Denpasar (ANTARA) - Diakui atau tidak, perdebatan di ruang-ruang digital menjelang Pilpres 17 April 2019 itu menunjukkan siapa sebenarnya lakon dibalik pendukung calon presiden (capres) yang sesungguhnya, bukan tim sukses, melainkan pendukung ormas Islam dari dua pihak yakni moderat dan simbolik.
Bisa jadi, lakon capres/cawapres sudah dianggap "selesai" (dalam citra), sehingga pertarungan lakon ideologis menjadi lebih menarik, apalagi nuansa SARA (suku/Jawa-nonJawa, agama/ideologi, ras/etnis/pribumi-nonpribumi, dan antargolongan/kaya-miskin) itu selalu memantik emosi.
Kendati tidak muncul di permukaan, tapi materi perdebatan yang seru di dunia maya yang berkisar seputar masalah ideologi dan keagamaan itu menunjukkan "politik identitas" masih mendominasi percaturan politik praktis di republik yang majemuk tapi tak kunjung dewasa ini.
Mau atau tidak, politik identitas dengan "baju" SARA itu akhirnya menjejali ruang-ruang digital, sehingga politik identitas itu mendorong "pabrikasi" isu atau hoaks yang saling berseliweran untuk "ditembakkan" kepada capres/cawapres X atau capres/cawapres Y.
Bukti adanya pabrikasi hoaks itu terlihat dari isu-isu yang masih seputar SARA, seperti komunis (isu dari pemilu ke pemilu), isu perkawinan sejenis, khilafah/radikalisasi, keturunan etnis non-pribumi, kriminalisasi ulama, penghapusan pendidikan agama, larangan azan, dan isu lainnya.
Masalahnya, perdebatan di ruang-ruang maya itu bukan sekadar berbeda, namun justru ditandai sumpah serapah yang antara lain dialamatkan pada ormas moderat, yakni Nahdlatul Ulama (NU), mengingat ormas NU yang bukan partai politik itu ibarat gadis manis yang selalu diperebutkan dalam panggung-panggung politik praktis sejak Orde Lama, Orba, Reformasi, hingga Orde "Now" (maya).
Ya, politik identitas itu menyeret Islam moderat (NU) itu masuk "pusaran pertarungan" yang menyasar eksistensi NU sebagai peletak pondasi "Empat Pilar Kebangsaan" dalam sejarah bangsa ini, untuk berlaga dengan ormas Islam simbolik yang "baru" di NKRI. Hal itu berbeda dengan ormas Muhammadiyah yang memilih "pondasi" pendidikan formal dalam peran kesejarahan.
Hal itu dibenarkan pegiat media sosial, Denny Siregar, dalam "chat" Facebook-nya (22/3/2019). "NU memang sudah tidak berpolitik praktis sejak Munas tahun 1983 di Situbondo, Jawa Timur. NU lebih mengedepankan politik tingkat tinggi (siyasah 'aliyah samiyah) atau politik kebangsaan dan politik kerakyatan," katanya.
Namun, NU bisa memiliki agenda politik bila merasa perlu untuk tampil guna mengawal agenda besar untuk menjaga kebangsaan dan negara ini (NKRI), bukan karena berpolitik, atau sekadar mengkritisi capres tertentu, namun ada hal yang perlu diperkuat untuk kebangsaan negara ini.
"Tampilnya NU sekarang sangat mungkin terkait dengan menghadang wujudnya kembali ideologi HTI dalam bentuk berbeda dengan menunggangi pertarungan politik. Jadi, bukan soal capres/cawapres, tapi soal pertarungan ideologis," katanya.
Apalagi, ormas Islam yang ingin "mengganti" Empat Pilar Kebangsaan sebagai pondasi dari bangunan berbangsa dan bernegara itu sudah benar-benar dibubarkan secara yuridis, namun ideologi laten yang dibangun sejak awal 2000-an itu masih mencari "jalan lain" untuk tetap eksis, termasuk "memakai" panggung politik untuk "menembak" yang mendorong pembubarannya.
