Denpasar (ANTARA) - Mantan penyelenggara pemilu di Pulau Dewata yang tergabung dalam Komite Demokrasi (KoDe) Bali berpandangan, kecil potensi kecurangan penggelembungan atau pengurangan suara saat memasuki tahapan rekapitulasi perolehan suara di tingkat panitia pemilihan kecamatan (PPK).
"Penghitungan suara, pengisian C1 plano dan sertifikat di TPS adalah kondisi paling rawan pasca-pencoblosan. Peluang kecurangan suara hanya ada di tempat pemungutan suara (TPS). Begitu memasuki tahap rekapitulasi, hampir tidak ada potensi kecurangan," kata Ketua KoDe Bali Gede Suardana, di Denpasar, Jumat.
Berdasarkan kajian pihaknya, setelah pemungutan suara pada 17 April 2019, kondisi paling rawan kecurangan adalah saat penghitungan suara pilres, pileg DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten di tingkat TPS.
Dari pantauan KoDe Bali, penghitungan lima jenis surat suara rata-rata pada 17 April lalu selesai pada pukul 20.00 sampai 22.00 Wita, yang kemudian dilanjutkan dengan pengisian sertifiikat perolehan suara hingga pagi hari.
"Pengisian sertifikat C1 yang dilakukan tengah malam inilah yang paling potensi adanya kecurangan dengan menambah atau mengurangi perolehan suara. Paling rawan adalah pengisian sertifikat untuk pemilu legislatif," ujar Suardana yang juga mantan Ketua KPU Kabupaten Buleleng itu.
Jika proses penghitungan di TPS rampung, KoDe Bali melihat peluang kecurangan pencurian atau penambahan suara pilpres dan pileg akan semakin kecil pada tahapan rekapitulasi dilakukan di tingkat PPK.
"Sangat kecil akan ada peluang untuk melakukan kecurangan saat rekapitulasi di PPK karena pengawasan sangat ketat oleh saksi dan Panwascam serta berlangsung transparan. Para saksi juga akan menjaga dengan ketat proses rekapitulasi di PPK," ucapnya.
Suardana tidak memungkiri, kemungkinan kecurangan masih ada, namun akan mudah ditelisik. Jika ada yang melakukan kecurangan akan dengan mudah diketahui oleh para pihak. Penyelenggara tidak akan mengambil risiko besar melakukan kecurangan karena sanksinya pidana.
KoDe menilai bahwa rekapitulasi di tingkat PPK harus dimanfaatkan dengan optimal oleh peserta pemilu dan penyelenggara melakukan perbaikan perolehan suara.
"Jika menemukan kecurangan misalnya perolehan suara dikurangi, ditambah, atau salah menulis maka rekapitulasi di PPK menjadi ajang untuk melakukan perbaikan berdasarkan bukti-bukti yang disodorkan oleh saksi dan rekomendasi dari Panwascam. Dengan begitu, maka persoalan atau perdebatan perolehan suara bisa berakhir di tingkat PPK," ujar mantan jurnalis ini.
Tugas penting lainnya, lanjut Suardana, KPU mesti bekerja cermat untuk mengamankan dan mendokumentasikan semua berkas karena akan berguna jika ada gugatan perselisihan hasil suara di Makamah Konstitusi.
"Setelah pencoblosan selesai, kini waktunya peserta pemilu, LSM, dan masyarakat fokus untuk menjaga suara pada tahap rekapitulasi di tingkat PPK. Satu suara rakyat bagi capres dan caleg sangat penting," kata Suardana.
"Penghitungan suara, pengisian C1 plano dan sertifikat di TPS adalah kondisi paling rawan pasca-pencoblosan. Peluang kecurangan suara hanya ada di tempat pemungutan suara (TPS). Begitu memasuki tahap rekapitulasi, hampir tidak ada potensi kecurangan," kata Ketua KoDe Bali Gede Suardana, di Denpasar, Jumat.
Berdasarkan kajian pihaknya, setelah pemungutan suara pada 17 April 2019, kondisi paling rawan kecurangan adalah saat penghitungan suara pilres, pileg DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten di tingkat TPS.
Dari pantauan KoDe Bali, penghitungan lima jenis surat suara rata-rata pada 17 April lalu selesai pada pukul 20.00 sampai 22.00 Wita, yang kemudian dilanjutkan dengan pengisian sertifiikat perolehan suara hingga pagi hari.
"Pengisian sertifikat C1 yang dilakukan tengah malam inilah yang paling potensi adanya kecurangan dengan menambah atau mengurangi perolehan suara. Paling rawan adalah pengisian sertifikat untuk pemilu legislatif," ujar Suardana yang juga mantan Ketua KPU Kabupaten Buleleng itu.
Jika proses penghitungan di TPS rampung, KoDe Bali melihat peluang kecurangan pencurian atau penambahan suara pilpres dan pileg akan semakin kecil pada tahapan rekapitulasi dilakukan di tingkat PPK.
"Sangat kecil akan ada peluang untuk melakukan kecurangan saat rekapitulasi di PPK karena pengawasan sangat ketat oleh saksi dan Panwascam serta berlangsung transparan. Para saksi juga akan menjaga dengan ketat proses rekapitulasi di PPK," ucapnya.
Suardana tidak memungkiri, kemungkinan kecurangan masih ada, namun akan mudah ditelisik. Jika ada yang melakukan kecurangan akan dengan mudah diketahui oleh para pihak. Penyelenggara tidak akan mengambil risiko besar melakukan kecurangan karena sanksinya pidana.
KoDe menilai bahwa rekapitulasi di tingkat PPK harus dimanfaatkan dengan optimal oleh peserta pemilu dan penyelenggara melakukan perbaikan perolehan suara.
"Jika menemukan kecurangan misalnya perolehan suara dikurangi, ditambah, atau salah menulis maka rekapitulasi di PPK menjadi ajang untuk melakukan perbaikan berdasarkan bukti-bukti yang disodorkan oleh saksi dan rekomendasi dari Panwascam. Dengan begitu, maka persoalan atau perdebatan perolehan suara bisa berakhir di tingkat PPK," ujar mantan jurnalis ini.
Tugas penting lainnya, lanjut Suardana, KPU mesti bekerja cermat untuk mengamankan dan mendokumentasikan semua berkas karena akan berguna jika ada gugatan perselisihan hasil suara di Makamah Konstitusi.
"Setelah pencoblosan selesai, kini waktunya peserta pemilu, LSM, dan masyarakat fokus untuk menjaga suara pada tahap rekapitulasi di tingkat PPK. Satu suara rakyat bagi capres dan caleg sangat penting," kata Suardana.
Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019