Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan kepastian dan landasan hukum yang kuat sangat penting untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) selalu penyelenggara Pemilu.
"Karena Pemilu kali ini sangat kompetitif, maka penting bagi KPU untuk bekerja dengan kepastian hukum serta landasan hukum yang kuat," ujar Titi di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa.
Kepastian hukum yang kuat dikatakan Titi sangat diperlukan untuk KPU sebagai jaminan, sehingga tidak membuka ruang untuk menjadi diskursus baru di dalam pelaksanaan pemilu.
Di dalam praktik pemilu yang sangat kompetitif, celah yang tidak bisa dijamin oleh kepastian hukum yang kuat dapat berpotensi menimbulkan terjadinya gugatan hukum ataupun sengketa, ujar Titi.
"Jadi kami ingin memastikan pelaksanaan pemilu kita ini betul-betul dipayungi oleh pengaturan yang memberikan jaminan kepastian hukum," tambah Titi.
Titi bersama dengan pengamat hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari, mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, serta empat orang warga negara Indonesia yang dua diantaranya adalah warga binaan di Lapas Tangerang, mendaftarkan permohonan pengujian sejumlah pasal dalam UU 7/2017 (UU Pemilu).
Adapun pasal yang diuji adalah Pasal 348 ayat (9), Pasal 348 ayat (4), Pasal 210 ayat (1), Pasal 350 ayat (2), dan Pasal 383 ayat (2) UU 7/2017 (UU Pemilu).
Pasal-pasal tersebut dinilai telah menyebabkan pemilih yang tidak memiliki KTP- e kehilangan hak memilih.
Hal ini menjadikan sekitar empat juta penduduk yang merupakan kelompok rentan seperti masyarakat adat, kaum miskin kota, penyandang disabilitas, panti sosial, warga binaan di Lapas dan Rutan, dan beberapa pemilih lain yang tidak mempunyai akses yang cukup untuk memenuhi syarat pembuatan KTP elektronik.
"Karena Pemilu kali ini sangat kompetitif, maka penting bagi KPU untuk bekerja dengan kepastian hukum serta landasan hukum yang kuat," ujar Titi di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa.
Kepastian hukum yang kuat dikatakan Titi sangat diperlukan untuk KPU sebagai jaminan, sehingga tidak membuka ruang untuk menjadi diskursus baru di dalam pelaksanaan pemilu.
Di dalam praktik pemilu yang sangat kompetitif, celah yang tidak bisa dijamin oleh kepastian hukum yang kuat dapat berpotensi menimbulkan terjadinya gugatan hukum ataupun sengketa, ujar Titi.
"Jadi kami ingin memastikan pelaksanaan pemilu kita ini betul-betul dipayungi oleh pengaturan yang memberikan jaminan kepastian hukum," tambah Titi.
Titi bersama dengan pengamat hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari, mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, serta empat orang warga negara Indonesia yang dua diantaranya adalah warga binaan di Lapas Tangerang, mendaftarkan permohonan pengujian sejumlah pasal dalam UU 7/2017 (UU Pemilu).
Adapun pasal yang diuji adalah Pasal 348 ayat (9), Pasal 348 ayat (4), Pasal 210 ayat (1), Pasal 350 ayat (2), dan Pasal 383 ayat (2) UU 7/2017 (UU Pemilu).
Pasal-pasal tersebut dinilai telah menyebabkan pemilih yang tidak memiliki KTP- e kehilangan hak memilih.
Hal ini menjadikan sekitar empat juta penduduk yang merupakan kelompok rentan seperti masyarakat adat, kaum miskin kota, penyandang disabilitas, panti sosial, warga binaan di Lapas dan Rutan, dan beberapa pemilih lain yang tidak mempunyai akses yang cukup untuk memenuhi syarat pembuatan KTP elektronik.
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019