Kupang (ANTARA) - Pengamat politik yang juga pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Mikhael Rajamuda Bataona menilai debat keempat justru menjadi semacam antiklimaks sekaligus antitesis bagi personifikasi/simbolisme Jokowi.
"Selama ini, personifikasi atau simbolisme Jokowi dihadirkan
oleh Tim 02 lewat diri Gibran, namun jika dibaca secara akademik, debat kemarin justru menjadi semacam antiklimaks sekaligus antitesis bagi simbolisme Jokowi," kata Mikhael Bataona di Kupang, Selasa.
Menurut dia, ketika terjadi atraksi panggung, gimmick dan orkestra yang dimainkan Gibran dengan merendahkan dan mendelegitimasi dua calon lain yang lebih tua darinya yaitu Mahfud Md dan Muhaimin, maka Gibran justru meluruhkan citra dan personifikasi karakter Jokowi
pada diri anak biologis sang Presiden.
Gibran dalam debat itu sama sekali tidak menunjukkan jatidiri Jokowi yang punya filosofi hidup, Lamun siro sekti ojo mateni, yang artinya meskipun kamu sakti jangan suka menjatuhkan.
Ketika Gibran, dari video debat itu, melakukan atraksi panggung yang merendahkan Mahfud Md, yaitu dengan menggunakan diksi bahwa Mahfud sebagai seorang profesor seharusnya paham semua istilah, juga melengak-lengok seolah mencari jawaban Mahfud, terbaca oleh publik bahwa Gibran sedang menggunakan gimmick untuk merendahkan dan mempermalukan Mahfud.
"Dari sana ia sedang melawan filosofi hidup ayahnya, yaitu, meskipun kamu sakti, janganlah suka menjatuhkan. Hal ini terjadi karena bagi publik, sebagai anak Jokowi, Gibran tidak bisa melepaskan diri dari karakter dan jatidiri ayahnya yang punya filosofi hidup, meski dirinya punya kekuasaan dan kesaktian, ia tidak akan menjatuhkan orang lain," katanya.
Tetapi menurut dia yang dilakukan Gibran justru menyerang dengan nuansa merendahkan Mahfud Md juga Muhaimin. Hal yang oleh publik dinilai kurang elok dan jauh dari standar etis juga berkaitan dengan tuduhan Gibran kepada Muhaimin.
Gibran berkali-kali dalam debat itu menyerang Muhaimin bahwa Ketua Umum PKB ini mencontek jawaban dari teks yang disiapkan Tom Lembong, bahkan ketika Gibran menyerang Muhaimin sebagai orang yang lucu karena berbicara tentang lingkungan tetapi membawa botol plastik air kemasan, Gibran sekali lagi melawan filosofi hidup ayahnya.
Filosofi yang dimaksud yaitu Lamun siro banter ojo ndhisiki, meskipun kamu cepat jangan suka mendahului dan yang ketiga Lamun siro pinter ojo minteri, meskipun kamu pintar jangan sok pintar.
Dalam debat yang levelnya paling tinggi di republik ini yaitu debat untuk mengukur kemampuan para calon pemimpin negara, menurut saya, publik tidak suka menyaksikan adanya upaya merendahkan dan menyerang pribadi tetapi itu yang terjadi. Inilah yang sangat disayangkan banyak pihak. Akhirnya, debat yang awalnya berjalan bagus, menjadi antiklimaks.
"Karena debat ini disaksikan secara telanjang oleh publik maka bisa dikatakan bahwa Gibran dan timnya gagal memaksimalkan debat semalam untuk menaikkan elektabilitas Prabowo-Gibran yang mulai stagnan alias mandek," katanya.
Jika saja Gibran tampil elegan, sportif dan bernas, pasti bisa mempengaruhi para undecided voters dan floating mass atau massa mengambang yang belum memutuskan pilihannya.
"Jadi inilah kesalahan strategi Tim Prabowo-Gibran yang tidak menasehati Gibran untuk tampil elegan dan boleh menyerang tapi menyerang ide dan gagasan, bukan merendahkan dan menyerang pribadi lawan debat," katanya.
"Jadi, dalam analisis saya, kecerdikan Gibran menyerang Mahfud dan Muhaimin lewat atraksi-atraksi dan gimmick juga pernyataan verbalnya, hanya berkontribusi positif pada makin menebalnya pilihan para pendukung Prabowo-Gibran," katanya.
