Semarang (ANTARA) - Ketua Harian DPD I Partai Golkar Provinsi Jawa Tengah H.M. Iqbal Wibisono menilai sistem pemilu proporsional terbuka menjadikan calon anggota legislatif (caleg) pragmatis seperti memberi sejumlah imbalan uang agar memilih (politik uang) yang bersangkutan mendekati hari-H pencoblosan pemilu, 17 April 2019.
"Sistem pemilu yang mulai berlaku sejak 2009 ini menjadikan peserta pemilu pragmatis dengan memunculkan adagium dalam masyarakat 'ora uwik ora obos' (tidak ada uang tidak mencoblos)," kata Iqbal Wibisono yang juga alumnus Program Doktor (S-3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) kepada ANTARA di Semarang, Sabtu pagi.
Selain itu, kata Iqbal, muncul istilah "beli putus", "wangsit", "wangsul", "serangan fajar" dan padanan lain yang arahnya merusak moral pemilih dan merusak cita-cita tujuan pesta demokrasi yang menjadi harapan bangsa ini.
Padahal, mulai 23 Maret 2019 mereka diberi kesempatan untuk bertatap muka langsung dengan masyarakat untuk menawarkan program, visi, dan misinya agar diketahui calon pemilih.
Baca juga: Anggiasari siap jadi wakil rakyat tanpa politik uang
Baca juga: Tokoh masyarakat ingatkan pemilih hindari praktik politik uang pemilu
Iqbal menekankan bahwa kehadiran mereka seharusnya bukan karena iming-iming, janji-janji politik atau bahkan mengharapkan sesuatu secara pragmatis yang selama ini konon secara masif terjadi dalam setiap pesta demokrasi.
"Meskipun tidak pantas itu terjadi dan semuanya mencoba untuk dihindari, sistem pemilu sekarang memberikan celah," kata Iqbal yang pernah sebagai Ketua Komisi E DPRD Provinsi Jawa Tengah.
Dari sekian fakta yang terjadi di tengah masyarakat, katanya lagi, sudah saatnya para elite politik, pemimpin lembaga negara, pimpinan partai politik, pimpinan ormas nasional, para cendekiawan dan pimpinan kampus untuk segera duduk bersama mengkaji masalah kerusakan moral sosial ini yang secara masif terjadi di setiap laga demokrasi di semua tingkatan.
Ditegaskan Iqbal bahwa tidak ada undang-undang mengenai sistem pemilu yang tidak bisa diubah. Semuanya atas dasar kepentingan yang lebih besar, bisa berubah apabila ada kemauan bersama.
"Perubahan sistem pemilu ini agar moral bangsa lebih baik dan menyelamatkan generasi yang lebih baik dan bermoral pada masa yang akan datang," ujarnya.
Ia berharap Pemilu 2019 merupakan terminal bagi bangsa Indonesia untuk melaksanakan pesta demokrasi yang bersih, jujur, dan adil sesuai dengan harapan masyarakat Indonesia yang bermartabat.
Baca juga: Pengamat: waspadai politik uang saat masa tenang
Baca juga: Bawaslu tingkatkan pengawasan antisipasi "serangan fajar" pemilu
"Sistem pemilu yang mulai berlaku sejak 2009 ini menjadikan peserta pemilu pragmatis dengan memunculkan adagium dalam masyarakat 'ora uwik ora obos' (tidak ada uang tidak mencoblos)," kata Iqbal Wibisono yang juga alumnus Program Doktor (S-3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) kepada ANTARA di Semarang, Sabtu pagi.
Selain itu, kata Iqbal, muncul istilah "beli putus", "wangsit", "wangsul", "serangan fajar" dan padanan lain yang arahnya merusak moral pemilih dan merusak cita-cita tujuan pesta demokrasi yang menjadi harapan bangsa ini.
Padahal, mulai 23 Maret 2019 mereka diberi kesempatan untuk bertatap muka langsung dengan masyarakat untuk menawarkan program, visi, dan misinya agar diketahui calon pemilih.
Baca juga: Anggiasari siap jadi wakil rakyat tanpa politik uang
Baca juga: Tokoh masyarakat ingatkan pemilih hindari praktik politik uang pemilu
Iqbal menekankan bahwa kehadiran mereka seharusnya bukan karena iming-iming, janji-janji politik atau bahkan mengharapkan sesuatu secara pragmatis yang selama ini konon secara masif terjadi dalam setiap pesta demokrasi.
"Meskipun tidak pantas itu terjadi dan semuanya mencoba untuk dihindari, sistem pemilu sekarang memberikan celah," kata Iqbal yang pernah sebagai Ketua Komisi E DPRD Provinsi Jawa Tengah.
Dari sekian fakta yang terjadi di tengah masyarakat, katanya lagi, sudah saatnya para elite politik, pemimpin lembaga negara, pimpinan partai politik, pimpinan ormas nasional, para cendekiawan dan pimpinan kampus untuk segera duduk bersama mengkaji masalah kerusakan moral sosial ini yang secara masif terjadi di setiap laga demokrasi di semua tingkatan.
Ditegaskan Iqbal bahwa tidak ada undang-undang mengenai sistem pemilu yang tidak bisa diubah. Semuanya atas dasar kepentingan yang lebih besar, bisa berubah apabila ada kemauan bersama.
"Perubahan sistem pemilu ini agar moral bangsa lebih baik dan menyelamatkan generasi yang lebih baik dan bermoral pada masa yang akan datang," ujarnya.
Ia berharap Pemilu 2019 merupakan terminal bagi bangsa Indonesia untuk melaksanakan pesta demokrasi yang bersih, jujur, dan adil sesuai dengan harapan masyarakat Indonesia yang bermartabat.
Baca juga: Pengamat: waspadai politik uang saat masa tenang
Baca juga: Bawaslu tingkatkan pengawasan antisipasi "serangan fajar" pemilu
Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019