Jakarta (ANTARA News) - Debat putaran pertama antarcalon presiden dan wakil presiden pada pemilihan Presiden 2019 akan digelar oleh Komisi Pemilihan Umum pada 17 Januari 2019 dengan tema hukum, korupsi, hak asasi manusia, dan terorisme.
KPU juga mengeluarkan keputusan atas kesepakatan bersama tim sukses kedua pasangan calon untuk menyediakan satu segmen yang menerapkan pertanyaan tertutup dan bersifat rahasia.
Sementara dalam segmen terbuka, pertanyaan yang akan diberikan dibatasi dengan tidak membahas kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi secara lebih spesifik.
Kesepakatan yang membentuk format tersebut kemudian memunculkan kritik yang cukup pedas dari berbagai pihak, khususnya para aktivis hukum dan hak asasi manusia.
Sebagian besar aktivis hukum merasa kesepakatan tersebut tidak akan memuaskan masyarakat Indonesia yang ingin mendapatkan jawaban atas kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia dan kasus korupsi yang belum terselesaikan.
Aktivis hukum dan hak asasi manusia Usman Hamid misalnya, dia berpendapat kesepakatan untuk membatasi pembahasan kasus hak asasi manusia dalam debat capres putaran pertama adalah hal yang menyimpang dari amanat reformasi.
Usman yang saat ini menjabat sebagai Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII) berpendapat kesepakatan dalam debat capres putaran pertama itu jelas menyimpang dan keliru bila dipandang dari segi tata negara.
Perumusan amandemen, Ketetapan MPR, hingga undang-undang mewajibkan negara, badan peradilan, maupun badan legislatif untuk menyelesaikan seluruh perkara hak asasi manusia baik yang terjadi di masa lalu, maupun yang berpotensi terjadi di masa yang akan datang.
Indonesia dikatakan Usman membutuhkan pemimpin yang bisa menjalankan amanat reformasi, bukan pemimpin atau kekuatan politik yang sejak awal sudah menyepakati untuk tidak menyentuh masalah kasus pelanggaran berat hak asasi manusia dalam debat capres putaran pertama.
"Padahal hak asasi manusia adalah persoalan fundamental, dan kesepakatan itu menyimpang dari garis bernegara," tambah Usman.
Kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi manusia berat di masa lalu dan yang juga berpotensi terjadi di masa depan, adalah perkara nyata yang tidak hanya membutuhkan pernyataan retorika dan hanya tertulis untuk menyampaikan visi dan misi.
Oleh sebab itu Usman berpendapat pembahasan kasus-kasus spesifik pelanggaran hak asasi manusia ini tentu dibutuhkan, untuk memperlihatkan kemampuan menyampaikan sekaligus menunjukkan bahwa paslon mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.
"Kecuali kalau kita mau menempatkan pemilihan ini di dalam konteks mengembalikan kehidupan politik Indonesia tanpa menempatkan HAM sebagai fundamen dasar, ini tentu menyimpang pasal-pasal dalam UUD 1945 yang begitu banyak membahas tentang HAM," kata Usman.
Usman mengingatkan bahwa Indonesia pernah memiliki pemimpin yang dilantik tanpa melalui proses pemilihan langsung dan melakukan banyak pelanggaran hak asasi manusia.
Inilah yang menjadi landasan filosofis kenapa Indonesia harus menempuh mekanisme pemilihan langsung.
"Agar terlahir seorang pemimpin yang memiliki visi atas hak asasi manusia dan memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah hak asasi manusa dan korupsi yang saling terkait, dan pemilih bisa menilainya melalui debat capres," kata Usman.
Kesepakatan untuk membatasi pembahasan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia secara spesifik, Usman berpendapat hal itu seolah-olah menunjukkan kasus-kasus tersebut akan terus diabaikan dan dikhawatirkan tidak ada penyelesaiannya.
Kekhawatiran serupa juga diungkapkan oleh Kepala Bidang Advokasi untuk Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Putri Kanesia.
Putri sangat menyayangkan tema hak asasi manusia yang diharapkan akan dikupas secara tuntas dalam debat capres nanti, justru dibatasi dengan tidak membahas kasus-kasus yang spesifik.
Kesepakatan dalam debat capres putaran pertama tersebut dikatakan Putri seperti menunjukkan kurangnya kepedulian kedua pasangan calon terhadap persoalan hak asasi manusia yang melekat di setiap aspek kehidupan manusia.
