Oleh Suryanto SSos MSi *)
Memasuki bulan ke-4 kampanye pemilihan umum anggota legislatif dan Pemilu Presiden 2019 situasi politik makin memanas, terjadi saling serang antarkandidat, antartimses, bahkan antarmedia pendukung masing-masing pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Politik adalah sebuah persaingan, bahkan pertarungan perebutan kekuasaan sehingga sudah pasti ada yang kalah dan menang. Untuk tujuan itulah pasti ada upaya-upaya menjatuhkan lawan melalui berbagai cara, baik dari mengungkap aib atau keburukan pribadi, fitnah, menebar kebencian, mengembuskan isu-isu SARA, maupun membuat isu tidak benar (kebohongan/hoaks) mengenai pribadi lawan politik.
Hal ini tentunya akan membuat Indonesia mengalami ketidaksehatan politik yang menyebabkan konflik, bahkan pertikaian antarpendukung. Pada situasi tertentu, jika kondisi ini dibiarkan berlanjut, akan terjadi pembusukan demokrasi di Indonesia.
Tentu saja hal ini tidak diinginkan oleh bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang besar seharusnya kita sadar bahwa politik tidak boleh merusak persatuan dan perdamaian. Oleh karena itu, sebagai warga negara Indonesia yang baik, kita harus bertekad menjaga persatuan dan perdamaian walaupun pada tahun politik seperti sekarang ini.
Maraknya peredaran berita bohong (hoaks) tidak dapat dilepaskan dari orang atau pihak yang bertindak sebagai pembuat atau penyebar hoaks itu. Hoaks tidak bisa dilihat sebagai tersendiri, terisolasi dari hal-hal lainnya, tetapi ia hidup dalam ruang politik tertentu.
Hoaks dibuat untuk tujuan lebih besar daripada sekadar merekayasa berita. Hoaks adalah alat propaganda dan agitasi politik. Ini adalah upaya untuk mematikan demokrasi.
Mari sejenak menengok temuan riset Cherian George dalam buku yang telah diterjemahkan dalam buku "Pelintiran Kebencian: Rekayasa Ketersinggungan Agama dan Ancamannya bagi Demokrasi" (2017). George membedakan antara ujaran kebencian (hate speech) dan pelintiran kebencian (hate spin) yang sama-sama sebagai ancaman demokrasi. Keduanya sama-sama berkaitan dengan kebencian. Jika ujaran kebencian menyerang pihak lain secara langsung, pelintiran kebencian menggabungkan ujaran kebencian dengan akibat ketersinggungan dan kemarahan.
Pada ujaran kebencian, dengan atau tanpa hoaks, si pengujar akan dengan terang-terangan mengajak untuk menghakimi atau merusak pihak yang dibenci. Contoh paling gamblang adalah ajakan pemuka agama untuk menjelek-jelekkan atau menista mereka yang dianggap berseberangan. Ajakan tersebut berbentuk ajakan langsung menghasut atas nama kebencian kepada pihak lain.
Hasutan dan Keterhasutan
Sementara itu, pelintiran kebencian tidak secara langsung mengajak massa menyerang pihak lain. Pelintiran kebencian memerlukan dua sisi: sisi hasutan dan sisi keterhasutan. Agar bisa menghasut, pemelintir perlu isu. Namanya hasutan, isu yang diangkat mesti perkara yang tidak jelas atau bila perlu bohong. Dalam konteks ini, berita palsu (hoaks) adalah pesan paling pas untuk menghasut.
Ketika hasutan melalui hoaks sudah sampai ke tengah masyarakat, pada gilirannya akan menimbulkan kemarahan, alias mereka terhasut. Makin banyak orang terhasut, makin berhasil ia sebagai pemelintir kebencian. Dengan demikian, makin besar pula peluang mereka memobilisasi untuk gerakan massa yang lebih luas.
Penyebaran berita atau informasi hoaks, dan juga isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) menjadi isu berbahaya, terutama memasuki tahun politik menjelang Pemilu 2019. Pertarungan politik nasional beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa hoaks telah menjadi senjata efektif dalam mencapai kepentingan politik tertentu. Selain itu, sebagai alat untuk memengaruhi masyarakat yang tingkat literasinya rendah.
Penyebaran berita bohong, fitnah, ujaran kebencian makin menunjukkan pengaruh dan efek negatif bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Terlebih, berita bohong atau fitnah yang menyebar, kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan politik maupun ekonomi tertentu dari pihak yang menghendaki kerusakan dalam tatanan hidup bermasyarakat demi syahwat politiknya.
