Jakarta (ANTARA) - Seorang lelaki yang mengenakan masker serta topi tiba di Bandara Soekarno Hatta, Banten, pada Jumat petang 13 Maret 2019 dengan dikawal sejumlah petugas keamanan.
Pria tersebut tak lain adalah anggota DPR RI yang sangat terhormat, yang juga menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (DPP PPP), Romahurmuziy.
Rommy, panggilan akrab Romahurmuziy, tiba di bandara Soetta setelah ditangkap oleh sejumlah Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Surabaya Jawa Timur.
Dia dibekuk lembaga antirasuah itu karena diduga menerima sejumlah uang "transaksi" jual beli jabatan di Kementerian Agama, pada beberapa daerah termasuk di ibu kota Jakarta. Anggota DPR ini langsung digelandang ke kantor KPK yang terletak di jalan Rasuna Said, Jakarta.
Pimpinan tertinggi PPP ini diduga kuat menerima uang setelah sukses menjadi calo bagi beberapa pejabat Kemenag yang ingin mendapat jabatan tertentu.
Ini bukan kasus pertama bagi partai tersebut karena pada tahun 2014 ketua umum pada saat itu Suryadharma Ali diciduk KPK karena melakukan tindak pidana korupsi terhadap biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH).
Kasus Rommy ini pantas untuk dikaji atau direnungkan, karena beberapa tahun terakhir ini sejumlah tokoh politik yang juga menjadi pimpinan partai ditangkap KPK. Sebut saja nama Anas Urbaningrum yang merupakan ketua umum DPP Partai Demokrat yang juga merupakan wakil rakyat.
Belum lagi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto yang juga menjadi ketua umum DPP Parta Golkar karena terlibat dalam kasus pembuatan KTP elektronik yang nilainya triliunan rupiah.
Belum lagi Ketua DPD Irman Gusman yang juga dibekuk oleh penyidik KPK yang menerima suap seratus juta rupiah dari seorang pengusaha yang berambisi untuk ditunjuk oleh Perum Bulog untuk menjadi importir gula pasir bagi wilayah provinsi Sumatera Barat.
Kasus yang dialami Rommy memang masih gelap gulita karena sampai dengan Sabtu siang 14 Maret 2019 ketua KPK Agus Rahardjo belum memberi keterangan resmi tentang kasus ini.
Jadi masyarakat tentu harus menghormati azas praduga tak bersalah yaitu seseorang tidak boleh dianggap bersalah di bidang hukum sampai dengan adanya keputusan hukum yang berkekuatan tetap.
Akan tetapi masyarakat juga harus sadar bahwa KPK pasti tidak akan sembarangan saja memborgol orang tertentu kalau tidak ada bukti-bukti awal yang cukup.
Sekali pun kasus ini tidak terkait dengan pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden pada 17 April mendatang, masyarakat Indonesia tentu berhak mengaitkan kasus Rommy dengan pesta demokrasi mendatang. Apakah penangkapan Rommy akan mempengaruhi pesta demokrasi 5 tahunan ini?.
Apabila 190,7 juta calon pemilih melihat siaran televisi tentang penangkapan Rommy maka ada beberapa pertanyaan awal yang patut dijawab secepatnya.
Kalau Rommy sama sekali tidak merasa bersalah dalam dugaan kasus transaksi jual beli jabatan di Kemenag maka kenapa dia harus menutup mukanya dengan masker? Apakah kasus ini benar-benar baru pertama kalinya dilakukan ataukah memang sudah berulang kali dilakukan oleh Rommy?
Kemudian apakah peranan menjadi mak comblang bisnis jual beli jabatan ini sudah menjadi sumber penghasilan tetap Ketua Umum DPP PPP ?. Siapa lagi yang terlibat dalam kasus ini ? Pada hari Jumat sejumlah penyidik KPK telah mendatangi kantor pusat Kementerian Agama untuk menyegel sedikitnya dua ruangan beberapa pejabat tertinggi yang seharusnya bebas dari tindak kejahatan.
Rommy yang juga menjadi wakil rakyat mempunyai penghasilan sedikitnya Rp70 juta hingga Rp80 juta tiap bulannya. Selain itu ada berbagai tunjangan lainnya seperti untuk mengunjungi daerah pemilihannya.