Pandangan senada dilontarkan mantan Ketua Umum PPP M Romahurmuziy sebelum terkena OTT dari KPK. Ia menyebut ada kelompok yang menginginkan khilafah dan mengubah Pancasila yang saat ini berkumpul dibalik layar dari kubu capres tertentu, yakni Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
"Bagi HTI tidak ada pilihan lain, kecuali mendukung pasangan calon bukan petahana, karena capres petahana sudah melarang HTI, sehingga HTI sudah pasti tidak bisa lagi berkembang di Indonesia jika memilih capres petahana, padahal HTI ingin mendirikan khilafah dengan diawali pernyataan terbuka bahwa mereka tidak mengakui Pancasila dan NKRI," katanya di Sukabumi, Jawa Barat (5/3).
Lebih dari itu, ulama muda yang "ahli" sejarah NU, Gus Ahmad Muwafiq, menilai NU sudah terbiasa menjadi "bulan-bulanan" dari kelompok Islam simbolik, bahkan saat ini mirip sejarah NU yang berulang saja, karena para pendiri NU seperti Hadratussyeikh KH Hasyim Asyari juga pernah dituduh pro-penjajah Jepang.
Selanjutnya, era Orde Lama ada KH Wahab Chasbullah juga dituduh PKI karena menerima Nasakom. Atau, ulama NU lainnya, KH Bisri Syansuri, dituduh takut pada pemimpin zalim, karena justru memberhentikan tokoh/pimpinan NU KH Subhan ZE yang paling vokal mengritik orde baru.
Idem juga pada era Orba, Rais Aam PBNU KH Achmad Sidiq pun dituduh goyah keislamannya, karena menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Bahkan, mantan Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pun dituduh liberal, antek zionis, agen Syiah, kafir, dan "sumpah serapah" lainnya.
Orde Reformasi pun sama, mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi yang secara khusus mendampingi Jokowi saat umroh menjelang pencoblosan capres 2014 juga dituduh Syiah, karena pembelaannya terhadap nuklir Iran.
"Sejarah yang sama pun menimpa Ketua Umum PBNU saat ini KH Said Aqil Siradj yang juga luput dari tuduhan Syiah, Liberal, Sesat, Kafir, dan sebagainya. Kini, perundungan pun menyasar KH Ma'ruf Amin, KH Maemun Zuber, dan ulama sepuh NU lainnya, hanya gara-gara Pilpres," katanya.
Pabrikasi hoaks
Faktanya, perdebatan dunia maya berlangsung sangat seru akibat media sosial yang bebas dari "aturan main" jurnalistik (tanpa narasumber/klarifikasi, redaktur/proses editing, dan etika jurnalistik), sehingga medsos mengajari olok-olok (tidak santun) yang justru mendorong pabrikasi hoaks.
Agaknya, bila dicermati, narasi ideologi/keislaman yang melebar ke panggung politik praktis dalam "perang dunia maya" antara Islam simbolik dengan Islam moderat itu tidak sangat substansial, bahkan hanya ibarat beda pendekatan, namun perbedaan itu diseret ke panggung perebutan kekuasaan.
Beda pendekatan itu terjadi karena kelompok Islam simbolik ala HTI menggunakan sudut pandang "bahasa/akidah" yang disertai dengan ujaran kebencian dan sumpah serapah (olok-olok), sedangkan kelompok Islam moderat ala NU menggunakan sudut pandang "akhlak/dakwah" (fiqih siyasah).
Sekadar menyebut beberapa contoh "beda pendekatan" itu antara lain polemik "Islam Penjaga Gereja" (Banser) yang bagi Islam simbolik adalah "mengakui agama lain" (bahasa/akidah). Itu mirip pemahaman yang beda terkait "Ucapan Selamat Natal" antara pendekatan simbolik dengan pendekatan moderat ("akhlak/dakwah").
Bedanya, Islam moderat justru memaknai "menjaga gereja" dalam konteks dakwah/akhlak bahwa Islam juga perlu "menolong dalam perbedaan" tanpa harus mencampur aduk dengan keyakinan/agama. Insiden penembakan di dalam masjid di Selandia Baru membuktikan toleransi itu indah seiring munculnya semangat toleransi lintas agama pasca-insiden itu.
