Jakarta (ANTARA News) - Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan KorupsI (KPK) Zulkarnain menghimbau masyarakat pemilih harus melihat rekam jejak caleg dan partai politik dalam menentukan pilihan di pemilu 2019 mendatang sehingga tidak memilih caleg dan partai politik pengusung eks napi koruptor.
"Karena itu integritas partai politik juga harus menjadi perhatian. Sebab masyarakat juga sudah mulai kritisi dalam melihat rekam jejak ini," kata mantan pimpinan Komisi Pemberantasan KorupsI (KPK) Zulkarnain dalam keterangan yang diterima, Selasa.
Sebanyak 81 Daftar caleg, baik DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, maupun DPD mantan narapidana korupsi, beserta partai politik pengusungnya yang telah diumumkan KPU dapat menjadi acuan dalam menilai rekam jejak.
Menurut Zulkarnain, daftar mantan caleg koruptor yang diumumkan KPU itu bisa membantu publik dalam menentukan pilihan.
Ia menyebutkan berdasarkan pengalaman-pengalaman pemberantasan korupsi, soal rekam jejak tak bisa dipandang enteng.
“Calon legislatif yang rekam jejaknya bermasalah, berpotensi juga membuat masalah ketika sudah terpilih," paparnya.
Di sisi lain, partai politik harus semakin didorong untuk menampilkan calon legislatif yang betul-betul memiliki integritas yang baik.
Apalagi sampai saat ini masih banyak partai politik yang justru mencalonkan politisi yang memiliki rekam jejak buruk.
Selain NasDem dan PSI, partai peserta Pemilu 209 masih mencalonkan orang-orang yang integritasnya meragukan karena pernah menjadi narapidana kasus korupsi.
Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai keterlibatan para caleg mantan narapidana korupsi tidak lepas dari peran partai yang mengusungnya.
Harusnya, kata dia, partai menjadi "penjaga gerbang" untuk mengusung kader terbaik mereka dalam kontestasi Pemilu.
"Sehingga kontestasi politik menominasikan mereka untuk menjadi caleg di Pemilu. Akhirnya ditangkap publik sebagai kegagalan partai yang menyajikan kader-kader terbaik mereka yang bebas dari masalah hukum. Nah, mestinya parpol sebagai penyaring dan betul-betul memastikan seleksi berbasi kaderisasi dan berbasis rekrutmen demokratis," katanya.
Namun yang terjadi partai politik, selain NasDem dan PSI, malah mengusung caleg punya problem terkait pelaksanaan tanggung jawab yang berkaitan dengan keuangan negara.
Seharusnya pesta politik tidak membolehkan pemilih ada pada resiko, walaupun Titi tidak bisa memprediksi akan berdampak kepada suara partai pengusung caleg mantan narapidana korupsi itu atau tidak.
Menurut dia, dalam praktiknya ada beberapa mantan narapidana korupsi justru terpilih kembali.
"Terhadap partai, ternyata, memang tidak berhasil mengusung kader terbaiknya. Partai masih mencalonkan caleg yang memiliki potensi masalah dan memiliki resiko bagaimanapun mereka pernah menjadi terpidana korupsi. Apalagi, jabatan yang mereka pilih berkaitan dengan uang negara," tuturnya.
Titi pun mengapresiasi NasDem dan PSI yang tidak mengusung caleg mantan narapidana korupsi, artinya kedua Parpol tersebut punya komitmen menjalankan peran sebagai penyaring kader yang tidak terlibat masalah hukum akrena bisa membawa risiko pemilih.
"Jadi patut diapresiasi, artinya kalau partai mau mampu untuk mengusung calon yang tidak pernah menjadi terpidana korupsi. Artinya, mereka bisa mencalonkan kader terbaik," katanya.
Mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay mendukung sikap penyelenggara pemilu yang merilis partai politik yang masih menampung caleg eks napi koruptor.
Dengan begitu, masyarakat akan mengetahui secara jelas partai yang pro terhadap pemberantasan korupsi dan tidak.
"Hal yang positif dari bentuk pelayanan infomasi agi para pemilih. Jadi pemilih perlu banyak inofmasi sebelum memilih. Jadi dikeluarkannya daftar yang resmi maka semua pihak akan lebih lancar dan keraguan karena penyelenggara resmi membukanya," katanya.
Hadar menambahkan, baiknya penyelenggara Pemilu juga mengumumkan nama caleg mantan narapidana korupsi di daerah. Alasannya, di beberapa daerah internet tidak mudah diakses karena jaringan terbatas.
Intinya, lanjut dia, panitia pemilu harus menyediakan informasi yang cukup banyak kepada pemilih. Sehingga pemilih tidak gelap apa yang mereka pilih.
"Kita juga ingin memilih orang yang terbaik. KPU juga harus membuka CV caleg yang tidak mau buka. Itu aneh betul mereka tidak mau diketahui riwayat hidupnya," ucapnya.