Belum cukupkah itu?
Tentu bagi sebagian besar dari 262 juta orang Indonesia mempunyai penghasilan puluhan juta rupiah bagaikan mimpi di siang bolong, karena mencari uang puluhan ribu rupiah saja masih menjadi dambaan.
Harga sembilan bahan pokok yang tinggi saja sudah mengakibatkan puluhan juta emak-emak pusing tujuh keliling. Belum lagi biaya-biaya lain seperti air, listrik, bahan bakar, pendidikan, kesehatan ditambah berbagai pungutan yang resmi maupun tidak resmi.
Di lain pihak sejumlah tokoh nasional berpenghasilan puluhan juta hingga ratusan juta rupiah belum merasa cukup. Haruskah ada korupsi dan penyalahgunaan oleh segelintir pejabat negara ini ? Romi tentu punya sejumlah dalih mengapa dia sampai berbuat kejahatan seperti itu.
Alasan itu misalnya, bahwa penghasilan tidak mencukupi untuk membiayai hidup anak istrinya, alasan untuk membiayai partai dan juga membantu orang yang meminta tolong. Kasus ini juga terjadi pada sejumlah pejabat lainnya.
Pengadilan tindak pidana korupsi telah sukses membuktikan beberapa bupati serta wali kota juga memiliki “hobi” untuk berperan sebagai makelar dalam jual beli jabatan.
Terkait pemilu 2019, rakyat tak lama lagi akan melaksanakan pesta untuk memilih presiden dan wapres masa bakti 2019-2024 dan juga memilih calon wakil rakyat.
Apabila berkaca pada kasus Romi dan sejenis lainnya maka apa yang harus dilakukan seluruh rakyat Indonesia ?
Kasus-kasus kejahatan yang dibongkar KPK membuktikan di Tanah Air masih banyak sekali terdapat orang yang amat tega menyalahgunakan kepercayaan rakyat.
Entah berapa ratus miliar rupiah hingga triliunan yang telah dikorupsi oleh ratusan pejabat itu yang dengan santainya “memakan” uang rakyat.
Komisi Pemilihan Umum sudah mengumumkan sekitar 71 orang mantan terpidana korupsi bisa mencalonkan diri dalam pileg 2019. Entah apa yang mendasarkan mereka hingga mau mengikuti pesta demokrasi ini. Mudah-mudahan mereka sudah seratus persen bertobat kepada Tuhan untuk tidak berbuat curang lagi.
Namun sayangnya kasus ketua umum PPP ini memperlihatkan masih ada saja pemimpin yang tega melakukan kejahatan dengan sadar. Masih banyakkah oknum sekelas Rommy ini ?
Mumpung pemilu masih satu bulan lagi maka 190 juta calon pemilih harus sejak sekarang memikirkan seperti apa pemimpin yang akan dipilih untuk 5 tahun mendatang.
Jangan ada lagi pemimpin rakyat yang gemar melakukan pidana korupsi misalnya mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pudjo Nugroho atau Gubernur Jambi nonaktif Zumi Zola.
Sementara itu 16 partai politik nasional dan empat partai politik lokal di Aceh harus memanfaatkan sisa waktu pencoblosan untuk menjelaskan kepada rakyat bahwa calon wakilnya adalah benar-benar orang yang seratus persen bebas korupsi atau kejahatan lainnya.
Kalau pemerintah dan seluruh parpol tidak menginginkan lagi adanya golput yaitu orang yang tidak mau datang ke TPS karena tidak suka kepada calon-calon pemimpin rakyat maka tampilkanlah calon pemimpin yang baik.
Buktikan bahwa kasus Rommy tidak akan terulang lagi pada masa mendatang karena semua pemimpin sudah sadar benar amanah yang diberikan rakyat Indonesia kepadanya.
Parpol-parpol jangan membiarkan rakyat frustrasi akibat ulah segelintir pemimpin yang tidak tahu diri itu. Sudah siapkah semua parpol tanpa kecuali ?.
