Bandung (ANTARA) - Ketua Tim Kemenangan (TKD) Joko Widodo-KH Maruf Amin Jawa Barat, Dedi Mulyadi mengatakan saat ini yang paling banyak terkena berita bohong, kabar palsu, berita fitnah atau hoaks ialah masyarakat kelas menengah seperti perkotaan atau yang terdidik.
"Dulu bicara tematik atau akademis, tapi sekarang harus ngomong yang sebenarnya. Karena konsumsi medianya bukan media akademik, jadi berita yang tidak masuk akal dipercaya," kata Dedi Mulyadi seusai Deklarasi Alumni Jabar Ngahiji di Monumen Perjuangan, Jalan Dipati Ukur, Kota Bandung, Minggu.
Dia mengatakan harus tegas dalam menanggapi segala bentuk hoaks yang beredar, terutama yang terus dituding kepada pasangan Jokowi-KH Ma`ruf Amin.
Menurut Dedi, hoaks yang menjadi pembicaraan di publik Jawa Barat, banyak dipercaya oleh masyarakat.
Hal tersebut, dinilai mengkhawatirkan jika terus dibiarkan dan Dedi Mulyadi mengatakan salah satu hoaks, seperti dilarangnya berkumandangnya suara adzan.
Menurutnya hal tersebut, sangat tidak masuk akal, karena selama pemerintahan Jokowi saat ini untuk seperti itu tidak ada.
"Apalagi dengan calon wakil presidennya adalah kia Pak Jusuf Kalla juga orang dewan masjid. Sekarang kebebasan beribadah jalan, tempat-tempat ibadah dibangun dan siapa yang mengatakan pelajaran agama dihapus. Jadi tidak masuk akal tapi dipercaya publik," ucapnya.
Oleh karena itu, Ia mengatakan bahwa Jokowi tidak bisa lagi bergaya Jawa yang hanya berupa sindiran halus namun harus mengatakan apa adanya, dalam meluruskan apa yang sebenarnya terjadi.
"Maka Jokowi tidak bisa ngomong bahasa sastra lagi, gaya Solo enggak bisa lagi, tapi harus bahasa Jakarta," katanya, menegaskan.
Selain itu, Dedi menambahkan bahwa pembangunan di Indonesia tidak mudah, termasuk kebudayaan sehingga harus benar-benar yang memahami secara utuh, agar identitas negara tidak hilang.
"Pemimpin sekarang harus bisa mengelola berbagai aspek keberagaman dan bisa memimpin bukan satu komando saja, tapi juga beragam perbedaan yang ada," ujarnya.
Pilpres 2019 diikuti dua pasangan capres, yaitu no urut 01 Jokowi-Ma'ruf Amin dan no urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
"Dulu bicara tematik atau akademis, tapi sekarang harus ngomong yang sebenarnya. Karena konsumsi medianya bukan media akademik, jadi berita yang tidak masuk akal dipercaya," kata Dedi Mulyadi seusai Deklarasi Alumni Jabar Ngahiji di Monumen Perjuangan, Jalan Dipati Ukur, Kota Bandung, Minggu.
Dia mengatakan harus tegas dalam menanggapi segala bentuk hoaks yang beredar, terutama yang terus dituding kepada pasangan Jokowi-KH Ma`ruf Amin.
Menurut Dedi, hoaks yang menjadi pembicaraan di publik Jawa Barat, banyak dipercaya oleh masyarakat.
Hal tersebut, dinilai mengkhawatirkan jika terus dibiarkan dan Dedi Mulyadi mengatakan salah satu hoaks, seperti dilarangnya berkumandangnya suara adzan.
Menurutnya hal tersebut, sangat tidak masuk akal, karena selama pemerintahan Jokowi saat ini untuk seperti itu tidak ada.
"Apalagi dengan calon wakil presidennya adalah kia Pak Jusuf Kalla juga orang dewan masjid. Sekarang kebebasan beribadah jalan, tempat-tempat ibadah dibangun dan siapa yang mengatakan pelajaran agama dihapus. Jadi tidak masuk akal tapi dipercaya publik," ucapnya.
Oleh karena itu, Ia mengatakan bahwa Jokowi tidak bisa lagi bergaya Jawa yang hanya berupa sindiran halus namun harus mengatakan apa adanya, dalam meluruskan apa yang sebenarnya terjadi.
"Maka Jokowi tidak bisa ngomong bahasa sastra lagi, gaya Solo enggak bisa lagi, tapi harus bahasa Jakarta," katanya, menegaskan.
Selain itu, Dedi menambahkan bahwa pembangunan di Indonesia tidak mudah, termasuk kebudayaan sehingga harus benar-benar yang memahami secara utuh, agar identitas negara tidak hilang.
"Pemimpin sekarang harus bisa mengelola berbagai aspek keberagaman dan bisa memimpin bukan satu komando saja, tapi juga beragam perbedaan yang ada," ujarnya.
Pilpres 2019 diikuti dua pasangan capres, yaitu no urut 01 Jokowi-Ma'ruf Amin dan no urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Pewarta: Ajat Sudrajat
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019