Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Riza Patria menyebutkan persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) berasal dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) lantaran DP4 yang dibuat kementerian itu untuk KPU sudah invalid dari awal.
"Masalah ini berawal dari DP4, DP4 itu produk pemerintah Permendagri, kita minta ke depan pemerintah bisa sisir dan perbaiki DP4, KPU jangan diberi data invalid dan bermasalah," kata Riza dalam diskusi bertema "DPT Pilpres, Kredibel atau Bermasalah?" di Seknas Prabowo-Sandi, Menteng, Jakarta, Selasa.
Menurut dia, ada sejumlah temuan-temuan yang aneh dalam upaya pihaknya menyisir DPT. Bahkan, menurutnya, ada mencapai 17,5 juta data yang tidak wajar.
"Ada 300 ribu lebih orang umurnya di atas 90 tahun. Lahirnya 1873, mana mungkin. Ada yang di bawah 17 tahun, bahkan belum lahir. Jadi temuan ini bukan hoaks. Secara komputer ada. Sangat bisa ditemukan," ujarnya.
Politisi Partai Gerindra itu mengaku sudah menyiapkan tim terkait sejumlah temuan tersebut dan sudah menyampaikan hal itu kepada KPU.
"Data-data ini ingin kita pastikan di lapangan. Apakah betul yang ganda ini. Secara kasat mata terlihat. NIK sama KK sama. Kami juga siapkan tim. Tadi kami ke Bawaslu, kami minta Bawaslu ikut bantu. Disisir secara IT. Lalu di lapangan. Ini bagian dari bentuk kepedulian kami terhadap pemilu yang demokratis. Siapa yang diuntungkan? Pasangan 01 dan 02, para caleg, parpol, pemerintah, masyarakat," tuturnya.
Riza mengajak kepada semua pihak untuk menyikapi sejumlah temuan itu dengan bijak, dengan memastikan data temuan tersebut.
"Untuk segera kita pastikan apakah orangnya ada atau tidak. Yang bahaya kalau orangnya tidak ada. Harus dihilangkan dan dicoret. Kita tidak prasangka buruk," ujarnya.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menyebutkan Komisi Pemilihan Umum tidak maksimal melakukan pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih Pemilu 2019, sehingga masih terjadi persoalan dalam daftar pemilih tetap.
"Ada satu kesimpulan bahwa coklit yang dilakukan, ada kesalahan prosedur yang dilakukan KPU itu yang kami temukan," kata anggota Bawaslu RI, Rahmat Bagja di tempat yang sama.
Menurut dia, coklit yang tak maksimal ini mengakibatkan munculnya masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) seperti DPT ganda atau masalah munculnya WNA pemilik e-KTP yang masuk dalam DPT.
Bagja pun mencontohkan kasus yang luput dari prosedur saat coklit. "Misalkan, 101 WNA yang masuk ke DPT akhirnya terungkap, yang anehnya kami temukan makin banyak 200 WNA masuk dalam DPT yang banyak itu di Bali," jelas Bagja.
Dikatakannya, berdasarkan hasil kajian yang pernah dilakukan Bawaslu menemukan dari 10 rumah yang didatangi langsung petugas coklit KPU, terdapat 1 hingga 2 rumah yang tak didatangi.
Padahal, dalam aturannya, petugas coklit harus mendatangi setiap rumah agar masyarakat yang memiliki hak pilih bisa masuk dalam DPT.
"Permasalahan coklit yang tidak sepenuhnya dilakukan dengan cara mendatangkan rumah-rumah sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan," jelas Bagja.
"Masalah ini berawal dari DP4, DP4 itu produk pemerintah Permendagri, kita minta ke depan pemerintah bisa sisir dan perbaiki DP4, KPU jangan diberi data invalid dan bermasalah," kata Riza dalam diskusi bertema "DPT Pilpres, Kredibel atau Bermasalah?" di Seknas Prabowo-Sandi, Menteng, Jakarta, Selasa.
Menurut dia, ada sejumlah temuan-temuan yang aneh dalam upaya pihaknya menyisir DPT. Bahkan, menurutnya, ada mencapai 17,5 juta data yang tidak wajar.
"Ada 300 ribu lebih orang umurnya di atas 90 tahun. Lahirnya 1873, mana mungkin. Ada yang di bawah 17 tahun, bahkan belum lahir. Jadi temuan ini bukan hoaks. Secara komputer ada. Sangat bisa ditemukan," ujarnya.
Politisi Partai Gerindra itu mengaku sudah menyiapkan tim terkait sejumlah temuan tersebut dan sudah menyampaikan hal itu kepada KPU.
"Data-data ini ingin kita pastikan di lapangan. Apakah betul yang ganda ini. Secara kasat mata terlihat. NIK sama KK sama. Kami juga siapkan tim. Tadi kami ke Bawaslu, kami minta Bawaslu ikut bantu. Disisir secara IT. Lalu di lapangan. Ini bagian dari bentuk kepedulian kami terhadap pemilu yang demokratis. Siapa yang diuntungkan? Pasangan 01 dan 02, para caleg, parpol, pemerintah, masyarakat," tuturnya.
Riza mengajak kepada semua pihak untuk menyikapi sejumlah temuan itu dengan bijak, dengan memastikan data temuan tersebut.
"Untuk segera kita pastikan apakah orangnya ada atau tidak. Yang bahaya kalau orangnya tidak ada. Harus dihilangkan dan dicoret. Kita tidak prasangka buruk," ujarnya.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menyebutkan Komisi Pemilihan Umum tidak maksimal melakukan pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih Pemilu 2019, sehingga masih terjadi persoalan dalam daftar pemilih tetap.
"Ada satu kesimpulan bahwa coklit yang dilakukan, ada kesalahan prosedur yang dilakukan KPU itu yang kami temukan," kata anggota Bawaslu RI, Rahmat Bagja di tempat yang sama.
Menurut dia, coklit yang tak maksimal ini mengakibatkan munculnya masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) seperti DPT ganda atau masalah munculnya WNA pemilik e-KTP yang masuk dalam DPT.
Bagja pun mencontohkan kasus yang luput dari prosedur saat coklit. "Misalkan, 101 WNA yang masuk ke DPT akhirnya terungkap, yang anehnya kami temukan makin banyak 200 WNA masuk dalam DPT yang banyak itu di Bali," jelas Bagja.
Dikatakannya, berdasarkan hasil kajian yang pernah dilakukan Bawaslu menemukan dari 10 rumah yang didatangi langsung petugas coklit KPU, terdapat 1 hingga 2 rumah yang tak didatangi.
Padahal, dalam aturannya, petugas coklit harus mendatangi setiap rumah agar masyarakat yang memiliki hak pilih bisa masuk dalam DPT.
"Permasalahan coklit yang tidak sepenuhnya dilakukan dengan cara mendatangkan rumah-rumah sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan," jelas Bagja.
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019