Jakarta (ANTARA) - Kepala Pusat Studi Cyber Law dan Transformasi Digital Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Dr. Tasya Safiranita Ramli, SH, M.H, mengatakan bahwa sistem Perundang-undangan Indonesia belum mengatur secara khusus tentang kejahatan pada media internet atau layanan over the top, dan pada saat bersamaan modus operasi kejahatan siber atau cyber crime cukup beragam serta terus berkembang.
Meski demikian, salah satu acuan hukum yang dapat digunakan untuk mengatasi dinamika permasalahan tersebut adalah tetap mengacu pada Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terbaru tahun 2024.
"Modus operasi cyber crime cukup beragam dan terus berkembang, serta berbeda dengan kejahatan konvensional. Sistem Perundang-undangan Indonesia belum mengatur secara khusus tentang kejahatan pada media internet atau layanan over the top. Tetapi salah satu acuan hukum kita bisa mengacu pada UU ITE," ujar Tasya ketika dihubungi ANTARA pada Senin untuk mengomentari adanya temuan kejanggalan pada akun platform X (dulu Twitter) pasangan calon presiden Pemilu 2024, beberapa hari lalu.
Sebelumnya melalui keterangan resmi, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel A. Pangerapan menyatakan temuan kejanggalan tersebut disebabkan ada aktivitas bot spam.
"Saya baru dapat beritanya tadi pagi. Saya sudah kontak ke X. Jadi keyword Mahfud itu, ada yang mengirim pesan spam. Banyak itu bot spam. Ada keyword-nya itu. Ada beberapa, tadi saya lihat," kata Semuel dalam acara “Ngopi Bareng Dirjen Aptika” di Kantor Kementerian Kominfo, Jakarta Pusat, Jumat (26/1).
Baca juga: KPU libatkan Polri dan BIN dalami dugaan kebocoran data Pemilu 2024
Baca juga: Kiat jaga data pribadi saat bertransaksi digital dan bermedia sosial
Bot spam itu secara otomatis menyebarkan pesan spam dengan akun palsu di platform X. Sesuai penjelasan Kantor X Singapura, Dirjen Semuel menyatakan akibat bot spamming, keyword dengan nama Mahfud yang dikirim sebagai pesan spam dianggap tidak layak di platform X.
"X bilang, sudah melaporkan ke saya juga, sudah temukan bot-nya. Itu ada bot spamming. Nah, tiap kali konten memuat kata atau mention @mahfud, terus itu dikategorikan tulisan tidak layak. Karena ada banyak, jadi sama X dibersihkan dulu," tuturnya.
Dalam komunikasi dengan Kantor X di Singapura, Dirjen Aptika Kementerian Kominfo mendapatkan informasi bahwa saat ini X sudah melakukan pemulihan.
"Tadi jam 08.30 saya telepon dari sini ke Singapura, itu dia bilang lagi recovery. Dia mengakui memang ada bot spam yang menyerang. Jadi per tadi jam 09:00 sudah recover," tegas dia.
Dirjen Semuel menyatakan tidak mengetahui dari mana akun bot tersebut berasal.
"Saya nggak tahu, dia belum melaporkan. Yang namanya bot pasti bisa dimana aja. Sekarang bot itu nggak ada ruang. Yang pasti platform digital seperti X maupun yang lain itu sudah punya mekanisme untuk mendeteksi bot," tuturnya.
Mencermati peristiwa tersebut, Tasya menjelaskan bahwa hambatan yang dapat ditemui terkait cyber crime harus dilakukan berdasarkan pencegahan yaitu dengan adanya keamanan siber atau cyber security. Dia juga berharap payung hukum UU ITE tidak sebatas mencakup kegiatan pemanfaatan teknologi informasi, namun semua kegiatan yang memakai jaringan internet, serta instrumen elektronik lainnya sebagai wujud dari cyber security.
"Payung hukum kita tetap dari UU ITE yang terbaru 2024. Dari UU itu harus banyak dukungan, karena sepengetahuan saya AI di Indonesia belum diatur secara khusus, bahkan tidak ada pengaturan yang memang membantu untuk bagaimana peran AI ini sebetulnya bisa dikatakan sebagai sisi positif atau negatif," tambah dia.
Lebih lanjut Tasya juga menyoroti praktik penegakan hukum, misalnya, yang terkait kejahatan transnasional dengan faktor hukum utama yang terjadi adalah yurisdiksi. Pada era digital ini, Tasya melanjutkan, juga dikenal dengan adanya yurisdiksi virtual.
