Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan potensi hilangnya hak pilih warga negara yang berusia 17 tahun dan ke atas atau sudah menikah dalam Pemilu 2019 karena belum memiliki e-KTP atau surat keterangan (suket).
Ketua Tim Pemantau Pemilu 2019 Komnas HAM Hairansyah di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis, mengatakan yang menjadi fokus pemantauan yang dilakukan di Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Tengah dan Sulawesi Selatan itu adalah hak pilih, isu diskriminasi ras dan etnis serta kemurnian suara.
"Dalam temuan kami masih ada masalah penggunaan hak pilih yang kami khawatirkan dan di lapangan masih menjadi persoalan," ujar Hairansyah.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi, kata dia, selain e-KTP, suket juga dimungkinkan untuk digunakan, tetapi suket dapat diperoleh apabila sudah melakukan perekaman.
Temuan Komnas HAM di Kalimantan Tengah, baru 79 persen penduduk berusia 17 tahun dan ke atas atau sudah menikah yang sudah memiliki e-KTP mau pun sudah melakukan perekaman, dari total 1,75 juta pemilih yang ditetapkan masuk daftar pemilih tetap (DPT). Diperkirakan hingga menjelang 17 April 2019, Disdukcapil Kalimantan Tengah mampu menyelesaikan hanya 85 persen perekaman.
Sementara di Jawa Timur, jumlah penduduk yang belum memiliki e-KTP atau melakukan perekaman berjumlah sekitar empat juta orang, sedangkan di Banten terdapat 637 pemilih yang belum melakukan perekaman e-KTP.
Sementara itu, dalam pemantauan ditemukan pemenuhan hak kelompok rentan, seperti tahanan, pasien rumah sakit dan penyandang disabilitas masih bermasalah, misalnya persyaratan e-KTP atau suket harus ditunjukkan saat pemungutan suara menjadi hal yang menyulitkan tahanan dan narapidana yang berada di rutan dan lapas.
"Seharusnya surat keterangan Kalapas atau Karutan serta petikan putusan cukup menjadi dasar penetapan DPT dan jaminan mereka berhak untuk memilih," tutur Hairansyah.
Untuk itu, Komnas HAM mendorong Kementerian Dalam Negeri untuk mempercepat proses penerbitan e-KTP mau pun suket untuk mengurangi potensi hilangnya hak pilih masyarakat dan merekomendasikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk meninjau kebijakan dan PKPU yang berpotensi mengurangi, membatasi dan melanggar HAM dalam proses Pemilu 2019.
Ketua Tim Pemantau Pemilu 2019 Komnas HAM Hairansyah di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis, mengatakan yang menjadi fokus pemantauan yang dilakukan di Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Tengah dan Sulawesi Selatan itu adalah hak pilih, isu diskriminasi ras dan etnis serta kemurnian suara.
"Dalam temuan kami masih ada masalah penggunaan hak pilih yang kami khawatirkan dan di lapangan masih menjadi persoalan," ujar Hairansyah.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi, kata dia, selain e-KTP, suket juga dimungkinkan untuk digunakan, tetapi suket dapat diperoleh apabila sudah melakukan perekaman.
Temuan Komnas HAM di Kalimantan Tengah, baru 79 persen penduduk berusia 17 tahun dan ke atas atau sudah menikah yang sudah memiliki e-KTP mau pun sudah melakukan perekaman, dari total 1,75 juta pemilih yang ditetapkan masuk daftar pemilih tetap (DPT). Diperkirakan hingga menjelang 17 April 2019, Disdukcapil Kalimantan Tengah mampu menyelesaikan hanya 85 persen perekaman.
Sementara di Jawa Timur, jumlah penduduk yang belum memiliki e-KTP atau melakukan perekaman berjumlah sekitar empat juta orang, sedangkan di Banten terdapat 637 pemilih yang belum melakukan perekaman e-KTP.
Sementara itu, dalam pemantauan ditemukan pemenuhan hak kelompok rentan, seperti tahanan, pasien rumah sakit dan penyandang disabilitas masih bermasalah, misalnya persyaratan e-KTP atau suket harus ditunjukkan saat pemungutan suara menjadi hal yang menyulitkan tahanan dan narapidana yang berada di rutan dan lapas.
"Seharusnya surat keterangan Kalapas atau Karutan serta petikan putusan cukup menjadi dasar penetapan DPT dan jaminan mereka berhak untuk memilih," tutur Hairansyah.
Untuk itu, Komnas HAM mendorong Kementerian Dalam Negeri untuk mempercepat proses penerbitan e-KTP mau pun suket untuk mengurangi potensi hilangnya hak pilih masyarakat dan merekomendasikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk meninjau kebijakan dan PKPU yang berpotensi mengurangi, membatasi dan melanggar HAM dalam proses Pemilu 2019.
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019