Menyikapi serbuan informasi

Delapan parpol penuhi ambang batas parlemen, PDIP suara terbanyak
Warga memegang poster berisi ajakan menolak berita hoax saat mengikuti deklarasi internet sosial media sehat, di Medan, Sumatera Utara. Kegiatan yang digelar pegiat sosial media dan Polrestabes Medan tersebut mengajak masyarakat cerdas menggunakan internet dan menolak berita hoax. (ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi)
Oleh Drs. Gunawan Witjaksana, M.si. *)

Akhir-akhir ini, utamanya pada tahun politik menjelang pemilihan umum (pemilu) serentak, 17 April 2019, serbuan informasi kepada masyarakat diibaratkan bak terjadinya tsunami.

Berbagai informasi (utamanya informasi politik) menyeruak ke tengah-tengah masyarakat dan sangat mustahil dibendung.

Kemajuan teknologi informasi, utamanya internet dengan berbagai fitur ikutannya yang lebih populer dengan sebutan media sosial (medsos) digunakan oleh berbagai kalangan untuk saling memberikan, bahkan menyebarluaskan informasi politik yang makin hari intensitasnya makin bertambah.

Sayangnya banyak sekali informasi yang sering kali menggunakan asumsi subjektif ataupun data yang cukup sulit dipertanggungjawabkan. Banyak kalangan yang menyebut informasi semacam itu dengan sebutan popular hoaks.

Informasi abal-abal semacam itu makin hari intensitasnya makin tinggi. Meski ancaman sanksi berdasarkan peraturan perundangan-undangan sering disosialisasikan, bahkan ada beberapa di antaranya yang terjerat hukum. Namun, bak angin lalu, seolah urat takutnya sudah mati.

Pertanyaannya, bagaimana sebaiknya masyarakat menyikapi bila mereka terpapar oleh informasi-informasi atau mungkin opini abal-abal semacam itu? Dilihat dari sisi komunikasi, penyebarluasan informasi semacam itu sebenarnya menguntungkan atau merugikan, baik bagi yang menyebar ataupun masyarakat awam yang terpapar?

Layak Ekspose

Bagi orang yang belajar Ilmu Komunikasi atau mereka yang paham ilmu serta etika jurnalistik, sebelum menyebarkan informasi, harus dilihat dahulu, baik secara hukum maupun etika jurnalistik, apakah informasi yang akan disebarluaskan tersebut layak ekspose (fit to expose) atau tidak. Orang yang belajar Ilmu Jurnalistik tentu sangat paham hal tersebut.

Sayangnya, dengan telepon pintar (smart phone) saat ini, banyak sekali wartawan tiban, yang seolah menempatkan diri sebagai wartawan namun tidak memiliki ilmu yang memadai. Diperparah dengan mereka yang cukup piawai menggunakan smart phone, namun tidak faham tugas serta tanggung jawab media, banyak memunculkan sejumlah situs daring (online) menyerupai media massa daring namun tidak jelas secara kelembagaan, penanggungjawabnya, bahkan alamatnya pun fiktif.

Penulis sering menyebut situs-situs semacam itu sebagai "tidak jelas.com". Sayangnya masyarakat, khususnya para pengguna smart phone yang awan tidak memahaminya sehingga tatkala mereka membaca atau memperoleh pembagian link atau bahkan informasi, foto, ataupun video melalui medsosnya, tanpa pikir panjang langsung mereka bagikan ke teman serta grup-grup yang mereka masing-masing ikuti.

Kaprah

Pertanyaannya, mengapa rata-rata mereka melakukan itu? Dari sisi komunikasi terdapat teori bahwa bila seseorang menerima informasi, pada saat itu dia tidak memiliki informasi pembanding, maka penerima informasi tersebut cenderung memercayainya. Mereka yang dalam kondisi itulah yang dengan cepat serta-merta membagikannya kepada pihak lain agar dianggap sigap serta kaya informasi, tanpa memperhitungkan dampak yang terjadi kemudian.

Mereka juga tidak memahami (karena tidak melek fungsi internet sebagai media massa) bahwa media sosial yang mereka miliki itu adalah bagian dari internet, yang dikategorikan sebagai media massa dengan kekuatan serta dampaknya yang luar biasa.