Beredarnya isu SARA, berita bohong, palsu, fitnah, ujaran kebencian di wilayah politik seperti sekarang ini, kemudian dikonsumsi sehari-hari masyarakat, telah dianggap sebagai suatu kebenaran. Sementara itu, masyarakat juga tidak memiliki pengetahuan dan sumber yang cukup untuk membedakan informasi atau berita yang diperolehnya benar atau salah.
Akbatnya, masyarakat akan mengambil keputusan yang tidak tepat sebagai akibat dari beredarnya berita bohong tersebut dan ini akan berakibat fatal bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah yang kemudian disebut sebagai perkembangan politik pembusukan demokrasi, dan sudah pasti terjadi, terutama pada masa pemilu presiden.
Ruang lingkup demokrasi memberikan kepada manusia kebebasan berpendapat, menilai, dan menentukan pilihan disertai tanggung jawab dan risiko politik, baik secara struktural politik maupun kultural.
Tanggung jawab risiko kultural politik ialah pemilih akan mendapatkan manusia dipilih yang akan mengeluarkan program kebijakan sesuai dengan kapasitas dan kualitas pemilih dan yang dipilihnya.
Tanggung jawab politik adalah manusia akan berada di lingkaran pejabat akan memproduksi (mengeluarkan) keputusan kebijakan yang kualitas dan tidaknya sesuai dengan kebutuhan rakyat keseluruhan.
Dengan adanya politik pembusukan akan menghadirkan manusia yang dipilih menjadi tidak ideal dalam percaturan politik. Idealnya persaingan dan pertarungan politik harus menggunakan cara-cara "fair play" dan membuka perilaku manusia dalam ruang sosial secara objetif, kejujuran data dan fakta. Di sisi lain, politik pembusukan akan meningkatkan konflik antara kelompok yang pernah melakukan dosa politik berada lingkaran suprastuktur politik dan infrastruktur politik yang telah nyaman hingga aktualisasi diri dalam status quo.
Hoaks, dengan demikian, adalah unsur yang merusak. Alih-alih memperkuat, demokrasi, keterlibatan warga negara untuk turut memantau pemerintah dengan cara propaganda politik melalui menyebarkan berita bohong tidak memberi manfaat apa-apa.
Hoaks justru memperburuk hubungan antara warga dan pemerintah karena materi yang menghubungkan keduanya kebohongan, fitnah, SARA, alias berita yang dibuat-buat.
Media Bersikap Netral
Di sisi ini, peran media massa harus bersikap dan bersifat netral dalam pemberitaan dan opini publik di ruang lingkup publik. Hal ini supaya nilai-nilai pilar demokrasi tetap terjaga.
Bukan berpihak pada pemilik media, pemilik modal, dan "framing" ideologi tertentu, melainkan menghargai dan menghormati Kebinekaan Tunggal Ika berbangsa dan bernegara.
Tidak hanya itu, media massa harus menampilkan realitas objektif, bukan realitas semu yang bertentangan dengan perilaku manusia. Sesungguhnya yang demikian itu akan menghasilkan manusia karbitan menghambat pembangunan demokrasi.
Jika hal demikian itu terus dilakukan, media massa telah melakukan pendidikan politik dan komunikasi politik yang salah arah, bahkan bisa dikatakan kegagalan media massa sebagai pilar demokrasi. Padahal, media massa sangat besar perannya dalam mendidik rakyat dan membangun demokrasi. Hal-hal ditampilkan realitas semu merupakan ketidakmurnian doktrin ideologi, kebodohan intelektual, ketidakadilan, tirani, pengkhianatan, kebohongan, dan bahkan dipakai untuk agitasi makar terhadap pemerintah yang berdaulat.
Akibat dari pembusukan demokrasi ini adalah terpilihnya para politikus yang buruk moralnya, perilaku korup masif di semua lini, baik di legeslatif, eksukutif, dan yudikatif (suprastruktur politik), bahkan juga di wilayah infrastruktur politik.
Tidak kalah fenomenal adalah masif adanya peraturan/undang-undang yang dibuat berdasarkan transaksional, bukan berdasarkan pertimbangan kepentingan publik, tatapi kepentingan golongan/kelompok tertentu yang sudah pasti merugikan masyarakat. Inilah pembusukan demokrasi yang sudah dan sedang terjadi di negeri ini, entah sampai kapan?
