Jakarta (ANTARA News) - Pemilih perempuan diminta untuk rasional dan berani memilih calon legislatif (caleg) yang kompeten dan memiliki keberpihakan nyata untuk memperjuangkan kepentingan perempuan dan anak.
"Perempuan Indonesia jangan memilih calon legislator dan pejabat publik yang hati dan pikirannya mati terhadap berbagai persoalan perempuan dan anak di Indonesia," kata
Koordinator Kajian Perempuan-Jaringan Milenial Anti-Korupsi dan Anti-Intoleransi (JARING MILEA) Steffi Graf Gabi di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan sampai saat ini masih banyak agenda dan hal penting terkait kepentingan perempuan dan anak yang harus diperjuangkan, termasuk dalam lembaga politik melalui pemilihan umum.
Oleh karena itu, pihaknya mengajak seluruh perempuan Indonesia untuk tidak diam dengan kepentingannya, jangan apatis apalagi pragmatis.
"Sebaliknya, harus aktif dan siap menjadi pemilih cerdas pada Pemilu April 2019," katanya.
Komnas Perempuan mencatat ada 348.446 kasus kekerasan yang dialami perempuan (Catahu, 2018), pelanggaran hak anak 4.885 kasus (KPAI, 2018), eksploitasi terhadap perempuan di tempat kerja, pemenuhan Hak Cuti Haid (Pasal 81 UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan), Hak Menyusui (Pasal 83 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan) dan Hak Bayi (Pasal 28 UU No 39 Tahun 2009 Tentang Kesehatan) yang belum sepenuhnya direalisasikan.
Selain itu masih terjadi diskriminasi regulasi terhadap batas usia perkawinan untuk perempuan terkait usia relatif muda yakni 16 tahun (UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan), dan terakhir adanya perlakuan tidak adil terhadap perempuan pekerja migran.
"Ini menunjukkan bahwa negara, khususnya melalui lembaga legislatif belum serius menyikapi persoalan yang kerap dihadapi perempuan dan anak," katanya.
Perempuan dan anak kata dia, memiliki hak untuk hidup nyaman dan aman tanpa kekerasan dan diskriminasi, yang semestinya menjadi perhatian dan diperjuangkan oleh anggota legislatif.
"Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah salah satu solusi struktural guna pencegahan terhadap kekerasan seksual," katanya.
Selain juga untuk menegaskan realisasi pemenuhan hak buruh perempuan oleh seluruh pemberi kerja/perusahaan, termasuk perlunya segera merevisi UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Ia menilai keengganan anggota dewan untuk mengesahkan RUU, termasuk RUU yang berkaitan dengan perlindungan perempuan adalah sikap koruptif yang mendarah-daging.
"Sikap koruptif ini yang kemudian menjadi fenomena intoleran yang terstruktur terhadap kepentingan perempuan. Kepentingan perempuan masih dianggap ornamen pelengkap perundang-undangan, dan bukan hal urgen," katanya.
"Perempuan Indonesia jangan memilih calon legislator dan pejabat publik yang hati dan pikirannya mati terhadap berbagai persoalan perempuan dan anak di Indonesia," kata
Koordinator Kajian Perempuan-Jaringan Milenial Anti-Korupsi dan Anti-Intoleransi (JARING MILEA) Steffi Graf Gabi di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan sampai saat ini masih banyak agenda dan hal penting terkait kepentingan perempuan dan anak yang harus diperjuangkan, termasuk dalam lembaga politik melalui pemilihan umum.
Oleh karena itu, pihaknya mengajak seluruh perempuan Indonesia untuk tidak diam dengan kepentingannya, jangan apatis apalagi pragmatis.
"Sebaliknya, harus aktif dan siap menjadi pemilih cerdas pada Pemilu April 2019," katanya.
Komnas Perempuan mencatat ada 348.446 kasus kekerasan yang dialami perempuan (Catahu, 2018), pelanggaran hak anak 4.885 kasus (KPAI, 2018), eksploitasi terhadap perempuan di tempat kerja, pemenuhan Hak Cuti Haid (Pasal 81 UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan), Hak Menyusui (Pasal 83 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan) dan Hak Bayi (Pasal 28 UU No 39 Tahun 2009 Tentang Kesehatan) yang belum sepenuhnya direalisasikan.
Selain itu masih terjadi diskriminasi regulasi terhadap batas usia perkawinan untuk perempuan terkait usia relatif muda yakni 16 tahun (UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan), dan terakhir adanya perlakuan tidak adil terhadap perempuan pekerja migran.
"Ini menunjukkan bahwa negara, khususnya melalui lembaga legislatif belum serius menyikapi persoalan yang kerap dihadapi perempuan dan anak," katanya.
Perempuan dan anak kata dia, memiliki hak untuk hidup nyaman dan aman tanpa kekerasan dan diskriminasi, yang semestinya menjadi perhatian dan diperjuangkan oleh anggota legislatif.
"Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah salah satu solusi struktural guna pencegahan terhadap kekerasan seksual," katanya.
Selain juga untuk menegaskan realisasi pemenuhan hak buruh perempuan oleh seluruh pemberi kerja/perusahaan, termasuk perlunya segera merevisi UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Ia menilai keengganan anggota dewan untuk mengesahkan RUU, termasuk RUU yang berkaitan dengan perlindungan perempuan adalah sikap koruptif yang mendarah-daging.
"Sikap koruptif ini yang kemudian menjadi fenomena intoleran yang terstruktur terhadap kepentingan perempuan. Kepentingan perempuan masih dianggap ornamen pelengkap perundang-undangan, dan bukan hal urgen," katanya.
Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019