"Islam Nusantara" juga idem. Kelompok Islam simbolik menganggap Islam Nusantara adalah agama Islam baru, padahal Islam itu hanya satu yakni Islam. Bagi kelompok Islam moderat, Islam Nusantara itu tetap Islam juga, karena rukun iman dan rukun Islam-nya juga sama, namun cara berdakwah/akhlak yang menggunakan strategi para walisongo. Hanya itu.
Cara berdakwah walisongo yang adaptif dengan lingkungan Nusantara dalam konteks ajaran Islam yang bukan "rukun" itu justru terbukti mampu meng-Islam-kan Bumi Nusantara yang semula animisme, sedangkan cara-cara "radikal" justru membuat jumlah pemeluk Islam saat ini semakin berkurang dari tahun ke tahun. Islam Nusantara itu merupakan konsep dakwah yang menawarkan "jalan tengah".
Selain itu, viralnya pembakaran "bendera tauhid" secara masif di beberapa titik di Jawa Barat saat upacara Hari Santri 2018 juga disoroti Kelompok Islam simbolik bahwa bendera yang dibakar adalah "bendera tauhid". "Bendera HTI itu ada tulisan HTI (di bawah kalimat tauhid), jadi mereka menghina Islam," kata eks Juru Bicara HTI, Ismail Yusanto.
Sebaliknya, kelompok Islam moderat menilai "bendera" yang dibakar itu bukan "tauhid" tapi simbol bendera yang dipakai Rasulullah untuk berperang. Apalagi, bendera yang sama bila ditanyakan kepada para aktivis HTI dalam setiap aksi unjuk rasa pasti akan menyebut bendera berkalimat tauhid itu miliknya, meski tidak ada tulisan HTI di bagian bawahnya. Jadi, identifikasi itu ada, meski tertutupi.
Perdebatan bendera itu sama halnya dengan perdebatan saat pemerintah melarang HTI sebagai ormas, karena NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sedangkan HTI tidak mau mengakui Pancasila, sehingga tanpa Pancasila berarti melawan negara dan layak dibubarkan. Namun, saat dibubarkan justru mereka menuduh pemerintah bertindak anti-Islam.
"Eks HTI itu menyembunyikan fakta bahwa krisis dan kebangkrutan juga terjadi pada khilafah zaman old, lantas mereka menyerang demokrasi dan pemerintah Indonesia seolah-olah khilafah itu satu-satunya solusi. Eks HTI menyerang kondisi sekarang dengan kisah kejayaan masa silam, padahal fakta sejarah menunjukkan khilafah dulu juga pernah bermasalah, lalu mereka berkelit," kata Rais Syuriah PCI NU Australia-New Zealand dan dosen Monash Law School, DR KH Nadirsyah Hosen.
(Dialektika 'cuci otak' juga dilakukan HTI, seperti: pilih mana antara Islam dan Pancasila yang terbaik?; lebih tinggi mana Islam dengan Pancasila?; jika Pancasila sesuai dengan Islam, kenapa Negara Muslim yang lain tak memakai Pancasila?; kalau Pancasila sejalan dengan Islam, maka Khilafah juga sejalan dengan Islam; dan seterusnya. Padahal, Pancasila dan Islam tak layak diperbandingkan, karena Pancasila adalah ideologi dan Islam adalah agama, sehingga hirarkhie keduanya beda).
Nah, beda pendekatan juga terjadi pada wacana "kafir" dan "non-Muslim" yang menyangkut dua sudut pandangan berbeda yakni pendekatan akidah/bahasa dan pendekatan dakwah/akhlak. Secara bahasa, kafir itu istilah baku dalam Al-Quran. Secara umum, kelompok moderat tetap mengakui istilah kafir dalam Al-Quran, namun pemakaian istilah itu tidak harus menyinggung orang lain, sehingga diperhalus dalam konteks bermasyarakat (dakwah/akhlak), bukan dalam konteks aqidah.
"Sangat dimengerti jika ide NU tentang negara dan kewarganegaraan memancing pro-kontra, karena mereka masih memaknai dengan perspektif aqidah/teologi, padahal NU membahasnya dalam konteks Fiqih Siyasah.
Salah besar kalau mereka mengatakan NU mau mengamandemen Al-Quran (terkait istilah kafir), karena apa yang dilakukan NU justru mengembalikan makna kata kafir ke tempat asalnya, setelah 'kafir' digeser kaum radikal menjadi bermakna 'mengkafirkan' orang lain (politis)," kata pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jawa Barat, Ayik Heriansyah, dalam 'chat' (1/3/2019).