Baca juga: KPU umumkan 49 caleg bekas napi korupsi
Baca juga: NasDem coret dua bacaleg mantan napi korupsi
"Karena itu integritas partai politik juga harus menjadi perhatian. Sebab masyarakat juga sudah mulai kritisi dalam melihat rekam jejak ini," kata mantan pimpinan Komisi Pemberantasan KorupsI (KPK) Zulkarnain dalam keterangan yang diterima, Selasa.
Sebanyak 81 Daftar caleg, baik DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, maupun DPD mantan narapidana korupsi, beserta partai politik pengusungnya yang telah diumumkan KPU dapat menjadi acuan dalam menilai rekam jejak.
Menurut Zulkarnain, daftar mantan caleg koruptor yang diumumkan KPU itu bisa membantu publik dalam menentukan pilihan.
Ia menyebutkan berdasarkan pengalaman-pengalaman pemberantasan korupsi, soal rekam jejak tak bisa dipandang enteng.
“Calon legislatif yang rekam jejaknya bermasalah, berpotensi juga membuat masalah ketika sudah terpilih," paparnya.
Di sisi lain, partai politik harus semakin didorong untuk menampilkan calon legislatif yang betul-betul memiliki integritas yang baik.
Apalagi sampai saat ini masih banyak partai politik yang justru mencalonkan politisi yang memiliki rekam jejak buruk.
Selain NasDem dan PSI, partai peserta Pemilu 209 masih mencalonkan orang-orang yang integritasnya meragukan karena pernah menjadi narapidana kasus korupsi.
Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai keterlibatan para caleg mantan narapidana korupsi tidak lepas dari peran partai yang mengusungnya.
Harusnya, kata dia, partai menjadi "penjaga gerbang" untuk mengusung kader terbaik mereka dalam kontestasi Pemilu.
"Sehingga kontestasi politik menominasikan mereka untuk menjadi caleg di Pemilu. Akhirnya ditangkap publik sebagai kegagalan partai yang menyajikan kader-kader terbaik mereka yang bebas dari masalah hukum. Nah, mestinya parpol sebagai penyaring dan betul-betul memastikan seleksi berbasi kaderisasi dan berbasis rekrutmen demokratis," katanya.
Namun yang terjadi partai politik, selain NasDem dan PSI, malah mengusung caleg punya problem terkait pelaksanaan tanggung jawab yang berkaitan dengan keuangan negara.
Seharusnya pesta politik tidak membolehkan pemilih ada pada resiko, walaupun Titi tidak bisa memprediksi akan berdampak kepada suara partai pengusung caleg mantan narapidana korupsi itu atau tidak.
Menurut dia, dalam praktiknya ada beberapa mantan narapidana korupsi justru terpilih kembali.
"Terhadap partai, ternyata, memang tidak berhasil mengusung kader terbaiknya. Partai masih mencalonkan caleg yang memiliki potensi masalah dan memiliki resiko bagaimanapun mereka pernah menjadi terpidana korupsi. Apalagi, jabatan yang mereka pilih berkaitan dengan uang negara," tuturnya.
Titi pun mengapresiasi NasDem dan PSI yang tidak mengusung caleg mantan narapidana korupsi, artinya kedua Parpol tersebut punya komitmen menjalankan peran sebagai penyaring kader yang tidak terlibat masalah hukum akrena bisa membawa risiko pemilih.
"Jadi patut diapresiasi, artinya kalau partai mau mampu untuk mengusung calon yang tidak pernah menjadi terpidana korupsi. Artinya, mereka bisa mencalonkan kader terbaik," katanya.
Mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay mendukung sikap penyelenggara pemilu yang merilis partai politik yang masih menampung caleg eks napi koruptor.
Dengan begitu, masyarakat akan mengetahui secara jelas partai yang pro terhadap pemberantasan korupsi dan tidak.
"Hal yang positif dari bentuk pelayanan infomasi agi para pemilih. Jadi pemilih perlu banyak inofmasi sebelum memilih. Jadi dikeluarkannya daftar yang resmi maka semua pihak akan lebih lancar dan keraguan karena penyelenggara resmi membukanya," katanya.
Hadar menambahkan, baiknya penyelenggara Pemilu juga mengumumkan nama caleg mantan narapidana korupsi di daerah. Alasannya, di beberapa daerah internet tidak mudah diakses karena jaringan terbatas.
Intinya, lanjut dia, panitia pemilu harus menyediakan informasi yang cukup banyak kepada pemilih. Sehingga pemilih tidak gelap apa yang mereka pilih.
"Kita juga ingin memilih orang yang terbaik. KPU juga harus membuka CV caleg yang tidak mau buka. Itu aneh betul mereka tidak mau diketahui riwayat hidupnya," ucapnya.
Baca juga: KPU umumkan 49 caleg bekas napi korupsi
Baca juga: NasDem coret dua bacaleg mantan napi korupsi
Pewarta: Joko Susilo
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019