*) Penulis adalah wartawan Antara 1982-2018, pernah meliput acara-acara kepresidenan selama tahun 1987-2009.
Pria tersebut tak lain adalah anggota DPR RI yang sangat terhormat, yang juga menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (DPP PPP), Romahurmuziy.
Rommy, panggilan akrab Romahurmuziy, tiba di bandara Soetta setelah ditangkap oleh sejumlah Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Surabaya Jawa Timur.
Dia dibekuk lembaga antirasuah itu karena diduga menerima sejumlah uang "transaksi" jual beli jabatan di Kementerian Agama, pada beberapa daerah termasuk di ibu kota Jakarta. Anggota DPR ini langsung digelandang ke kantor KPK yang terletak di jalan Rasuna Said, Jakarta.
Pimpinan tertinggi PPP ini diduga kuat menerima uang setelah sukses menjadi calo bagi beberapa pejabat Kemenag yang ingin mendapat jabatan tertentu.
Ini bukan kasus pertama bagi partai tersebut karena pada tahun 2014 ketua umum pada saat itu Suryadharma Ali diciduk KPK karena melakukan tindak pidana korupsi terhadap biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH).
Kasus Rommy ini pantas untuk dikaji atau direnungkan, karena beberapa tahun terakhir ini sejumlah tokoh politik yang juga menjadi pimpinan partai ditangkap KPK. Sebut saja nama Anas Urbaningrum yang merupakan ketua umum DPP Partai Demokrat yang juga merupakan wakil rakyat.
Belum lagi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto yang juga menjadi ketua umum DPP Parta Golkar karena terlibat dalam kasus pembuatan KTP elektronik yang nilainya triliunan rupiah.
Belum lagi Ketua DPD Irman Gusman yang juga dibekuk oleh penyidik KPK yang menerima suap seratus juta rupiah dari seorang pengusaha yang berambisi untuk ditunjuk oleh Perum Bulog untuk menjadi importir gula pasir bagi wilayah provinsi Sumatera Barat.
Kasus yang dialami Rommy memang masih gelap gulita karena sampai dengan Sabtu siang 14 Maret 2019 ketua KPK Agus Rahardjo belum memberi keterangan resmi tentang kasus ini.
Jadi masyarakat tentu harus menghormati azas praduga tak bersalah yaitu seseorang tidak boleh dianggap bersalah di bidang hukum sampai dengan adanya keputusan hukum yang berkekuatan tetap.
Akan tetapi masyarakat juga harus sadar bahwa KPK pasti tidak akan sembarangan saja memborgol orang tertentu kalau tidak ada bukti-bukti awal yang cukup.
Sekali pun kasus ini tidak terkait dengan pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden pada 17 April mendatang, masyarakat Indonesia tentu berhak mengaitkan kasus Rommy dengan pesta demokrasi mendatang. Apakah penangkapan Rommy akan mempengaruhi pesta demokrasi 5 tahunan ini?.
Apabila 190,7 juta calon pemilih melihat siaran televisi tentang penangkapan Rommy maka ada beberapa pertanyaan awal yang patut dijawab secepatnya.
Kalau Rommy sama sekali tidak merasa bersalah dalam dugaan kasus transaksi jual beli jabatan di Kemenag maka kenapa dia harus menutup mukanya dengan masker? Apakah kasus ini benar-benar baru pertama kalinya dilakukan ataukah memang sudah berulang kali dilakukan oleh Rommy?
Kemudian apakah peranan menjadi mak comblang bisnis jual beli jabatan ini sudah menjadi sumber penghasilan tetap Ketua Umum DPP PPP ?. Siapa lagi yang terlibat dalam kasus ini ? Pada hari Jumat sejumlah penyidik KPK telah mendatangi kantor pusat Kementerian Agama untuk menyegel sedikitnya dua ruangan beberapa pejabat tertinggi yang seharusnya bebas dari tindak kejahatan.
Rommy yang juga menjadi wakil rakyat mempunyai penghasilan sedikitnya Rp70 juta hingga Rp80 juta tiap bulannya. Selain itu ada berbagai tunjangan lainnya seperti untuk mengunjungi daerah pemilihannya.
