Akademisi sebut kepala daerah kerap "dibayang-bayangi" kebijakan partai

Ini kata KPU DKI bagi pemilih sebelum ke TPS pada Rabu
Akademisi dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Prof Dr Nurliah Nurdin, MA saat menyampaikan orasi pada pengukuhannya sebagai guru besar ilmu politik IPDN dengan judul 'Paradoks Sentralisasi Politik dan Desentralisasi Pemerintahan: Membangun Demokrasi yang Mensejahterakan' di Jakarta, Senin (28/1/2019) ANTARA/Zita Meirina
Jakarta (ANTARA News) - Akademisi dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Prof Dr Nurliah Nurdin, MA menyatakan kewenangan kepala daerah belum sepenuhnya dijalankan untuk kesejahteraan rakyatnya karena kebijakan yang dikeluarkan kerap 'dibayang-bayangi' oleh kebijakan dari pimpinan partai pusat.

"Sistem partai politik yang masih sentralistik menyebabkan kesejahteraan masyarakat masih jauh dari harapan karena kepala daerah tetap akan lebih loyal kepada pimpinan partai," kata Nurliah usai orasi pengukuhannya sebagai guru besar ilmu politik   IPDN dengan judul 'Paradoks Sentralisasi Politik dan Desentralisasi Pemerintahan: Membangun Demokrasi yang Mensejahterakan' di Jakarta, Senin.

Desentralisasi pemerintahan sudah berjalan 20 tahun, tapi sayangnya desentralisasi politik tidak berjalan beriring bahkan cenderung menjadi paradoks dengan desentralisasi pemerintahan, katanya. 

Menurut dia, desentralisasi pemerintahan bertujuan untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat lokal. Dengan kata lain, wadah desentralisasi politik, yaitu partai politik, juga perlu melakukan desentralisasi kewenangan.

"Ini sangat paradoks dengan janji-janji politik saat berkampanye. Jadi jangan heran kalau janji-janji saat berkampanye seringkali tidak dibuktikan karena saat menjadi kepala daerah kebijakan yang dikeluarkan bisa jadi bertentangan dengan kebijakan partai di tingkat pusat," ujar Doktor ilmu politik jebolan Universitas Indonesia itu.

Padahal, katanya, semestinya kalau sudah menjadi kepala daerah kendatipun dia berasal dari partai politik, lebih loyal kepada masyarakat atau konsituennya yaitu rakyat yang memilihnya yang memiliki harapan dapat mensejahterakan mereka dari berbagai layanan publik, seperti kesehatan, pendidikan, dan harga-harga sembako yang terjangkau.

Nurliah menyebutkan sentralisasi kebijakan parpol juga terlihat pada Pilkada 2015 yang mengalami dualisme kepengurusan parpol. Akhirnya, kader parpol justru maju mencalonkan diri melalui jalur independen. 

"Masalah sentralisasi parpol ini diperburuk dengan lemahnya kaderisasi parpol. Dalam pemilihan gubernur Jawa Timur, empat partai mengusung kandidat yang bukan kadernya sendiri. Hal sama pada pilkada Jawa Barat, parpol justru memilih calon bukan kader partai dan meninggalkan kadernya sendiri," ujarnya.

Dosen IPDN itu menambahkan, banyak faktor yang menyebabkan parpol masih sangat tersentralisasi dalam penentuan bakal calon kepala daerah yaitu selain untuk menjaga platform dan program parpol, tapi lebih berat pada popularitas, kemampuan finansial dan elektabilitas calon.

"Jika parpol ingin bertahan di tengah masyarakat yang semakin menuntut pelayanan cepat, maka parpol harus kembali menjadi organisasi publik yang hadir setiap saat rakyat membutuhkan permasalahan di masyarakat  diangkat ke dewan atau kepada daerah, seperti masalah kesehatan, pendidikan, narkoba, pelecehan anak, LGBT, sembako dan lainnya," kata Nurliah.
 

Baca juga: Kemendagri upayakan pembatasan jabatan kepala daerah
Baca juga: PDI Perjuangan klaim miliki 326 kepala daerah
Pewarta:
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019
Partai politik anggota KIK konsolidasi pemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin di Jawa Timur Sebelumnya

Partai politik anggota KIK konsolidasi pemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin di Jawa Timur

KPU Kabupaten Boyolali fasilitasi pengguna kursi roda di simulasi pemungutan suara Pilkada 2024 Selanjutnya

KPU Kabupaten Boyolali fasilitasi pengguna kursi roda di simulasi pemungutan suara Pilkada 2024