Namun, beda pendekatan itu amat mustahil untuk disatukan, karena faktor "peran sejarah" NU dalam "perjalanan" NKRI yang memang berbeda dengan Islam simbolik yang tidak "berproses" dalam kesejarahan bangsa, apalagi perbedaan pendekatan itu sudah tidak "natural" akibat diseret ke arah politis (dengan sumpah serapah/olok-olok), sehingga kegaduhan pun tak terelakkan.
Bahkan, kegaduhan ideologis itulah yang mendorong adanya pabrikasi hoaks, bahkan Islam simbolik membuat ratusan/ribuan akun untuk "menembak" Islam moderat, diantaranya akun "Muslim Cyber Army" (MCA) yang sudah dihapus itu, sehingga Kementerian Kominfo mencatat peningkatan pabrikasi isu atau hoaks mencapai 771 konten hoaks sejak Agustus 2018 hingga Februari 2019.
"Sejak Agustus hingga Desember 2018, jumlah hoaks masih puluhan, namun sejak Januari 2019 sudah mencapai 175 hoaks, dan bulan Februari ada sebanyak 353 hoaks, tentu Maret lebih banyak lagi," kata Menkominfo, Rudiantara, di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta (9/3).
Terlepas dari siapa pemenang Pilpres/Pemilu 2019, politik identitas yang kini sudah melahirkan kondisi "siaga hoaks" agaknya perlu disudahi, karena semua calon pemimpin bangsa ini sudah pasti beragama dan masyarakat Indonesia juga satu saudara dalam kemajemukan, apalagi hoaks bukannya menguatkan agama dalam koridor kritik, tapi justru menjadikan agama sebagai alat olok-olok.
Ya, pabrikasi itu perlu disudahi dengan menindak mereka yang "menunggangi" pemilu/pilpres, agar masyarakat tetap sebangsa.
Baca juga: Pengamat katakan hoaks tetap ramai pada Pemilu 2019
Baca juga: Cara Facebook hadapi hoaks jelang Pilpres
Baca juga: Cegah hoaks saat pilpres, WhatsApp batasi "forward" pesan 5 kali
Bisa jadi, lakon capres/cawapres sudah dianggap "selesai" (dalam citra), sehingga pertarungan lakon ideologis menjadi lebih menarik, apalagi nuansa SARA (suku/Jawa-nonJawa, agama/ideologi, ras/etnis/pribumi-nonpribumi, dan antargolongan/kaya-miskin) itu selalu memantik emosi.
Kendati tidak muncul di permukaan, tapi materi perdebatan yang seru di dunia maya yang berkisar seputar masalah ideologi dan keagamaan itu menunjukkan "politik identitas" masih mendominasi percaturan politik praktis di republik yang majemuk tapi tak kunjung dewasa ini.
Mau atau tidak, politik identitas dengan "baju" SARA itu akhirnya menjejali ruang-ruang digital, sehingga politik identitas itu mendorong "pabrikasi" isu atau hoaks yang saling berseliweran untuk "ditembakkan" kepada capres/cawapres X atau capres/cawapres Y.
Bukti adanya pabrikasi hoaks itu terlihat dari isu-isu yang masih seputar SARA, seperti komunis (isu dari pemilu ke pemilu), isu perkawinan sejenis, khilafah/radikalisasi, keturunan etnis non-pribumi, kriminalisasi ulama, penghapusan pendidikan agama, larangan azan, dan isu lainnya.
Masalahnya, perdebatan di ruang-ruang maya itu bukan sekadar berbeda, namun justru ditandai sumpah serapah yang antara lain dialamatkan pada ormas moderat, yakni Nahdlatul Ulama (NU), mengingat ormas NU yang bukan partai politik itu ibarat gadis manis yang selalu diperebutkan dalam panggung-panggung politik praktis sejak Orde Lama, Orba, Reformasi, hingga Orde "Now" (maya).
