Jakarta (ANTARA) - Analis politik Exposit Strategic Arif Susanto mengatakan seluruh pihak seharusnya memahami dan memastikan bahwa persaingan politik di Pemilu 2019 bukanlah sebuah peperangan.
"Politik mesti dapat dibedakan dari perang, kalau perang menang jadi arang kalah jadi abu," kata Arif di Jakarta, Kamis.
Sedangkan persaingan politik pemilu, katanya, harusnya menghasilkan perbaikan yang lebih baik terhadap berbangsa dan bernegara dari periode ke periode pemerintahan yang telah terpilih dari proses pemilu.
Namun dari narasi-narasi yang disampaikan belakangan ini malah elite politik terkesan seakan sedang berperang atau tidak siap kalah dan ingin menang sendiri.
"Banyak yang disampaikan ke publik seperti, kalau kalah berarti pemilu curang, akan menggerakkan people power, mempolitisasi masyarakat, kelompok yang bukan organisasi politik. Ini berbahaya," kata dia.
Penyakit tidak siap kalah atau ingin menang sendiri ini, kata Arif memang merupakan suatu penyakit dalam politik nasional.
Pelaku-pelakunya menjadi sulit menerima perbedaan, minim empati, bahkan nyaris selalu konfrontatif. Situasi ini bukan hanya buruk untuk pelaksanaan pemilu, tapi ini juga memberi pengaruh negatif terhadap keberlangsungan bernegara.
"Kalau pemerintahan akan berganti setiap kali pemilu, tetapi negara tetap berlangsung selamanya. Jadi jangan memakai strategi politik yang mendelegitimasi pemilu karena hanya akan menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap negara," kata dia.
Seharusnya semangat persaudaraan, melalui momentum kedua calon presiden, Joko Widodo berpelukan dengan Prabowo Subianto ketika debat beberapa waktu lalu dapat mengalir hingga ke rakyat.
"Ini bisa terjadi kalau para elite politik tidak hanya ingin menang sendiri, harus siap kalah, dan menunjukkan sikap yang sama dengan apa yang telah ditunjukkan Jokowi dan Prabowo di atas panggung," kata Arif.
Dengan sikap bijak politikus diharapkan suasana damai bernegara dapat dirasakan saat hari pemilihan, masa transisi periode pemerintahan dan tahun-tahun kepemimpinan presiden terpilih.
"Politik mesti dapat dibedakan dari perang, kalau perang menang jadi arang kalah jadi abu," kata Arif di Jakarta, Kamis.
Sedangkan persaingan politik pemilu, katanya, harusnya menghasilkan perbaikan yang lebih baik terhadap berbangsa dan bernegara dari periode ke periode pemerintahan yang telah terpilih dari proses pemilu.
Namun dari narasi-narasi yang disampaikan belakangan ini malah elite politik terkesan seakan sedang berperang atau tidak siap kalah dan ingin menang sendiri.
"Banyak yang disampaikan ke publik seperti, kalau kalah berarti pemilu curang, akan menggerakkan people power, mempolitisasi masyarakat, kelompok yang bukan organisasi politik. Ini berbahaya," kata dia.
Penyakit tidak siap kalah atau ingin menang sendiri ini, kata Arif memang merupakan suatu penyakit dalam politik nasional.
Pelaku-pelakunya menjadi sulit menerima perbedaan, minim empati, bahkan nyaris selalu konfrontatif. Situasi ini bukan hanya buruk untuk pelaksanaan pemilu, tapi ini juga memberi pengaruh negatif terhadap keberlangsungan bernegara.
"Kalau pemerintahan akan berganti setiap kali pemilu, tetapi negara tetap berlangsung selamanya. Jadi jangan memakai strategi politik yang mendelegitimasi pemilu karena hanya akan menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap negara," kata dia.
Seharusnya semangat persaudaraan, melalui momentum kedua calon presiden, Joko Widodo berpelukan dengan Prabowo Subianto ketika debat beberapa waktu lalu dapat mengalir hingga ke rakyat.
"Ini bisa terjadi kalau para elite politik tidak hanya ingin menang sendiri, harus siap kalah, dan menunjukkan sikap yang sama dengan apa yang telah ditunjukkan Jokowi dan Prabowo di atas panggung," kata Arif.
Dengan sikap bijak politikus diharapkan suasana damai bernegara dapat dirasakan saat hari pemilihan, masa transisi periode pemerintahan dan tahun-tahun kepemimpinan presiden terpilih.
Pewarta: Boyke Ledy Watra, Joko Susilo
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019