*) Penulis adalah Staf Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang
Baca juga: Megawati instruksikan kader tidak melawan informasi hoaks
Baca juga: Moeldoko: Relawan jangan sebarkan informasi hoaks
Memasuki bulan ke-4 kampanye pemilihan umum anggota legislatif dan Pemilu Presiden 2019 situasi politik makin memanas, terjadi saling serang antarkandidat, antartimses, bahkan antarmedia pendukung masing-masing pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Politik adalah sebuah persaingan, bahkan pertarungan perebutan kekuasaan sehingga sudah pasti ada yang kalah dan menang. Untuk tujuan itulah pasti ada upaya-upaya menjatuhkan lawan melalui berbagai cara, baik dari mengungkap aib atau keburukan pribadi, fitnah, menebar kebencian, mengembuskan isu-isu SARA, maupun membuat isu tidak benar (kebohongan/hoaks) mengenai pribadi lawan politik.
Hal ini tentunya akan membuat Indonesia mengalami ketidaksehatan politik yang menyebabkan konflik, bahkan pertikaian antarpendukung. Pada situasi tertentu, jika kondisi ini dibiarkan berlanjut, akan terjadi pembusukan demokrasi di Indonesia.
Tentu saja hal ini tidak diinginkan oleh bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang besar seharusnya kita sadar bahwa politik tidak boleh merusak persatuan dan perdamaian. Oleh karena itu, sebagai warga negara Indonesia yang baik, kita harus bertekad menjaga persatuan dan perdamaian walaupun pada tahun politik seperti sekarang ini.
Maraknya peredaran berita bohong (hoaks) tidak dapat dilepaskan dari orang atau pihak yang bertindak sebagai pembuat atau penyebar hoaks itu. Hoaks tidak bisa dilihat sebagai tersendiri, terisolasi dari hal-hal lainnya, tetapi ia hidup dalam ruang politik tertentu.
Hoaks dibuat untuk tujuan lebih besar daripada sekadar merekayasa berita. Hoaks adalah alat propaganda dan agitasi politik. Ini adalah upaya untuk mematikan demokrasi.
Mari sejenak menengok temuan riset Cherian George dalam buku yang telah diterjemahkan dalam buku "Pelintiran Kebencian: Rekayasa Ketersinggungan Agama dan Ancamannya bagi Demokrasi" (2017). George membedakan antara ujaran kebencian (hate speech) dan pelintiran kebencian (hate spin) yang sama-sama sebagai ancaman demokrasi. Keduanya sama-sama berkaitan dengan kebencian. Jika ujaran kebencian menyerang pihak lain secara langsung, pelintiran kebencian menggabungkan ujaran kebencian dengan akibat ketersinggungan dan kemarahan.
Pada ujaran kebencian, dengan atau tanpa hoaks, si pengujar akan dengan terang-terangan mengajak untuk menghakimi atau merusak pihak yang dibenci. Contoh paling gamblang adalah ajakan pemuka agama untuk menjelek-jelekkan atau menista mereka yang dianggap berseberangan. Ajakan tersebut berbentuk ajakan langsung menghasut atas nama kebencian kepada pihak lain.
Hasutan dan Keterhasutan
Sementara itu, pelintiran kebencian tidak secara langsung mengajak massa menyerang pihak lain. Pelintiran kebencian memerlukan dua sisi: sisi hasutan dan sisi keterhasutan. Agar bisa menghasut, pemelintir perlu isu. Namanya hasutan, isu yang diangkat mesti perkara yang tidak jelas atau bila perlu bohong. Dalam konteks ini, berita palsu (hoaks) adalah pesan paling pas untuk menghasut.
Ketika hasutan melalui hoaks sudah sampai ke tengah masyarakat, pada gilirannya akan menimbulkan kemarahan, alias mereka terhasut. Makin banyak orang terhasut, makin berhasil ia sebagai pemelintir kebencian. Dengan demikian, makin besar pula peluang mereka memobilisasi untuk gerakan massa yang lebih luas.
Penyebaran berita atau informasi hoaks, dan juga isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) menjadi isu berbahaya, terutama memasuki tahun politik menjelang Pemilu 2019. Pertarungan politik nasional beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa hoaks telah menjadi senjata efektif dalam mencapai kepentingan politik tertentu. Selain itu, sebagai alat untuk memengaruhi masyarakat yang tingkat literasinya rendah.
Penyebaran berita bohong, fitnah, ujaran kebencian makin menunjukkan pengaruh dan efek negatif bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Terlebih, berita bohong atau fitnah yang menyebar, kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan politik maupun ekonomi tertentu dari pihak yang menghendaki kerusakan dalam tatanan hidup bermasyarakat demi syahwat politiknya.