Ya, politik identitas itu menyeret Islam moderat (NU) itu masuk "pusaran pertarungan" yang menyasar eksistensi NU sebagai peletak pondasi "Empat Pilar Kebangsaan" dalam sejarah bangsa ini, untuk berlaga dengan ormas Islam simbolik yang "baru" di NKRI. Hal itu berbeda dengan ormas Muhammadiyah yang memilih "pondasi" pendidikan formal dalam peran kesejarahan.
Hal itu dibenarkan pegiat media sosial, Denny Siregar, dalam "chat" Facebook-nya (22/3/2019). "NU memang sudah tidak berpolitik praktis sejak Munas tahun 1983 di Situbondo, Jawa Timur. NU lebih mengedepankan politik tingkat tinggi (siyasah 'aliyah samiyah) atau politik kebangsaan dan politik kerakyatan," katanya.
Namun, NU bisa memiliki agenda politik bila merasa perlu untuk tampil guna mengawal agenda besar untuk menjaga kebangsaan dan negara ini (NKRI), bukan karena berpolitik, atau sekadar mengkritisi capres tertentu, namun ada hal yang perlu diperkuat untuk kebangsaan negara ini.
"Tampilnya NU sekarang sangat mungkin terkait dengan menghadang wujudnya kembali ideologi HTI dalam bentuk berbeda dengan menunggangi pertarungan politik. Jadi, bukan soal capres/cawapres, tapi soal pertarungan ideologis," katanya.
Apalagi, ormas Islam yang ingin "mengganti" Empat Pilar Kebangsaan sebagai pondasi dari bangunan berbangsa dan bernegara itu sudah benar-benar dibubarkan secara yuridis, namun ideologi laten yang dibangun sejak awal 2000-an itu masih mencari "jalan lain" untuk tetap eksis, termasuk "memakai" panggung politik untuk "menembak" yang mendorong pembubarannya.
Pandangan senada dilontarkan mantan Ketua Umum PPP M Romahurmuziy sebelum terkena OTT dari KPK. Ia menyebut ada kelompok yang menginginkan khilafah dan mengubah Pancasila yang saat ini berkumpul dibalik layar dari kubu capres tertentu, yakni Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
"Bagi HTI tidak ada pilihan lain, kecuali mendukung pasangan calon bukan petahana, karena capres petahana sudah melarang HTI, sehingga HTI sudah pasti tidak bisa lagi berkembang di Indonesia jika memilih capres petahana, padahal HTI ingin mendirikan khilafah dengan diawali pernyataan terbuka bahwa mereka tidak mengakui Pancasila dan NKRI," katanya di Sukabumi, Jawa Barat (5/3).
Lebih dari itu, ulama muda yang "ahli" sejarah NU, Gus Ahmad Muwafiq, menilai NU sudah terbiasa menjadi "bulan-bulanan" dari kelompok Islam simbolik, bahkan saat ini mirip sejarah NU yang berulang saja, karena para pendiri NU seperti Hadratussyeikh KH Hasyim Asyari juga pernah dituduh pro-penjajah Jepang.
Selanjutnya, era Orde Lama ada KH Wahab Chasbullah juga dituduh PKI karena menerima Nasakom. Atau, ulama NU lainnya, KH Bisri Syansuri, dituduh takut pada pemimpin zalim, karena justru memberhentikan tokoh/pimpinan NU KH Subhan ZE yang paling vokal mengritik orde baru.
Idem juga pada era Orba, Rais Aam PBNU KH Achmad Sidiq pun dituduh goyah keislamannya, karena menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Bahkan, mantan Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pun dituduh liberal, antek zionis, agen Syiah, kafir, dan "sumpah serapah" lainnya.
Orde Reformasi pun sama, mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi yang secara khusus mendampingi Jokowi saat umroh menjelang pencoblosan capres 2014 juga dituduh Syiah, karena pembelaannya terhadap nuklir Iran.
"Sejarah yang sama pun menimpa Ketua Umum PBNU saat ini KH Said Aqil Siradj yang juga luput dari tuduhan Syiah, Liberal, Sesat, Kafir, dan sebagainya. Kini, perundungan pun menyasar KH Ma'ruf Amin, KH Maemun Zuber, dan ulama sepuh NU lainnya, hanya gara-gara Pilpres," katanya.
