Jakarta (ANTARA News) - Anggota Dewan Pengarah TKN Jokowi-Ma'ruf, Sidarto Danusubroto meyakini Dewan Kerukunan Nasional (DKN) akan mampu menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran HAM tahun 1998, salah satunya dengan rekonsiliasi.
"Ini dibentuk Dewan Kerukunan Nasional, diharapkan akan menjadi lembaga yang mampu menampung jeritan keluarga korban," kata Sidarto usai menerima dukungan Alumni Trisakti, di Jakarta, Jumat.
Dia berharap melalui DKN itu ada pengakuan negara dan ada restitusi serta rekonsiliasi.
Menurut dia sebenarnya kasus HAM 1998 bisa diselesaikan dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) setelah peristiwa 1998 namun dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) karena ada dua pasal yang digugat keluarga korban.
Padahal dia menilai KKR tersebut bisa menjadi jawaban dari tuntutan para korban tentang restitusi dan permintaan maaf negara.
"KKR itu di banyak negara ada penyelidikan kebenaran dan cerita kebenaran. Namun UU KKR dibatalkan MK padahal di dalamnya ada jawaban dari tuntutan korban tentang restitusi dan permintaan maaf negara," ujarnya.
Sidarto yang merupakan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) itu mengatakan UU KKR dan Pengadilan HAM adalah dua UU yang lahir di negara transisi dari otoriter ke demokrasi.
Dia menilai KKR untuk kasus 1998 tidak bisa dibentuk saat ini karena banyak saksi dan pelaku, saksi pelaku, dan korban sebagian besar sudah meninggal sehingga tidak memungkinkan.
Namun menurut dia, dalam penanganan kasus pelanggaran HAM tidak mengenal batas waktu sehingga bisa diselesaikan kapan saja.
"HAM tidak mengenal kadarluarsa, kapan pun bisa diproses," katanya.
"Ini dibentuk Dewan Kerukunan Nasional, diharapkan akan menjadi lembaga yang mampu menampung jeritan keluarga korban," kata Sidarto usai menerima dukungan Alumni Trisakti, di Jakarta, Jumat.
Dia berharap melalui DKN itu ada pengakuan negara dan ada restitusi serta rekonsiliasi.
Menurut dia sebenarnya kasus HAM 1998 bisa diselesaikan dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) setelah peristiwa 1998 namun dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) karena ada dua pasal yang digugat keluarga korban.
Padahal dia menilai KKR tersebut bisa menjadi jawaban dari tuntutan para korban tentang restitusi dan permintaan maaf negara.
"KKR itu di banyak negara ada penyelidikan kebenaran dan cerita kebenaran. Namun UU KKR dibatalkan MK padahal di dalamnya ada jawaban dari tuntutan korban tentang restitusi dan permintaan maaf negara," ujarnya.
Sidarto yang merupakan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) itu mengatakan UU KKR dan Pengadilan HAM adalah dua UU yang lahir di negara transisi dari otoriter ke demokrasi.
Dia menilai KKR untuk kasus 1998 tidak bisa dibentuk saat ini karena banyak saksi dan pelaku, saksi pelaku, dan korban sebagian besar sudah meninggal sehingga tidak memungkinkan.
Namun menurut dia, dalam penanganan kasus pelanggaran HAM tidak mengenal batas waktu sehingga bisa diselesaikan kapan saja.
"HAM tidak mengenal kadarluarsa, kapan pun bisa diproses," katanya.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2019
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2019