Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai ada korelasi yang kuat antara informasi bohong atau hoaks dengan kepentingan politik tertentu, karena dari data yang ada, hoaks yang beredar didominasi konten politik.
"Hoaks tentang politik lebih banyak dibandingkan konten hoaks lain, trennya semakin meningkat. Dari 771 konten hoaks, ada 181 hoaks politik," kata Karyono dalam diskusi bertajuk "Implikasi dan Konsekuensi Kampanye Menggunakan Hoaks dalam Pemilu 2019", di Jakarta, Sabtu.
Karyono menggatakan tren produksi dan sebaran hoaks meningkat cukup tajam, dari hasil temuan terbaru Kementerian Komunikasi dan Informatika terdapat 771 konten hoaks selama Agustus 2018 sampai dengan Februari 2019.
Dari jumlah itu menurut dia telah didominasi hoaks yang berbau politik yaitu dari 771 jenis hoaks, terdapat 181 konten hoaks terkait dengan isu politik yang menyerang kedua pasangan calon presiden maupun partai politik.
"Data dari Masyarakat Anti-fitnah Indonesia dan Kemenkominfo, peredaran hoaks selama Januari 2019 didominasi hoaks tentang politik," ujarnya.
Dia juga mengutip data Political Wave, pasangan Jokowi-Ma'ruf paling banyak diserang dengan hoaks misalnya isu Kartu Tanda Penduduk (KTP) Elektronik palsu dari China hingga isu Ma'ruf Amin akan diganti Basuki Tjahaja Purnama.
Dia menilai hoaks diproduksi dan direprodukai untuk mempengaruhi pemilih namun yang terjadi adalah kampanye kehilangan substansi dan justru yang terjadi adalah narasi ujaran kebencian, saling serang, menghasut dan hoaks.
Namun menurut dia yang berbahaya saat ini adalah hoaks sudah masuk dalam industri misalnya kasus saracen yang menyediakan jasa menyebarkan hoaks untuk kepentingan bisnisnya.
"Ketika hoaks masuk industri maka bisa menjadi komoditas bisnis untuk mendapatkan keuntungan, itu membuat Indonesia darurat hoaks," katanya.
Pengamat Intelijen dan Keamanan Stanislaus Riyanta mengatakan jelang Pemilu 2019 telah terjadi perang urat saraf dan propaganda dengan menggunakan media sosial.
Dia menilai tujuan penggunaan hoaks dalam politik adalah menaikan elektabilitas calon yang didukungnya dan menurunkan elektabilitas lawan politik.
"Lalu yang menarik siapa pelakunya, saya lihat pelakunya adalah pendukung fanatik dan mencari kelemahan lawan," ujarnya.
Dia mengatakan kedua pasangan calon sama-sama diserang hoaks khususnya terkait konten Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan (SARA) dan kalau itu digunakan maka proses pemulihannya sangat lama.
Dia menilai solusi paling tepat adalah melakukan deteksi dan cegah dini, kalau tidak bisa maka harus dilakukan penegakan hukum agar menimbulkan efek jera.
Baca juga: Polda NTT terus menggelar patroli siber
Baca juga: KPU laporkan video hoaks surat suara tercoblos di Sumut ke Polda
"Hoaks tentang politik lebih banyak dibandingkan konten hoaks lain, trennya semakin meningkat. Dari 771 konten hoaks, ada 181 hoaks politik," kata Karyono dalam diskusi bertajuk "Implikasi dan Konsekuensi Kampanye Menggunakan Hoaks dalam Pemilu 2019", di Jakarta, Sabtu.
Karyono menggatakan tren produksi dan sebaran hoaks meningkat cukup tajam, dari hasil temuan terbaru Kementerian Komunikasi dan Informatika terdapat 771 konten hoaks selama Agustus 2018 sampai dengan Februari 2019.
Dari jumlah itu menurut dia telah didominasi hoaks yang berbau politik yaitu dari 771 jenis hoaks, terdapat 181 konten hoaks terkait dengan isu politik yang menyerang kedua pasangan calon presiden maupun partai politik.
"Data dari Masyarakat Anti-fitnah Indonesia dan Kemenkominfo, peredaran hoaks selama Januari 2019 didominasi hoaks tentang politik," ujarnya.
Dia juga mengutip data Political Wave, pasangan Jokowi-Ma'ruf paling banyak diserang dengan hoaks misalnya isu Kartu Tanda Penduduk (KTP) Elektronik palsu dari China hingga isu Ma'ruf Amin akan diganti Basuki Tjahaja Purnama.
Dia menilai hoaks diproduksi dan direprodukai untuk mempengaruhi pemilih namun yang terjadi adalah kampanye kehilangan substansi dan justru yang terjadi adalah narasi ujaran kebencian, saling serang, menghasut dan hoaks.
Namun menurut dia yang berbahaya saat ini adalah hoaks sudah masuk dalam industri misalnya kasus saracen yang menyediakan jasa menyebarkan hoaks untuk kepentingan bisnisnya.
"Ketika hoaks masuk industri maka bisa menjadi komoditas bisnis untuk mendapatkan keuntungan, itu membuat Indonesia darurat hoaks," katanya.
Pengamat Intelijen dan Keamanan Stanislaus Riyanta mengatakan jelang Pemilu 2019 telah terjadi perang urat saraf dan propaganda dengan menggunakan media sosial.
Dia menilai tujuan penggunaan hoaks dalam politik adalah menaikan elektabilitas calon yang didukungnya dan menurunkan elektabilitas lawan politik.
"Lalu yang menarik siapa pelakunya, saya lihat pelakunya adalah pendukung fanatik dan mencari kelemahan lawan," ujarnya.
Dia mengatakan kedua pasangan calon sama-sama diserang hoaks khususnya terkait konten Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan (SARA) dan kalau itu digunakan maka proses pemulihannya sangat lama.
Dia menilai solusi paling tepat adalah melakukan deteksi dan cegah dini, kalau tidak bisa maka harus dilakukan penegakan hukum agar menimbulkan efek jera.
Baca juga: Polda NTT terus menggelar patroli siber
Baca juga: KPU laporkan video hoaks surat suara tercoblos di Sumut ke Polda
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019