Pendukung 02 makin fanatik dan bersukacita dengan penampilan Gibran semalam. Itu saja yang positif dari penampilan Gibran, tetapi sama sekali tidak mampu menarik pemilih baru dari ceruk pemilih mengambang yang masih cukup besar.
Padahal jika itu yang dilakukan maka saya yakin Gibran akan mendapat sentimen positip dan sekaligus mendapat insentif elektoral. "Jadi, debat semalam menjadi luar biasa hanya bagi pendukung Prabowo-Gibran, tidak bagi pemilih rasional dan masa mengambang yang belum memutuskan pilihannya," kata Bataona.
Karena dalam budaya intelektual juga di semua bidang kehidupan di negeri ini, menyerang pribadi atau ad hominem itu sangat tidak disukai Publik. Publik Indonesia lebih suka menyaksikan debat, juga perilaku elit yang penuh respek, penuh rasa hormat dan saling menghargai.
Publik ingin menyaksikan melalui debat itu, seperti apa representasi kualitas para calon pemimpin mereka. Artinya, Gibran punya kesempatan emas melakukannya dalam debat semalam sebab, masyarakat Indonesia itu sedikit sensitif dengan situasi semacam ini. Apalagi kelas menengah kita cenderung moderat di samping rasional.
Mereka cenderung menolak cara-cara agresif, tidak etis dan merendahkan orang lain, dan mereka ini pemilih yang saat ini masih bisa berpindah dukungan jika hasil debat semalam bisa meyakinkan mereka.
Karena itu, poin-nya adalah debat semalam menjadi kurang elok karena nuansa debatnya dibawa ke level atraksi dan gimmick. Bukan pada substansi yaitu pada pertarungan ide, gagasan, visi dan misi, serta policy atau kebijakan dari masing-masing calon.
Menurut saya, rakyat yang sudah punya pilihan, akan memuji calon mereka masing-masing dan itu wajar dan rasional tetapi, bagi masyarakat rasional yang belum yakin dengan pilihannya dan masuk dalam kelompok floating mass, akhirnya tidak mampu diyakinkan oleh Gibran untuk menderek elektoral mereka. Karena, sekali lagi, rakyat Indonesia lebih menginginkan debatnya bisa berjalan rasional, dan enak ditonton, demikian Mikhael Bataona.
"Selama ini, personifikasi atau simbolisme Jokowi dihadirkan
oleh Tim 02 lewat diri Gibran, namun jika dibaca secara akademik, debat kemarin justru menjadi semacam antiklimaks sekaligus antitesis bagi simbolisme Jokowi," kata Mikhael Bataona di Kupang, Selasa.
Menurut dia, ketika terjadi atraksi panggung, gimmick dan orkestra yang dimainkan Gibran dengan merendahkan dan mendelegitimasi dua calon lain yang lebih tua darinya yaitu Mahfud Md dan Muhaimin, maka Gibran justru meluruhkan citra dan personifikasi karakter Jokowi
pada diri anak biologis sang Presiden.
Gibran dalam debat itu sama sekali tidak menunjukkan jatidiri Jokowi yang punya filosofi hidup, Lamun siro sekti ojo mateni, yang artinya meskipun kamu sakti jangan suka menjatuhkan.
Ketika Gibran, dari video debat itu, melakukan atraksi panggung yang merendahkan Mahfud Md, yaitu dengan menggunakan diksi bahwa Mahfud sebagai seorang profesor seharusnya paham semua istilah, juga melengak-lengok seolah mencari jawaban Mahfud, terbaca oleh publik bahwa Gibran sedang menggunakan gimmick untuk merendahkan dan mempermalukan Mahfud.
"Dari sana ia sedang melawan filosofi hidup ayahnya, yaitu, meskipun kamu sakti, janganlah suka menjatuhkan. Hal ini terjadi karena bagi publik, sebagai anak Jokowi, Gibran tidak bisa melepaskan diri dari karakter dan jatidiri ayahnya yang punya filosofi hidup, meski dirinya punya kekuasaan dan kesaktian, ia tidak akan menjatuhkan orang lain," katanya.
Tetapi menurut dia yang dilakukan Gibran justru menyerang dengan nuansa merendahkan Mahfud Md juga Muhaimin. Hal yang oleh publik dinilai kurang elok dan jauh dari standar etis juga berkaitan dengan tuduhan Gibran kepada Muhaimin.
Gibran berkali-kali dalam debat itu menyerang Muhaimin bahwa Ketua Umum PKB ini mencontek jawaban dari teks yang disiapkan Tom Lembong, bahkan ketika Gibran menyerang Muhaimin sebagai orang yang lucu karena berbicara tentang lingkungan tetapi membawa botol plastik air kemasan, Gibran sekali lagi melawan filosofi hidup ayahnya.