Bagi mereka yang paham ilmu komunikasi serta etika jurnalistik, tatkala terpapar informasi seharusnya mengonfirmasinya baik dengan media arus utama maupun dengan mereka yang dipandang memiliki pengetahuan serta pengalaman yang memadai. Mereka inilah yang di lapangan sering mengingatkan teman atau grupnya untuk tidak menyebarluaskan info abal-abal tersebut, meski sering berdampak pahit, karena dianggap memihak salah satu calon.

Banyaknya orang yang tidak melek internet, khususnya medsos itulah, yang solah saat ini terkesan bahwa masyarakat Indonesia itu terbelah. Padahal, kenyataannya di tengah masyarakat sebetulnya tidak terjadi apa pun.
Mal-mal, pasar-pasar tradisional, serta tempat-tempat lainnya, termasuk tempat-tempat hiburan, tetap ramai seperti biasa. Hubungan antartetangga serta pertemanan juga tidak berubah, kecuali ketika sedang membicarakan kandidat Presiden dan Wakilnya, utamanya bila mereka bertentangan.

Itu pun hanya terbatas pada diskusi, serta tidak berlanjut pada pertentangan atau pun benturan yang tidak diharapkan. Tampaknya sifat masyarakat Indonesia yang rata-rata guyup rukun serta memiliki toleransi yang tinggi tetap mengalahkan kehebohan antara dua pendukung yang sering terkesan mengkhawatirkan.

Mencermati

Berpuasa internet atau medsos saat ini merupakan hal yang mustahil. Kemajuan teknologi komunikasi tidaklah perlu kita jauhi atau kita hindari. Yang lebih bijak adalah selalu berhati-hati dalam memilih, menyaring atau bahkan menyampaikan informasi serta gagasan melalui media.

Sebuah prinsip yang menyebut bahwa "komunikasi itu tidak bisa diubah serta diperbaiki" harus kita perhatikan. Toh, para leluhur kita pun pernah berpesan "sabda pandhito ratu tan keno wola-wali, serta ajining diri jalaran soko lathi".

Intinya kita harus sangat berhati-hati baik dalam berbicara maupun menyebarluaskan informasi. Informasi, terlebih yang sudah menyebar, apalagi viral, sangat sulit untuk diralat. Hanya olok-olok serta kecamanlah yang didapat, dan itu merupakan konsekwensi dari kecerobohan yang kita lakukan.

Pemilu serentak yang saat itu sangat tersederhanakan seolah hanya pemilihan presiden dan wakil presiden, hakikatnya hanyalah sebuah kompetisi lima tahunan, yang siapa pun kandidatnya, tujuannya sama yaitu demi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta kesejahteraan rakyatnya berdasarkan Pancasila serta UUD NRI Tahun 1945.

Oleh karena itu, sangatlah na?f, siapa pun mereka, bila tujuan mulia tersebut hanya digunakan sebagai dalih, hanya untuk kepentingan terselubung, terlebih bila ingin memporakporandakan NKRI. Setiap warga negara pun perlu bersikap arif, bijaksana, serta saling berhati-hati.

Yang perlu kita ingat serta kita hindari adalah tujuan menghalalkan segala cara, dan perlu kita ganti menjadi bahwa tujuan mulia, perlu kita raih dengan cara serta jalan yang mulia pula. Salam damai dan sejahtera. NKRI adalah aset kita yang harus kita jaga bersama-sama dengan sekuat tenaga serta pikiran kita semua.

*) Penulis adalah dosen dan Ketua STIKOM Semarang.

Baca juga: Olga Lidya ingatkan masyarakat tak buru-buru percaya informasi dari medsos
Baca juga: Masyarakat diimbau tak mudah terpengaruh informasi medsos
Pewarta:
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019
Presiden membuka Munas Alim Ulama Konbes NU Sebelumnya

Presiden membuka Munas Alim Ulama Konbes NU

Logistik Pilkada untuk Kabupaten Tangerang mulai didistribusikan ke TPS Selanjutnya

Logistik Pilkada untuk Kabupaten Tangerang mulai didistribusikan ke TPS