Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Himpunan Perguruan Tinggi Kesehatan Indonesia (HPTKes) Gunarmi Solikhin meminta agar calon presiden dan wakil presiden atau pemimpin pada periode mendatang untuk mengevaluasi uji kompetensi mahasiswa bidang kesehatan.
"Uji kompetensi mahasiswa kesehatan perlu dievaluasi ulang, karena hanya menguji pengetahuan bukan kemampuan mahasiswa itu," ujar Gunarmi usai audiensi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jakarta, Senin.
Idealnya uji kompetensi mengukur capaian pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Uji kompetensi, kata dia, seharusnya di tempat kerja dan dengan pasien langsung.
Akibat sulitnya uji kompetensi tersebut, setidaknya sebanyak 357.028 lulusan kesehatan yang tidak lulus, sehingga tidak bisa mencari kerja ataupun buka praktik sendiri.
"Uji kompetensi seperti sekarang ini, akan menurunkan minat masyarakat untuk kuliah di bidang kesehatan, karena tidak adanya kepastian hukum bagi masyarakat. Saat ini banyak yang perguruan tinggi bidang kesehatan yang hampir bangkrut," jelas dia.
Jika dibiarkan lebih lanjut, maka dikhawatirkan akan membuat tenaga kesehatan akan langka. Uji kompetensi yang dilakukan tersebut merupakan kolaborasi Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan panitia uji kompetensi.
Setiap uji kompetensi, mahasiswa tersebut diminta untuk membayar Rp275.000 untuk tingkat sarjana dan Rp225.000 untuk tingkat diploma.
"Jika mereka tidak lulus kasihan sekali, karena tidak bisa melamar kerja, tidak bisa buka praktik sendiri karena tidak mempunyai surat tanda registrasi," kata dia lagi.
Untuk itu, dia berharap agar uji kompetensi tersebut dievaluasi dan diperbaiki dan tidak lagi diselenggarakan oleh lintas kementerian, seharusnya uji kompetensi tersebut diselenggarakan lembaga independen.
"Uji kompetensi mahasiswa kesehatan perlu dievaluasi ulang, karena hanya menguji pengetahuan bukan kemampuan mahasiswa itu," ujar Gunarmi usai audiensi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jakarta, Senin.
Idealnya uji kompetensi mengukur capaian pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Uji kompetensi, kata dia, seharusnya di tempat kerja dan dengan pasien langsung.
Akibat sulitnya uji kompetensi tersebut, setidaknya sebanyak 357.028 lulusan kesehatan yang tidak lulus, sehingga tidak bisa mencari kerja ataupun buka praktik sendiri.
"Uji kompetensi seperti sekarang ini, akan menurunkan minat masyarakat untuk kuliah di bidang kesehatan, karena tidak adanya kepastian hukum bagi masyarakat. Saat ini banyak yang perguruan tinggi bidang kesehatan yang hampir bangkrut," jelas dia.
Jika dibiarkan lebih lanjut, maka dikhawatirkan akan membuat tenaga kesehatan akan langka. Uji kompetensi yang dilakukan tersebut merupakan kolaborasi Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan panitia uji kompetensi.
Setiap uji kompetensi, mahasiswa tersebut diminta untuk membayar Rp275.000 untuk tingkat sarjana dan Rp225.000 untuk tingkat diploma.
"Jika mereka tidak lulus kasihan sekali, karena tidak bisa melamar kerja, tidak bisa buka praktik sendiri karena tidak mempunyai surat tanda registrasi," kata dia lagi.
Untuk itu, dia berharap agar uji kompetensi tersebut dievaluasi dan diperbaiki dan tidak lagi diselenggarakan oleh lintas kementerian, seharusnya uji kompetensi tersebut diselenggarakan lembaga independen.
Pewarta: Indriani
Editor: Ridwan Chaidir
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Ridwan Chaidir
Copyright © ANTARA 2019