"Dalam praktik penegakan hukum, kalau saya melihat dari kejahatan-kejahatan yang memang banyak terjadi sekarang ini, kejahatan konvensional sudah banyak ditinggalkan. Sekarang mengarah pada kejahatan secara global baik dalam dunia media sosial, cyber security itu sendiri, atau cyber crime," imbuh Tasya.
Meski demikian, salah satu acuan hukum yang dapat digunakan untuk mengatasi dinamika permasalahan tersebut adalah tetap mengacu pada Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terbaru tahun 2024.
"Modus operasi cyber crime cukup beragam dan terus berkembang, serta berbeda dengan kejahatan konvensional. Sistem Perundang-undangan Indonesia belum mengatur secara khusus tentang kejahatan pada media internet atau layanan over the top. Tetapi salah satu acuan hukum kita bisa mengacu pada UU ITE," ujar Tasya ketika dihubungi ANTARA pada Senin untuk mengomentari adanya temuan kejanggalan pada akun platform X (dulu Twitter) pasangan calon presiden Pemilu 2024, beberapa hari lalu.
Sebelumnya melalui keterangan resmi, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel A. Pangerapan menyatakan temuan kejanggalan tersebut disebabkan ada aktivitas bot spam.
"Saya baru dapat beritanya tadi pagi. Saya sudah kontak ke X. Jadi keyword Mahfud itu, ada yang mengirim pesan spam. Banyak itu bot spam. Ada keyword-nya itu. Ada beberapa, tadi saya lihat," kata Semuel dalam acara “Ngopi Bareng Dirjen Aptika” di Kantor Kementerian Kominfo, Jakarta Pusat, Jumat (26/1).
Baca juga: KPU libatkan Polri dan BIN dalami dugaan kebocoran data Pemilu 2024
Baca juga: Kiat jaga data pribadi saat bertransaksi digital dan bermedia sosial
Bot spam itu secara otomatis menyebarkan pesan spam dengan akun palsu di platform X. Sesuai penjelasan Kantor X Singapura, Dirjen Semuel menyatakan akibat bot spamming, keyword dengan nama Mahfud yang dikirim sebagai pesan spam dianggap tidak layak di platform X.
"X bilang, sudah melaporkan ke saya juga, sudah temukan bot-nya. Itu ada bot spamming. Nah, tiap kali konten memuat kata atau mention @mahfud, terus itu dikategorikan tulisan tidak layak. Karena ada banyak, jadi sama X dibersihkan dulu," tuturnya.
Dalam komunikasi dengan Kantor X di Singapura, Dirjen Aptika Kementerian Kominfo mendapatkan informasi bahwa saat ini X sudah melakukan pemulihan.
"Tadi jam 08.30 saya telepon dari sini ke Singapura, itu dia bilang lagi recovery. Dia mengakui memang ada bot spam yang menyerang. Jadi per tadi jam 09:00 sudah recover," tegas dia.
Dirjen Semuel menyatakan tidak mengetahui dari mana akun bot tersebut berasal.
"Saya nggak tahu, dia belum melaporkan. Yang namanya bot pasti bisa dimana aja. Sekarang bot itu nggak ada ruang. Yang pasti platform digital seperti X maupun yang lain itu sudah punya mekanisme untuk mendeteksi bot," tuturnya.
Mencermati peristiwa tersebut, Tasya menjelaskan bahwa hambatan yang dapat ditemui terkait cyber crime harus dilakukan berdasarkan pencegahan yaitu dengan adanya keamanan siber atau cyber security. Dia juga berharap payung hukum UU ITE tidak sebatas mencakup kegiatan pemanfaatan teknologi informasi, namun semua kegiatan yang memakai jaringan internet, serta instrumen elektronik lainnya sebagai wujud dari cyber security.
"Payung hukum kita tetap dari UU ITE yang terbaru 2024. Dari UU itu harus banyak dukungan, karena sepengetahuan saya AI di Indonesia belum diatur secara khusus, bahkan tidak ada pengaturan yang memang membantu untuk bagaimana peran AI ini sebetulnya bisa dikatakan sebagai sisi positif atau negatif," tambah dia.
Lebih lanjut Tasya juga menyoroti praktik penegakan hukum, misalnya, yang terkait kejahatan transnasional dengan faktor hukum utama yang terjadi adalah yurisdiksi. Pada era digital ini, Tasya melanjutkan, juga dikenal dengan adanya yurisdiksi virtual.
"Dalam praktik penegakan hukum, kalau saya melihat dari kejahatan-kejahatan yang memang banyak terjadi sekarang ini, kejahatan konvensional sudah banyak ditinggalkan. Sekarang mengarah pada kejahatan secara global baik dalam dunia media sosial, cyber security itu sendiri, atau cyber crime," imbuh Tasya.
Pewarta: Ahmad Faishal Adnan
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2024
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2024