Jakarta (ANTARA News) - Relawan Jokowi-Ma'ruf, Tim Cakra 19, menjelaskan pernyataan calon presiden petahana, Joko Widodo, soal propaganda Rusia. Relawan menyatakan, istilah propaganda Rusia itu mengarah kepada modus operandi yang dikenal sebagai Operasi Semburan Fitnah (Firehose of Falsehood).
Ketua Tim Cakra 19, Dr Andi Widjajanto, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Selasa, mengatakan, operasi ini digunakan Rusia antara 2012-2017 dalam krisis Semenanjung Crimea, konflik Ukraina, dan perang sipil di Suriah.
Hasilnya, lanjut dia, muncul ketidakpercayaan masif dari rakyat Rusia terhadap sistem politik yang kemudian dikapitalisasi Lenin saat Revolusi Oktober 1917.
"Di Rusia, modus operandi ini sudah muncul di dekade 1870-an melalui Gerakan Narodniki. Gerakan ini dulu dilakukan untuk menjatuhkan Czar Rusia dengan cara terus menerus memunculkan isu-isu negatif," kata Widjajanto.
Mantan sekretaris kabinet ini, menyebutkan, evolusi paling mutakhir dari modus operandi ini muncul di beberapa pemilihan umum seperti Amerika Serikat, Brazil, dan Brexit.
Dalam tarung Pemilu Amerika Serikat antara Donald Trump melawan Hillary Clinton, strategi semburan fitnah mencapai puncaknya. Ada pelibatan konsultan politik, Roger Stone, yang jago menebar kampanye negatif yang sangat ofensif melalui tiga taktik, yaitu serang, serang, serang.
Pengamat pertahanan dari Universitas Indonesia ini menjelaskan, ada terabasan data pribadi melalui algoritma Cambridge Analytica. Ada juga indikasi gelar pasukan siber dengan kode topi hitam atau bintang emas yang menggunakan kecerdasan buatan untuk menggelar bots yang mampu memainkan operasi tagar secara masif.
Menurut dia, operasi Semburan Fitnah bertujuan membuat dusta mengalahkan kebenaran.
"Operasi ini ingin menghancurkan kepercayaan publik ke otoritas politik, termasuk media. Operasi Semburan Fitnah akan merusak demokrasi, karena itu harus dihancurkan," kata dia.
Ia menambahkan, cara paling efektif untuk menghancurkan Operasi Semburan Fitnah adalah menelanjangi bagaimana operasi ini dilakukan dan mengintervensi media untuk mematikan taktik yang dipakai.
Istilah propaganda Rusia ini menjadi polemik di media masa dan dunia maya setelah diucapkan Jokowi, di Surabaya, Sabtu, 2 Februari 2019. Istilah itu, menurut Jokowi, merujuk pada cara-cara berpolitik yang dilakukan dengan cara menyampaikan dusta, fitnah, dan hoax.
"Cara-cara politik seperti ini harus diakhiri, menyampaikan semburan dusta, semburan fitnah, semburan hoaks, teori propaganda Rusia yang kalau nanti tidak benar lalu minta maaf, tapi besoknya keluar lagi pernyataan seperti itu lalu minta maaf lagi," kata Jokowi, di Kantor Redaksi Jawa Pos, Graha Pena, Surabaya, Sabtu itu.
Karena nama negaranya disebut-sebut sedemikian rupa, tidak pelak Kedutaan Besar Rusia di Jakarta membantah hal itu melalui cuitan twitter-nya.
Baca juga: Rusia tegaskan tidak campuri Pemilu Indonesia
Propaganda Rusia yang dimaksud dalam ucapan di depan publik itu adalah teknik firehose of falsehood atau selang pemadam kebakaran atas kekeliruan yang dimunculkan oleh lembaga konsultasi politik Amerika Serikat Rand Corporation pada 2016.
Rand Corporation menganalisis mengenai cara berpolitik mengunakan teknik kebohongan yang diproduksi secara masif dan simultan melalui media-media pemberitaan yang mereka miliki.
"Saya kira tidak bisa cara-cara seperti ini diteruskan dalam pemilihan gubernur, pemilihan bupati, pemilihan presiden. Kita ingin mengedukasi masyarakat, memberikan pelajaran yang baik, sopan santun di politik itu ada dan saya rasa media memegang peran sangat penting dalam hal ini," kata Jokowi.
