara," kata Armudji yang merupakan Ketua Adeksi ini.
Hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Asosiasi DPRD Seluruh Indonesia (Adeksi) di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 25 dan 26 Februari 2019 menghasilkan sejumlah keputusan. Salah satunya revisi UU Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.
Adeksi meminta agar revisi UU Pilkada, mewajibkan anggota DPR, DPD dan DPRD tidak perlu mundur untuk maju sebagai calon kepala daerah. "Jadi pengunduran diri sebagai anggota DPR, DPD dan DPRD, anggota TNI, kepolisian, PNS dan kepala desa sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pilkada inilah yang perlu dilakukan revisi," katanya.
"Dengan penerapan UU seperti itu, banyak yang tidak berani maju jadi calon kepala daerah. Akibatnya sejumlah daerah, calon kepala daerah petahana harus melawan bumbung kosong. Makin tahun banyak bumbung kosong bertambah. Ini mengurangi kualitas demokrasi pilkada," katanya.
Untuk itu, lanjut dia, pihaknya berharap revisi UU Pilkada masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR RI. "Kita berharap usulan ini jadi inisiatifnya DPR. Kalau sudah inisiatif di dewan, maka revisi itu jadi cepat," ujarnya.
Sementara itu, Pengamat politik Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdussalam menilai jika nanti UU pilkada direvisi dan anggota dewan boleh cuti ikut pilkada, maka justru akan memunculkan banyak petualang politik dan politik ajimumpung.
"Saya pikir malah tidak sehat untuk iklim demokrasi elektoral kita. Bayangkan jika kemudian hanya cuti dan jika kalah bisa kembali menjadi dewan, maka pileg hanya jadi batu loncatan saja tidak sungguh-sungguh lurus niat sebagai anggota parlemen. Tidak lurus niat dan terkontaminasi virus ajimumpung dan politik hore hore uji coba ngetes ombak," katanya.
Selain itu, lanjut dia, juga tidak elok dan hanya akan membuat bising politik selain itu mengurangi peluang munculnya calon-calon independen potensial juga. "Kalau pendapat saya lebih baik tidak bisa kembali untuk screening meminimalisasi politik uji nyali tadi," katanya.
"Kita mengajukan revisi UU 1/2015 agar disamakan dengan kepala daerah kalau maju lagi cuma cuti bukan mengundurkan diri. Anggota dewan dan kepala daerah kan sama-sama pejabat politis. Kecuali ASN, Polri dan TNI," kata Armudji yang juga Ketua DPRD Surabaya kepada ANTARA di Surabaya, Sabtu.
Berdasarkan rekapitulasi hasil perolehan suara Pemilu Legislatif 2019 di Kota Surabaya yang dilaksanakan KPU Surabaya sejak 30 April - 8 Mei, untuk perolehan suara caleg DPRD Jatim Dapil Jatim 1 (Surabaya) tertinggi Armudji dengan 136.308 suara, Aghata Retnosari (PDIP) 67.339 suara, Arif Hari Setiawan (PKS) 34.797 suara, Blegus Prijanggono (Golkar) 29.591 suara, Syamsul Arifin (PKB) 28.727 dan Hartoyo (Demokrat) 27.068 suara.
Menurut Armudji, Asosiasi DPRD Seluruh Indonesia (Adeksi) sudah lima kali mengajukan revisi UU 1/2015 ke Mahkamah Konstutisi (MK) tapi gagal terus. Ia menambahkan apabila UU Pilkada ini dipaksakan tanpa dilakukan revisi maka akan terjadi diskriminasi terhadap anggota dewan yang ingin maju menjadi kepala daerah.
"Ini saya kira jauh dari rasa keadilan. Kalau mau mundur sebaiknya mundur semua, begitu juga kalau mau cuti semua cuti, jadi tidak ada dikotomi karena sama-sama pejabat negara," kata Armudji yang merupakan Ketua Adeksi ini.
Hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Asosiasi DPRD Seluruh Indonesia (Adeksi) di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 25 dan 26 Februari 2019 menghasilkan sejumlah keputusan. Salah satunya revisi UU Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.
Adeksi meminta agar revisi UU Pilkada, mewajibkan anggota DPR, DPD dan DPRD tidak perlu mundur untuk maju sebagai calon kepala daerah. "Jadi pengunduran diri sebagai anggota DPR, DPD dan DPRD, anggota TNI, kepolisian, PNS dan kepala desa sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pilkada inilah yang perlu dilakukan revisi," katanya.
"Dengan penerapan UU seperti itu, banyak yang tidak berani maju jadi calon kepala daerah. Akibatnya sejumlah daerah, calon kepala daerah petahana harus melawan bumbung kosong. Makin tahun banyak bumbung kosong bertambah. Ini mengurangi kualitas demokrasi pilkada," katanya.
Untuk itu, lanjut dia, pihaknya berharap revisi UU Pilkada masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR RI. "Kita berharap usulan ini jadi inisiatifnya DPR. Kalau sudah inisiatif di dewan, maka revisi itu jadi cepat," ujarnya.
Sementara itu, Pengamat politik Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdussalam menilai jika nanti UU pilkada direvisi dan anggota dewan boleh cuti ikut pilkada, maka justru akan memunculkan banyak petualang politik dan politik ajimumpung.
"Saya pikir malah tidak sehat untuk iklim demokrasi elektoral kita. Bayangkan jika kemudian hanya cuti dan jika kalah bisa kembali menjadi dewan, maka pileg hanya jadi batu loncatan saja tidak sungguh-sungguh lurus niat sebagai anggota parlemen. Tidak lurus niat dan terkontaminasi virus ajimumpung dan politik hore hore uji coba ngetes ombak," katanya.
Selain itu, lanjut dia, juga tidak elok dan hanya akan membuat bising politik selain itu mengurangi peluang munculnya calon-calon independen potensial juga. "Kalau pendapat saya lebih baik tidak bisa kembali untuk screening meminimalisasi politik uji nyali tadi," katanya.
Pewarta: Abdul Hakim
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019