Pabrikasi hoaks
Faktanya, perdebatan dunia maya berlangsung sangat seru akibat media sosial yang bebas dari "aturan main" jurnalistik (tanpa narasumber/klarifikasi, redaktur/proses editing, dan etika jurnalistik), sehingga medsos mengajari olok-olok (tidak santun) yang justru mendorong pabrikasi hoaks.
Agaknya, bila dicermati, narasi ideologi/keislaman yang melebar ke panggung politik praktis dalam "perang dunia maya" antara Islam simbolik dengan Islam moderat itu tidak sangat substansial, bahkan hanya ibarat beda pendekatan, namun perbedaan itu diseret ke panggung perebutan kekuasaan.
Beda pendekatan itu terjadi karena kelompok Islam simbolik ala HTI menggunakan sudut pandang "bahasa/akidah" yang disertai dengan ujaran kebencian dan sumpah serapah (olok-olok), sedangkan kelompok Islam moderat ala NU menggunakan sudut pandang "akhlak/dakwah" (fiqih siyasah).
Sekadar menyebut beberapa contoh "beda pendekatan" itu antara lain polemik "Islam Penjaga Gereja" (Banser) yang bagi Islam simbolik adalah "mengakui agama lain" (bahasa/akidah). Itu mirip pemahaman yang beda terkait "Ucapan Selamat Natal" antara pendekatan simbolik dengan pendekatan moderat ("akhlak/dakwah").
Bedanya, Islam moderat justru memaknai "menjaga gereja" dalam konteks dakwah/akhlak bahwa Islam juga perlu "menolong dalam perbedaan" tanpa harus mencampur aduk dengan keyakinan/agama. Insiden penembakan di dalam masjid di Selandia Baru membuktikan toleransi itu indah seiring munculnya semangat toleransi lintas agama pasca-insiden itu.
"Islam Nusantara" juga idem. Kelompok Islam simbolik menganggap Islam Nusantara adalah agama Islam baru, padahal Islam itu hanya satu yakni Islam. Bagi kelompok Islam moderat, Islam Nusantara itu tetap Islam juga, karena rukun iman dan rukun Islam-nya juga sama, namun cara berdakwah/akhlak yang menggunakan strategi para walisongo. Hanya itu.
Cara berdakwah walisongo yang adaptif dengan lingkungan Nusantara dalam konteks ajaran Islam yang bukan "rukun" itu justru terbukti mampu meng-Islam-kan Bumi Nusantara yang semula animisme, sedangkan cara-cara "radikal" justru membuat jumlah pemeluk Islam saat ini semakin berkurang dari tahun ke tahun. Islam Nusantara itu merupakan konsep dakwah yang menawarkan "jalan tengah".
Selain itu, viralnya pembakaran "bendera tauhid" secara masif di beberapa titik di Jawa Barat saat upacara Hari Santri 2018 juga disoroti Kelompok Islam simbolik bahwa bendera yang dibakar adalah "bendera tauhid". "Bendera HTI itu ada tulisan HTI (di bawah kalimat tauhid), jadi mereka menghina Islam," kata eks Juru Bicara HTI, Ismail Yusanto.
Sebaliknya, kelompok Islam moderat menilai "bendera" yang dibakar itu bukan "tauhid" tapi simbol bendera yang dipakai Rasulullah untuk berperang. Apalagi, bendera yang sama bila ditanyakan kepada para aktivis HTI dalam setiap aksi unjuk rasa pasti akan menyebut bendera berkalimat tauhid itu miliknya, meski tidak ada tulisan HTI di bagian bawahnya. Jadi, identifikasi itu ada, meski tertutupi.
Perdebatan bendera itu sama halnya dengan perdebatan saat pemerintah melarang HTI sebagai ormas, karena NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sedangkan HTI tidak mau mengakui Pancasila, sehingga tanpa Pancasila berarti melawan negara dan layak dibubarkan. Namun, saat dibubarkan justru mereka menuduh pemerintah bertindak anti-Islam.
"Eks HTI itu menyembunyikan fakta bahwa krisis dan kebangkrutan juga terjadi pada khilafah zaman old, lantas mereka menyerang demokrasi dan pemerintah Indonesia seolah-olah khilafah itu satu-satunya solusi. Eks HTI menyerang kondisi sekarang dengan kisah kejayaan masa silam, padahal fakta sejarah menunjukkan khilafah dulu juga pernah bermasalah, lalu mereka berkelit," kata Rais Syuriah PCI NU Australia-New Zealand dan dosen Monash Law School, DR KH Nadirsyah Hosen.