Apalagi semburan hoaks dan propaganda Rusia itu diulang-ulang berkali-kali dalam kontestasi pemilihan kepala daerah maupun pemilihan presiden. Meski begitu hal tersebut dilihat Jokowi sebagai proses yang mendewasakan masyarakat.
Ketua Tim Cakra 19, Dr Andi Widjajanto, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Selasa, mengatakan, operasi ini digunakan Rusia antara 2012-2017 dalam krisis Semenanjung Crimea, konflik Ukraina, dan perang sipil di Suriah.
Hasilnya, lanjut dia, muncul ketidakpercayaan masif dari rakyat Rusia terhadap sistem politik yang kemudian dikapitalisasi Lenin saat Revolusi Oktober 1917.
"Di Rusia, modus operandi ini sudah muncul di dekade 1870-an melalui Gerakan Narodniki. Gerakan ini dulu dilakukan untuk menjatuhkan Czar Rusia dengan cara terus menerus memunculkan isu-isu negatif," kata Widjajanto.
Mantan sekretaris kabinet ini, menyebutkan, evolusi paling mutakhir dari modus operandi ini muncul di beberapa pemilihan umum seperti Amerika Serikat, Brazil, dan Brexit.
Dalam tarung Pemilu Amerika Serikat antara Donald Trump melawan Hillary Clinton, strategi semburan fitnah mencapai puncaknya. Ada pelibatan konsultan politik, Roger Stone, yang jago menebar kampanye negatif yang sangat ofensif melalui tiga taktik, yaitu serang, serang, serang.
Pengamat pertahanan dari Universitas Indonesia ini menjelaskan, ada terabasan data pribadi melalui algoritma Cambridge Analytica. Ada juga indikasi gelar pasukan siber dengan kode topi hitam atau bintang emas yang menggunakan kecerdasan buatan untuk menggelar bots yang mampu memainkan operasi tagar secara masif.
Menurut dia, operasi Semburan Fitnah bertujuan membuat dusta mengalahkan kebenaran.
"Operasi ini ingin menghancurkan kepercayaan publik ke otoritas politik, termasuk media. Operasi Semburan Fitnah akan merusak demokrasi, karena itu harus dihancurkan," kata dia.
Ia menambahkan, cara paling efektif untuk menghancurkan Operasi Semburan Fitnah adalah menelanjangi bagaimana operasi ini dilakukan dan mengintervensi media untuk mematikan taktik yang dipakai.
Istilah propaganda Rusia ini menjadi polemik di media masa dan dunia maya setelah diucapkan Jokowi, di Surabaya, Sabtu, 2 Februari 2019. Istilah itu, menurut Jokowi, merujuk pada cara-cara berpolitik yang dilakukan dengan cara menyampaikan dusta, fitnah, dan hoax.
"Cara-cara politik seperti ini harus diakhiri, menyampaikan semburan dusta, semburan fitnah, semburan hoaks, teori propaganda Rusia yang kalau nanti tidak benar lalu minta maaf, tapi besoknya keluar lagi pernyataan seperti itu lalu minta maaf lagi," kata Jokowi, di Kantor Redaksi Jawa Pos, Graha Pena, Surabaya, Sabtu itu.
Karena nama negaranya disebut-sebut sedemikian rupa, tidak pelak Kedutaan Besar Rusia di Jakarta membantah hal itu melalui cuitan twitter-nya.
Baca juga: Rusia tegaskan tidak campuri Pemilu Indonesia
Propaganda Rusia yang dimaksud dalam ucapan di depan publik itu adalah teknik firehose of falsehood atau selang pemadam kebakaran atas kekeliruan yang dimunculkan oleh lembaga konsultasi politik Amerika Serikat Rand Corporation pada 2016.
Rand Corporation menganalisis mengenai cara berpolitik mengunakan teknik kebohongan yang diproduksi secara masif dan simultan melalui media-media pemberitaan yang mereka miliki.
"Saya kira tidak bisa cara-cara seperti ini diteruskan dalam pemilihan gubernur, pemilihan bupati, pemilihan presiden. Kita ingin mengedukasi masyarakat, memberikan pelajaran yang baik, sopan santun di politik itu ada dan saya rasa media memegang peran sangat penting dalam hal ini," kata Jokowi.
Apalagi semburan hoaks dan propaganda Rusia itu diulang-ulang berkali-kali dalam kontestasi pemilihan kepala daerah maupun pemilihan presiden. Meski begitu hal tersebut dilihat Jokowi sebagai proses yang mendewasakan masyarakat.
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019