Putri khawatir kurangnya perhatian kedua pasangan calon atas persoalan hak asasi manusia, akan menjadikan kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lalu tidak akan menemui titik terang, bahkan akan terus bermunculan kasus serupa.
"Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, kasus kekerasan terhadap aktivis hak asasi manusia dan pegiat hukum masih banyak terjadi, kami khawatir kedua paslon juga tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan itu," kata Putri.
Bukan "TV Show"
Pakar Hukum dari Pusat Studi Konstitusi (Pusako) FH Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan debat capres cawapres memiliki fungsi untuk menggali kapasitas paslon dalam mengurai permasalahan, sehingga masyarakat dapat menilai kemampuan dan akuntabilitas para calon.
Namun, dengan adanya kesepakatan sejak awal dan pemberian kisi-kisi pertanyaan jauh-jauh hari sebelum debat digelar, Feri mengkhawatirkan debat capres akan menyerupai acara televisi (TV show) karena seolah-olah sudah memiliki skenario.
Masyarakat mengharapkan para paslon dapat menjawab permasalahan pelanggaran HAM dan korupsi, namun justru permasalahan ini yang dibatasi.
Dengan adanya pembahasan kasus yang dibatasi, Feri menilai akan menyebabkan publik atau calon pemilih tidak dapat melihat secara komprehensif bagaimana kapasitas para capres dalam menilai suatu masalah.
Feri kemudian mengatakan pengaturan atau format debat yang digagas sedemikian rupa pada akhirnya hanya untuk memuaskan paslon, bukan untuk memuaskan penonton yang notabene adalah masyarakat Indonesia, yang menginginkan jawaban konkret atas perkara korupsi dan HAM.
"Jadi ini seperti sia-sia kalau semua sudah diatur, kasus-kasus spesifik tidak boleh dibahas, ini sangat aneh," pungkas Feri.
Setiap pasangan calon tentu diperbolehkan memiliki visi dan misi yang spesifik dan variatif, namun tidak boleh keluar dari fundamental dasar dalam berbangsa dan bernegara yang salah satunya adalah hak asasi manusia dan pemberantasan korupsi.*
Baca juga: Generasi milenial tak suka retorika panjang dalam debat capres
Baca juga: DPR harapkan debat publik berikan tontonan menarik
KPU juga mengeluarkan keputusan atas kesepakatan bersama tim sukses kedua pasangan calon untuk menyediakan satu segmen yang menerapkan pertanyaan tertutup dan bersifat rahasia.
Sementara dalam segmen terbuka, pertanyaan yang akan diberikan dibatasi dengan tidak membahas kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi secara lebih spesifik.
Kesepakatan yang membentuk format tersebut kemudian memunculkan kritik yang cukup pedas dari berbagai pihak, khususnya para aktivis hukum dan hak asasi manusia.
Sebagian besar aktivis hukum merasa kesepakatan tersebut tidak akan memuaskan masyarakat Indonesia yang ingin mendapatkan jawaban atas kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia dan kasus korupsi yang belum terselesaikan.
Aktivis hukum dan hak asasi manusia Usman Hamid misalnya, dia berpendapat kesepakatan untuk membatasi pembahasan kasus hak asasi manusia dalam debat capres putaran pertama adalah hal yang menyimpang dari amanat reformasi.
Usman yang saat ini menjabat sebagai Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII) berpendapat kesepakatan dalam debat capres putaran pertama itu jelas menyimpang dan keliru bila dipandang dari segi tata negara.
Perumusan amandemen, Ketetapan MPR, hingga undang-undang mewajibkan negara, badan peradilan, maupun badan legislatif untuk menyelesaikan seluruh perkara hak asasi manusia baik yang terjadi di masa lalu, maupun yang berpotensi terjadi di masa yang akan datang.
Indonesia dikatakan Usman membutuhkan pemimpin yang bisa menjalankan amanat reformasi, bukan pemimpin atau kekuatan politik yang sejak awal sudah menyepakati untuk tidak menyentuh masalah kasus pelanggaran berat hak asasi manusia dalam debat capres putaran pertama.
"Padahal hak asasi manusia adalah persoalan fundamental, dan kesepakatan itu menyimpang dari garis bernegara," tambah Usman.
Kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi manusia berat di masa lalu dan yang juga berpotensi terjadi di masa depan, adalah perkara nyata yang tidak hanya membutuhkan pernyataan retorika dan hanya tertulis untuk menyampaikan visi dan misi.
Oleh sebab itu Usman berpendapat pembahasan kasus-kasus spesifik pelanggaran hak asasi manusia ini tentu dibutuhkan, untuk memperlihatkan kemampuan menyampaikan sekaligus menunjukkan bahwa paslon mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.
"Kecuali kalau kita mau menempatkan pemilihan ini di dalam konteks mengembalikan kehidupan politik Indonesia tanpa menempatkan HAM sebagai fundamen dasar, ini tentu menyimpang pasal-pasal dalam UUD 1945 yang begitu banyak membahas tentang HAM," kata Usman.
Usman mengingatkan bahwa Indonesia pernah memiliki pemimpin yang dilantik tanpa melalui proses pemilihan langsung dan melakukan banyak pelanggaran hak asasi manusia.
Inilah yang menjadi landasan filosofis kenapa Indonesia harus menempuh mekanisme pemilihan langsung.
"Agar terlahir seorang pemimpin yang memiliki visi atas hak asasi manusia dan memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah hak asasi manusa dan korupsi yang saling terkait, dan pemilih bisa menilainya melalui debat capres," kata Usman.
Kesepakatan untuk membatasi pembahasan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia secara spesifik, Usman berpendapat hal itu seolah-olah menunjukkan kasus-kasus tersebut akan terus diabaikan dan dikhawatirkan tidak ada penyelesaiannya.
Kekhawatiran serupa juga diungkapkan oleh Kepala Bidang Advokasi untuk Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Putri Kanesia.
Putri sangat menyayangkan tema hak asasi manusia yang diharapkan akan dikupas secara tuntas dalam debat capres nanti, justru dibatasi dengan tidak membahas kasus-kasus yang spesifik.
Kesepakatan dalam debat capres putaran pertama tersebut dikatakan Putri seperti menunjukkan kurangnya kepedulian kedua pasangan calon terhadap persoalan hak asasi manusia yang melekat di setiap aspek kehidupan manusia.
Putri khawatir kurangnya perhatian kedua pasangan calon atas persoalan hak asasi manusia, akan menjadikan kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lalu tidak akan menemui titik terang, bahkan akan terus bermunculan kasus serupa.
"Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, kasus kekerasan terhadap aktivis hak asasi manusia dan pegiat hukum masih banyak terjadi, kami khawatir kedua paslon juga tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan itu," kata Putri.
Bukan "TV Show"
Pakar Hukum dari Pusat Studi Konstitusi (Pusako) FH Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan debat capres cawapres memiliki fungsi untuk menggali kapasitas paslon dalam mengurai permasalahan, sehingga masyarakat dapat menilai kemampuan dan akuntabilitas para calon.
Namun, dengan adanya kesepakatan sejak awal dan pemberian kisi-kisi pertanyaan jauh-jauh hari sebelum debat digelar, Feri mengkhawatirkan debat capres akan menyerupai acara televisi (TV show) karena seolah-olah sudah memiliki skenario.
Masyarakat mengharapkan para paslon dapat menjawab permasalahan pelanggaran HAM dan korupsi, namun justru permasalahan ini yang dibatasi.
Dengan adanya pembahasan kasus yang dibatasi, Feri menilai akan menyebabkan publik atau calon pemilih tidak dapat melihat secara komprehensif bagaimana kapasitas para capres dalam menilai suatu masalah.
Feri kemudian mengatakan pengaturan atau format debat yang digagas sedemikian rupa pada akhirnya hanya untuk memuaskan paslon, bukan untuk memuaskan penonton yang notabene adalah masyarakat Indonesia, yang menginginkan jawaban konkret atas perkara korupsi dan HAM.
"Jadi ini seperti sia-sia kalau semua sudah diatur, kasus-kasus spesifik tidak boleh dibahas, ini sangat aneh," pungkas Feri.
Setiap pasangan calon tentu diperbolehkan memiliki visi dan misi yang spesifik dan variatif, namun tidak boleh keluar dari fundamental dasar dalam berbangsa dan bernegara yang salah satunya adalah hak asasi manusia dan pemberantasan korupsi.*
Baca juga: Generasi milenial tak suka retorika panjang dalam debat capres
Baca juga: DPR harapkan debat publik berikan tontonan menarik
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019