London (ANTARA) - Nurfitria Farhana, putri almarhum Prof Tutty Alawiyah, Caleg Partai Berkarya Dapil Jakarta II, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan dan Luar Negeri mengatakan lebih suka memanfaatkan jaringan koresponden untuk menjangkau konstituen di luar negeri.
Menurut dia sulit untuk terjun langsung mempertimbangkan anggaran yang sangat besar dan membutuhkan waktu .
Hal itu terungkap dalam diskusi online yang diadakan Forum diskusi dan aksi koalisi adil makmur (Fordisak) UK, didukung Rumah Juang UK dan Koalisi Adil Makmur UK yang bertema “Optimalisasi Peran DPR Dapil Luar Negeri Dalam Menyuarakan Aspirasi Konstituen, Sabtu.
Menurut Nurfitria Farhana, masyarakat sekarang lebih cerdas dibandingkan dengan sebelumnya keadaan ini membuat pemilih harus mengetahui bibit, bobot, dan bebet dari caleg.
Untuk DPR RI dengan konstituen di luar negeri seharusnya diwakili secara khusus karena jumlahnya juga besar sekitar dua juta lebih konstituen di luar negeri, ujarnya.
Diakuinya memang tidak ada yang memfokuskan di keluar negeri karena didalam negeri untuk menjalani dapil yang ada didalam negeri saja yaitu Jakarta Pusat dan Selatan, mereka merasa kurang cukup waktu untuk melakukan sosialisasi.
Mengingat jumlah pemilih luar negeri yang mencapai lebih dari dua juta, ia mengusulkan untuk kedepannya, dapil luar negeri punya dapil sendiri dan tidak digabung dengan Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan.
Optimalisasi pemilu juga bergantung pada proses yang efisien dan efektif dan bisa mengurangi beban anggaran Negara, sehingga anggaran bisa digunakan untuk pelayanan pasca pemilu seperti melayani warga Negara yang tinggal di luar negeri dengan jumlah TPS yang mencapai 338 titik, 461 kotak suara kelililng dan 154 titik pos.
Dengan kondisi seperti ini tentunya negara memerlukan dukungan logistik yang besar, untuk itu ia mengusulkan sarana teknologi pemungutan suara yang bisa di desain secara efektif dan efisien.
Hal yang paling penting di DPR RI terpilih harus lebih sering melakukan dengar pendapat dengan organisasi warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri, seperti diaspora Indonesia, perhimpunan pelajar, dan organisasi yang lain.
Dalam diskusi juga ditanyakan mengenai dwi kewarganegaraan yang diakuinya sebenarnya tidak menguntungkan bagi orang yang memiliki kewarganegaraan maupun bagi negara yang menjadi asal pemilih dwi kewarganegaraan.
Dengan alasan negara membutuhkan SDM yang diharapkan akan membangun negaranya, sistem dwi kewarganegaraan ini cenderung merugikan negara karena akan kehilangan SDM yang mungkin dibutuhkan untuk membangun di masa depan.
“Mereka yang memiliki dua warga Negara juga dikuatirkan akan terbagi rasa nasionalismenya dan membuat mereka tidak seratus persen berniat membhaktikan diri kepada negaranya.
Solusi, tidak perlu ada UU dwi warga Negara, tetapi Negara harus mengakomodasikan dan mempermudah proses aplikasi setiap orang yang memiliki keturunan sebagai orang Indonesia memilih warga Negara yang diinginkan.
Negara harus memberikan tempat bagi mereka untuk memiliki kewarganegaraan ganda agar mereka tetap merasa menjadi orang Indonesia dan akhirnya memilih menjadi warga Negara Indonesia.
Warga Negara Indonesia di luar negeri khususnya di negara maju, sebenarnya hak dan kewajiban hampir tidak ada bedanya. Perbedaan yang paling mendasar adalah sebagai WNI yang tinggal di luar negeri tidak bisa ikut pemilu Negara yang ditempati. Tetapi mendapatkan hak lain yang sama seperti buka rekening bank, beli mobil, rumah, jaminan kesehatan, pendidikan. Sedangkan bagi WNA tidak bisa membuka rekening bank, atau beli properti di Indonesia, demikian Nurfitria. ***2***
Baca juga: NasDem optimistis tambah kursi DPR dari DKI Jakarta
Baca juga: Nama-nama caleg dari dapil DKI Jakarta berpeluang terpilih ke DPR
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019