Belum cukupkah itu?
Tentu bagi sebagian besar dari 262 juta orang Indonesia mempunyai penghasilan puluhan juta rupiah bagaikan mimpi di siang bolong, karena mencari uang puluhan ribu rupiah saja masih menjadi dambaan.
Harga sembilan bahan pokok yang tinggi saja sudah mengakibatkan puluhan juta emak-emak pusing tujuh keliling. Belum lagi biaya-biaya lain seperti air, listrik, bahan bakar, pendidikan, kesehatan ditambah berbagai pungutan yang resmi maupun tidak resmi.
Di lain pihak sejumlah tokoh nasional berpenghasilan puluhan juta hingga ratusan juta rupiah belum merasa cukup. Haruskah ada korupsi dan penyalahgunaan oleh segelintir pejabat negara ini ? Romi tentu punya sejumlah dalih mengapa dia sampai berbuat kejahatan seperti itu.
Alasan itu misalnya, bahwa penghasilan tidak mencukupi untuk membiayai hidup anak istrinya, alasan untuk membiayai partai dan juga membantu orang yang meminta tolong. Kasus ini juga terjadi pada sejumlah pejabat lainnya.
Pengadilan tindak pidana korupsi telah sukses membuktikan beberapa bupati serta wali kota juga memiliki “hobi” untuk berperan sebagai makelar dalam jual beli jabatan.
Terkait pemilu 2019, rakyat tak lama lagi akan melaksanakan pesta untuk memilih presiden dan wapres masa bakti 2019-2024 dan juga memilih calon wakil rakyat.
Apabila berkaca pada kasus Romi dan sejenis lainnya maka apa yang harus dilakukan seluruh rakyat Indonesia ?
Kasus-kasus kejahatan yang dibongkar KPK membuktikan di Tanah Air masih banyak sekali terdapat orang yang amat tega menyalahgunakan kepercayaan rakyat.
Entah berapa ratus miliar rupiah hingga triliunan yang telah dikorupsi oleh ratusan pejabat itu yang dengan santainya “memakan” uang rakyat.
Komisi Pemilihan Umum sudah mengumumkan sekitar 71 orang mantan terpidana korupsi bisa mencalonkan diri dalam pileg 2019. Entah apa yang mendasarkan mereka hingga mau mengikuti pesta demokrasi ini. Mudah-mudahan mereka sudah seratus persen bertobat kepada Tuhan untuk tidak berbuat curang lagi.
Namun sayangnya kasus ketua umum PPP ini memperlihatkan masih ada saja pemimpin yang tega melakukan kejahatan dengan sadar. Masih banyakkah oknum sekelas Rommy ini ?
Mumpung pemilu masih satu bulan lagi maka 190 juta calon pemilih harus sejak sekarang memikirkan seperti apa pemimpin yang akan dipilih untuk 5 tahun mendatang.
Jangan ada lagi pemimpin rakyat yang gemar melakukan pidana korupsi misalnya mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pudjo Nugroho atau Gubernur Jambi nonaktif Zumi Zola.
Sementara itu 16 partai politik nasional dan empat partai politik lokal di Aceh harus memanfaatkan sisa waktu pencoblosan untuk menjelaskan kepada rakyat bahwa calon wakilnya adalah benar-benar orang yang seratus persen bebas korupsi atau kejahatan lainnya.
Kalau pemerintah dan seluruh parpol tidak menginginkan lagi adanya golput yaitu orang yang tidak mau datang ke TPS karena tidak suka kepada calon-calon pemimpin rakyat maka tampilkanlah calon pemimpin yang baik.
Buktikan bahwa kasus Rommy tidak akan terulang lagi pada masa mendatang karena semua pemimpin sudah sadar benar amanah yang diberikan rakyat Indonesia kepadanya.
Parpol-parpol jangan membiarkan rakyat frustrasi akibat ulah segelintir pemimpin yang tidak tahu diri itu. Sudah siapkah semua parpol tanpa kecuali ?.
*) Penulis adalah wartawan Antara 1982-2018, pernah meliput acara-acara kepresidenan selama tahun 1987-2009.
Pewarta: Arnaz Firman *)
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019