Yogyakarta (ANTARA) - Jaringan Demokrasi Indonesia DIY, perkumpulan mantan penyelenggara pemilu, merekomendasi penyelengaraan pemilu tidak lagi secara serentak karena menimbulkan berbagai dampak, khususnya terhadap penyelenggara pemilu di tingkat bawah.
“Banyak penyelenggara pemilu, khususnya di tingkat kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) di tempat pemungutan suara (TPS) yang sakit, bahkan meninggal dunia akibat mengalami kelelahan selama bertugas,” kata Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) DIY Guno Tri Tjahjoko di Yogyakarta, Selasa.
Menurut dia, banyaknya anggota KPPS yang sakit, bahkan meninggal dunia akibat kelelahan saat menjalankan tugas merupakan sebuah tragedi kemanusiaan karena pemilu seharusnya adalah pesta rakyat untuk merayakan demokrasi memilih pemimpin negeri, bukan untuk berduka.
“Dari data yang saya miliki, di DIY ada 11 penyelenggara pemilu yang meninggal dunia,” katanya.
Berdasarkan keterangan medis, lanjut dia, banyaknya anggota KPPS yang meninggal dunia tersebut disebabkan mereka bekerja dalam waktu relatif cukup lama untuk menyiapkan dan menyelesaikan penghitungan suara.
Di sebuah TPS dengan total 291 pemilih, misalnya, membutuhkan waktu untuk menyelesaikan seluruh penghitungan suara pada pukul 02.00 WIB.
Hasil penghitungan suara tersebut, kemudian diserahkan ke kecamatan pada saat subuh. Banyak dari mereka yang sudah bekerja beberapa hari sebelumnya menyiapkan lokasi TPS.
"Jika mereka memiliki riwayat penyakit jantung atau hipertensi, bekerja dalam waktu lama dengan tekanan yang tinggi bisa menimbulkan dampak fatal,” katanya.
Oleh karena itu, Guno berharap pada penyelenggaraan pemilu berikutnya perlu pengecekan kesehatan secara menyeluruh untuk seluruh penyelenggara, termasuk anggota KPPS. Pengecekan kesehatan tidak hanya berhenti untuk kebutuhan seleksi panitia pemungutan suara (PPS) di tingkat kelurahan.
“Kami juga berharap ada peninjauan UU agar pemilu tidak digelar serentak. Selain rumit, banyak pemilih yang tidak dapat mengenal caleg karena lebih fokus pada sosok pasangan calon presiden dan wakil presiden yang bersaing," katanya.
Sementara itu, Ketua Presidium JaDI DIY Mohammad Najib mengatakan bahwa perkumpulan mantan penyelenggara pemilu setuju jika dibentuk tim pencari fakta untuk mengetahui penyebab banyaknya penyelenggara pemilu yang meninggal dunia.
“Kami sepakat jika ada tim independen yang mencari fakta terkait dengan hal tersebut. Tujuannya untuk mengetahui akar permasalahannya dan tidak terulang pada masa yang akan datang. Apalagi, ada wacana menggabungkan pilkada. Nyawa adalah hal yang sangat berharga,” katanya.
Selain banyaknya penyelenggara pemilu yang sakit dan meninggal dunia, JaDI DIY juga menyoroti beberapa hal selama pelaksanaan Pemilu 2019, di antaranya pemilih dengan A5 yang tidak terakomodasi, banyaknya penyelenggaraan pemungutan suara ulang dan pemungutan suara lanjutan, serta munculnya fenomena ketidakpuasan sebagian kelompok masyarakat terhadap hasil sementara penghitungan suara.
JaDI DIY kemudian merekomendasikan beberapa hal, di antaranya KPU perlu selektif memilih anggota KPPS sehingga petugas yang terpilih benar-benar mengerti prosedur pemungutan dan penghitungan suara, KPU lebih proaktif memberikan informasi tentang pemilu dan menangkal hoaks, serta Bawaslu diminta lebih meningkatkan pengawasan untuk pencegahan.
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019