Jakarta (ANTARA) - Kepala Bagian Humas dan Hubungan Dalam Negeri Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono mengatakan bahwa ketua adat tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan perkara sengketa hasil Pileg 2019 di MK.
"Kalau dalam aturan, yang punya legal standing di dalam perkara sengketa Pileg itu adalah partai politik peserta pemilu atau caleg peserta DPD," ujar Fajar di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu.
Baca juga: Sidang pileg, jumlah dapil bermasalah terbanyak di Papua
Baca juga: Partai Berkarya tak hadiri sidang sengketa pileg
Mengenai permohonan yang diajukan oleh kepala adat atau perseorangan yang bukan caleg, Fajar mengatakan hal tersebut tetap menjadi kewenangan hakim untuk memutus.
Sebelumnya Ketua Umum Wilayah Adat Lagopo Provinsi Papua mengajukan permohonan perkara sengketa Pileg 2019 di MK.
Pada Selasa (9/7) perkara yang diajukan tersebut seharusnya disidangkan dengan agenda sidang pendahuluan, namun pemohon yang merupakan ketua adat berserta dengan kuasa hukumnya tidak hadir dalam persidangan.
"Oleh panitera telah dihubungi kembali, dan ternyata baik pemohon maupun kuasa hukumnya masih berada di Papua," ujar Hakim Konstitusi Aswanto setelah membuka jalannya persidangan.
Dalam permohonannya, ketua adat tersebut menggugat hasil Pileg 2019, karena menganggap telah terjadi kesalahan dalam proses pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara rakyat (sisten noken), dan berpengaruh pada perolehan kursi anggota DPR serta DPRD Provinsi dan Kabupaten di enam kabupaten wilayah adat Lapago Provinsi Papua.
Adapun enam kabupaten tersebut adalah; Yahukimo, Jayawijaya, Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, Tolikara, dan Puncak Jaya.
Pemohon dalam petitumnya kemudian meminta Mahkamah untuk membatalkan keputusan KPU terkait penetapan hasil Pemilu Legislatif untuk pengisian DPR RI dan DPRD RI Provinsi Papua untuk enam kabupaten tersebut.
Baca juga: MK sidangkan sengketa pileg dari sembilan provinsi
Baca juga: KPU siapkan jawaban permohonan sengketa dan alat bukti tambahan
"Kalau dalam aturan, yang punya legal standing di dalam perkara sengketa Pileg itu adalah partai politik peserta pemilu atau caleg peserta DPD," ujar Fajar di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu.
Baca juga: Sidang pileg, jumlah dapil bermasalah terbanyak di Papua
Baca juga: Partai Berkarya tak hadiri sidang sengketa pileg
Mengenai permohonan yang diajukan oleh kepala adat atau perseorangan yang bukan caleg, Fajar mengatakan hal tersebut tetap menjadi kewenangan hakim untuk memutus.
Sebelumnya Ketua Umum Wilayah Adat Lagopo Provinsi Papua mengajukan permohonan perkara sengketa Pileg 2019 di MK.
Pada Selasa (9/7) perkara yang diajukan tersebut seharusnya disidangkan dengan agenda sidang pendahuluan, namun pemohon yang merupakan ketua adat berserta dengan kuasa hukumnya tidak hadir dalam persidangan.
"Oleh panitera telah dihubungi kembali, dan ternyata baik pemohon maupun kuasa hukumnya masih berada di Papua," ujar Hakim Konstitusi Aswanto setelah membuka jalannya persidangan.
Dalam permohonannya, ketua adat tersebut menggugat hasil Pileg 2019, karena menganggap telah terjadi kesalahan dalam proses pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara rakyat (sisten noken), dan berpengaruh pada perolehan kursi anggota DPR serta DPRD Provinsi dan Kabupaten di enam kabupaten wilayah adat Lapago Provinsi Papua.
Adapun enam kabupaten tersebut adalah; Yahukimo, Jayawijaya, Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, Tolikara, dan Puncak Jaya.
Pemohon dalam petitumnya kemudian meminta Mahkamah untuk membatalkan keputusan KPU terkait penetapan hasil Pemilu Legislatif untuk pengisian DPR RI dan DPRD RI Provinsi Papua untuk enam kabupaten tersebut.
Baca juga: MK sidangkan sengketa pileg dari sembilan provinsi
Baca juga: KPU siapkan jawaban permohonan sengketa dan alat bukti tambahan
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2019