(Dialektika 'cuci otak' juga dilakukan HTI, seperti: pilih mana antara Islam dan Pancasila yang terbaik?; lebih tinggi mana Islam dengan Pancasila?; jika Pancasila sesuai dengan Islam, kenapa Negara Muslim yang lain tak memakai Pancasila?; kalau Pancasila sejalan dengan Islam, maka Khilafah juga sejalan dengan Islam; dan seterusnya. Padahal, Pancasila dan Islam tak layak diperbandingkan, karena Pancasila adalah ideologi dan Islam adalah agama, sehingga hirarkhie keduanya beda).
Nah, beda pendekatan juga terjadi pada wacana "kafir" dan "non-Muslim" yang menyangkut dua sudut pandangan berbeda yakni pendekatan akidah/bahasa dan pendekatan dakwah/akhlak. Secara bahasa, kafir itu istilah baku dalam Al-Quran. Secara umum, kelompok moderat tetap mengakui istilah kafir dalam Al-Quran, namun pemakaian istilah itu tidak harus menyinggung orang lain, sehingga diperhalus dalam konteks bermasyarakat (dakwah/akhlak), bukan dalam konteks aqidah.
"Sangat dimengerti jika ide NU tentang negara dan kewarganegaraan memancing pro-kontra, karena mereka masih memaknai dengan perspektif aqidah/teologi, padahal NU membahasnya dalam konteks Fiqih Siyasah.
Salah besar kalau mereka mengatakan NU mau mengamandemen Al-Quran (terkait istilah kafir), karena apa yang dilakukan NU justru mengembalikan makna kata kafir ke tempat asalnya, setelah 'kafir' digeser kaum radikal menjadi bermakna 'mengkafirkan' orang lain (politis)," kata pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jawa Barat, Ayik Heriansyah, dalam 'chat' (1/3/2019).
Namun, beda pendekatan itu amat mustahil untuk disatukan, karena faktor "peran sejarah" NU dalam "perjalanan" NKRI yang memang berbeda dengan Islam simbolik yang tidak "berproses" dalam kesejarahan bangsa, apalagi perbedaan pendekatan itu sudah tidak "natural" akibat diseret ke arah politis (dengan sumpah serapah/olok-olok), sehingga kegaduhan pun tak terelakkan.
Bahkan, kegaduhan ideologis itulah yang mendorong adanya pabrikasi hoaks, bahkan Islam simbolik membuat ratusan/ribuan akun untuk "menembak" Islam moderat, diantaranya akun "Muslim Cyber Army" (MCA) yang sudah dihapus itu, sehingga Kementerian Kominfo mencatat peningkatan pabrikasi isu atau hoaks mencapai 771 konten hoaks sejak Agustus 2018 hingga Februari 2019.
"Sejak Agustus hingga Desember 2018, jumlah hoaks masih puluhan, namun sejak Januari 2019 sudah mencapai 175 hoaks, dan bulan Februari ada sebanyak 353 hoaks, tentu Maret lebih banyak lagi," kata Menkominfo, Rudiantara, di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta (9/3).
Terlepas dari siapa pemenang Pilpres/Pemilu 2019, politik identitas yang kini sudah melahirkan kondisi "siaga hoaks" agaknya perlu disudahi, karena semua calon pemimpin bangsa ini sudah pasti beragama dan masyarakat Indonesia juga satu saudara dalam kemajemukan, apalagi hoaks bukannya menguatkan agama dalam koridor kritik, tapi justru menjadikan agama sebagai alat olok-olok.
Ya, pabrikasi itu perlu disudahi dengan menindak mereka yang "menunggangi" pemilu/pilpres, agar masyarakat tetap sebangsa.
Baca juga: Pengamat katakan hoaks tetap ramai pada Pemilu 2019
Baca juga: Cara Facebook hadapi hoaks jelang Pilpres
Baca juga: Cegah hoaks saat pilpres, WhatsApp batasi "forward" pesan 5 kali
Pewarta: Edy M Yakub
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019