Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Jenderal DPP PPP Arsul Sani mengatakan perolehan suara kedua di Pemilu 2019 tidak bisa dijadikan patokan untuk menentukan kursi Ketua MPR RI periode 2019-2024.
"Kalau perolehan kursi di Pemilu 2019 yang nomor dua itu Golkar bukan Gerindra. Kalau perolehan suara, itu Gerindra, sedangkan di DPR itu boleh dibilang segala sesuatunya ditentukan oleh kursi bukan berdasarkan suara," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu.
Hal itu dikatakannya terkait keinginan Partai Gerindra yang mengincar posisi Ketua MPR 2019-2024 karena meraih suara kedua di Pemilu Legislatif (Pileg) 2019.
Arsul mengatakan, dirinya bukan tidak setuju kalau Gerindra meraih kursi Ketua MPR 2019-2024 namun berdasarkan UU nomor 2 tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), diatur bahwa pemilihan Pimpinan MPR berdasarkan sistem paket.
Menurut dia, apabila berdasarkan sistem paket maka bisa saja jabatan Ketua MPR berasal dari partai yang perolehan kursinya sedikit seperti PPP.
"MPR RI itu menggunakan sistem paket, bisa saja dari yang kecil seperti PPP yang menjadi Ketua MPR. Kalau itu disepekati," ujarnya.
Baca juga: Analis politik: Perebutan kursi ketua MPR tergantung lobi partai
Baca juga: Pengamat: Kursi Ketua MPR saat ini adalah "kursi panas"
Baca juga: Pengamat: Ketua MPR hendaknya diisi figur politisi negarawan
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra mengatakan sangat wajar kalau partainya memperoleh posisi kursi Ketua MPR RI karena secara elektoral menempati urutan kedua di Pemilu 2019.
"Saya kira wajar (Gerindra menginginkan kursi Ketua MPR RI) karena secara perolehan suara partai populer kedua terbesar di Pemilu 2019," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/8).
Dia mengatakan, Partai Gerindra saat ini terus aktif melakukan komunikasi politik dengan partai-partai lain dan kelompok DPD RI dalam upaya meraih posisi Ketua MPR RI.
Menurut dia, saat ini masih banyak waktu untuk melakukan komunikasi politik, karena pemilihan Pimpinan MPR dilakukan awal Oktober 2019 sehingga masih ada waktu dua bulan untuk melakukan penjajakan.
"Kalau perolehan kursi di Pemilu 2019 yang nomor dua itu Golkar bukan Gerindra. Kalau perolehan suara, itu Gerindra, sedangkan di DPR itu boleh dibilang segala sesuatunya ditentukan oleh kursi bukan berdasarkan suara," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu.
Hal itu dikatakannya terkait keinginan Partai Gerindra yang mengincar posisi Ketua MPR 2019-2024 karena meraih suara kedua di Pemilu Legislatif (Pileg) 2019.
Arsul mengatakan, dirinya bukan tidak setuju kalau Gerindra meraih kursi Ketua MPR 2019-2024 namun berdasarkan UU nomor 2 tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), diatur bahwa pemilihan Pimpinan MPR berdasarkan sistem paket.
Menurut dia, apabila berdasarkan sistem paket maka bisa saja jabatan Ketua MPR berasal dari partai yang perolehan kursinya sedikit seperti PPP.
"MPR RI itu menggunakan sistem paket, bisa saja dari yang kecil seperti PPP yang menjadi Ketua MPR. Kalau itu disepekati," ujarnya.
Baca juga: Analis politik: Perebutan kursi ketua MPR tergantung lobi partai
Baca juga: Pengamat: Kursi Ketua MPR saat ini adalah "kursi panas"
Baca juga: Pengamat: Ketua MPR hendaknya diisi figur politisi negarawan
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra mengatakan sangat wajar kalau partainya memperoleh posisi kursi Ketua MPR RI karena secara elektoral menempati urutan kedua di Pemilu 2019.
"Saya kira wajar (Gerindra menginginkan kursi Ketua MPR RI) karena secara perolehan suara partai populer kedua terbesar di Pemilu 2019," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/8).
Dia mengatakan, Partai Gerindra saat ini terus aktif melakukan komunikasi politik dengan partai-partai lain dan kelompok DPD RI dalam upaya meraih posisi Ketua MPR RI.
Menurut dia, saat ini masih banyak waktu untuk melakukan komunikasi politik, karena pemilihan Pimpinan MPR dilakukan awal Oktober 2019 sehingga masih ada waktu dua bulan untuk melakukan penjajakan.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019