Filosofi yang dimaksud yaitu Lamun siro banter ojo ndhisiki, meskipun kamu cepat jangan suka mendahului dan yang ketiga Lamun siro pinter ojo minteri, meskipun kamu pintar jangan sok pintar.
Dengan mengingkari ajaran ayahnya, Gibran jelas merugikan dirinya sendiri dan tim no 2. Banyak tone negatif yang diberikan penonton kepada Gibran karena bagaimanapun juga, menyerang gagasan, ide dan isi pemikiran lawan debat atau ad argumentum itu diperbolehkan dan bahkan diharuskan dalam sebuah debat.
Dalam debat yang levelnya paling tinggi di republik ini yaitu debat untuk mengukur kemampuan para calon pemimpin negara, menurut saya, publik tidak suka menyaksikan adanya upaya merendahkan dan menyerang pribadi tetapi itu yang terjadi. Inilah yang sangat disayangkan banyak pihak. Akhirnya, debat yang awalnya berjalan bagus, menjadi antiklimaks.
"Karena debat ini disaksikan secara telanjang oleh publik maka bisa dikatakan bahwa Gibran dan timnya gagal memaksimalkan debat semalam untuk menaikkan elektabilitas Prabowo-Gibran yang mulai stagnan alias mandek," katanya.
Jika saja Gibran tampil elegan, sportif dan bernas, pasti bisa mempengaruhi para undecided voters dan floating mass atau massa mengambang yang belum memutuskan pilihannya.
"Jadi inilah kesalahan strategi Tim Prabowo-Gibran yang tidak menasehati Gibran untuk tampil elegan dan boleh menyerang tapi menyerang ide dan gagasan, bukan merendahkan dan menyerang pribadi lawan debat," katanya.
"Jadi, dalam analisis saya, kecerdikan Gibran menyerang Mahfud dan Muhaimin lewat atraksi-atraksi dan gimmick juga pernyataan verbalnya, hanya berkontribusi positif pada makin menebalnya pilihan para pendukung Prabowo-Gibran," katanya.
Pendukung 02 makin fanatik dan bersukacita dengan penampilan Gibran semalam. Itu saja yang positif dari penampilan Gibran, tetapi sama sekali tidak mampu menarik pemilih baru dari ceruk pemilih mengambang yang masih cukup besar.
Padahal jika itu yang dilakukan maka saya yakin Gibran akan mendapat sentimen positip dan sekaligus mendapat insentif elektoral. "Jadi, debat semalam menjadi luar biasa hanya bagi pendukung Prabowo-Gibran, tidak bagi pemilih rasional dan masa mengambang yang belum memutuskan pilihannya," kata Bataona.
Karena dalam budaya intelektual juga di semua bidang kehidupan di negeri ini, menyerang pribadi atau ad hominem itu sangat tidak disukai Publik. Publik Indonesia lebih suka menyaksikan debat, juga perilaku elit yang penuh respek, penuh rasa hormat dan saling menghargai.
Publik ingin menyaksikan melalui debat itu, seperti apa representasi kualitas para calon pemimpin mereka. Artinya, Gibran punya kesempatan emas melakukannya dalam debat semalam sebab, masyarakat Indonesia itu sedikit sensitif dengan situasi semacam ini. Apalagi kelas menengah kita cenderung moderat di samping rasional.
Mereka cenderung menolak cara-cara agresif, tidak etis dan merendahkan orang lain, dan mereka ini pemilih yang saat ini masih bisa berpindah dukungan jika hasil debat semalam bisa meyakinkan mereka.
Karena itu, poin-nya adalah debat semalam menjadi kurang elok karena nuansa debatnya dibawa ke level atraksi dan gimmick. Bukan pada substansi yaitu pada pertarungan ide, gagasan, visi dan misi, serta policy atau kebijakan dari masing-masing calon.
Menurut saya, rakyat yang sudah punya pilihan, akan memuji calon mereka masing-masing dan itu wajar dan rasional tetapi, bagi masyarakat rasional yang belum yakin dengan pilihannya dan masuk dalam kelompok floating mass, akhirnya tidak mampu diyakinkan oleh Gibran untuk menderek elektoral mereka. Karena, sekali lagi, rakyat Indonesia lebih menginginkan debatnya bisa berjalan rasional, dan enak ditonton, demikian Mikhael Bataona.
Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2024
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2024