Beredarnya isu SARA, berita bohong, palsu, fitnah, ujaran kebencian di wilayah politik seperti sekarang ini, kemudian dikonsumsi sehari-hari masyarakat, telah dianggap sebagai suatu kebenaran. Sementara itu, masyarakat juga tidak memiliki pengetahuan dan sumber yang cukup untuk membedakan informasi atau berita yang diperolehnya benar atau salah.
Akbatnya, masyarakat akan mengambil keputusan yang tidak tepat sebagai akibat dari beredarnya berita bohong tersebut dan ini akan berakibat fatal bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah yang kemudian disebut sebagai perkembangan politik pembusukan demokrasi, dan sudah pasti terjadi, terutama pada masa pemilu presiden.
Ruang lingkup demokrasi memberikan kepada manusia kebebasan berpendapat, menilai, dan menentukan pilihan disertai tanggung jawab dan risiko politik, baik secara struktural politik maupun kultural.
Tanggung jawab risiko kultural politik ialah pemilih akan mendapatkan manusia dipilih yang akan mengeluarkan program kebijakan sesuai dengan kapasitas dan kualitas pemilih dan yang dipilihnya.
Tanggung jawab politik adalah manusia akan berada di lingkaran pejabat akan memproduksi (mengeluarkan) keputusan kebijakan yang kualitas dan tidaknya sesuai dengan kebutuhan rakyat keseluruhan.
Dengan adanya politik pembusukan akan menghadirkan manusia yang dipilih menjadi tidak ideal dalam percaturan politik. Idealnya persaingan dan pertarungan politik harus menggunakan cara-cara "fair play" dan membuka perilaku manusia dalam ruang sosial secara objetif, kejujuran data dan fakta. Di sisi lain, politik pembusukan akan meningkatkan konflik antara kelompok yang pernah melakukan dosa politik berada lingkaran suprastuktur politik dan infrastruktur politik yang telah nyaman hingga aktualisasi diri dalam status quo.
Hoaks, dengan demikian, adalah unsur yang merusak. Alih-alih memperkuat, demokrasi, keterlibatan warga negara untuk turut memantau pemerintah dengan cara propaganda politik melalui menyebarkan berita bohong tidak memberi manfaat apa-apa.
Hoaks justru memperburuk hubungan antara warga dan pemerintah karena materi yang menghubungkan keduanya kebohongan, fitnah, SARA, alias berita yang dibuat-buat.
Media Bersikap Netral
Di sisi ini, peran media massa harus bersikap dan bersifat netral dalam pemberitaan dan opini publik di ruang lingkup publik. Hal ini supaya nilai-nilai pilar demokrasi tetap terjaga.
Bukan berpihak pada pemilik media, pemilik modal, dan "framing" ideologi tertentu, melainkan menghargai dan menghormati Kebinekaan Tunggal Ika berbangsa dan bernegara.
Tidak hanya itu, media massa harus menampilkan realitas objektif, bukan realitas semu yang bertentangan dengan perilaku manusia. Sesungguhnya yang demikian itu akan menghasilkan manusia karbitan menghambat pembangunan demokrasi.
Jika hal demikian itu terus dilakukan, media massa telah melakukan pendidikan politik dan komunikasi politik yang salah arah, bahkan bisa dikatakan kegagalan media massa sebagai pilar demokrasi. Padahal, media massa sangat besar perannya dalam mendidik rakyat dan membangun demokrasi. Hal-hal ditampilkan realitas semu merupakan ketidakmurnian doktrin ideologi, kebodohan intelektual, ketidakadilan, tirani, pengkhianatan, kebohongan, dan bahkan dipakai untuk agitasi makar terhadap pemerintah yang berdaulat.
Akibat dari pembusukan demokrasi ini adalah terpilihnya para politikus yang buruk moralnya, perilaku korup masif di semua lini, baik di legeslatif, eksukutif, dan yudikatif (suprastruktur politik), bahkan juga di wilayah infrastruktur politik.
Tidak kalah fenomenal adalah masif adanya peraturan/undang-undang yang dibuat berdasarkan transaksional, bukan berdasarkan pertimbangan kepentingan publik, tatapi kepentingan golongan/kelompok tertentu yang sudah pasti merugikan masyarakat. Inilah pembusukan demokrasi yang sudah dan sedang terjadi di negeri ini, entah sampai kapan?
*) Penulis adalah Staf Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang
Baca juga: Megawati instruksikan kader tidak melawan informasi hoaks
Baca juga: Moeldoko: Relawan jangan sebarkan informasi hoaks
Pewarta: -
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018