Oleh Arnaz Firman *)
Sambil menangis terisak-isak, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Eni Maulani Saragih, Selasa (19/2), di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (19/2).
Ia meminta maaf kepada rakyat Indonesia atas tuduhan yang ditimpakan terhadap dirinya dalam kasus pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau I.
Wakil rakyat itu harus menerima kenyataan bahwa dirinya dituntut hukuman penjara delapan tahun dalam sidang tersebut.
Dalam kasus yang diduga melibatkan sogokan yang sekarang lazim disebut sebagai comitment fee, Idrus Marham yang baru diangkat sebagai Menteri Sosial pada awal 2018, juga terpaksa harus mengundurkan diri pada Agustus 2018. Untuk selanjutnya, posisi menteri itu diisi oleh Agus Gumiwang Kartasasmita.
Ternyata kasus PLTU Riau I ini juga berdampak terhadap mantan Ketua DPR Setya Novanto. Setya Novanto, sudah dijatuhi hukuman 15 tahun penjara dalam kasus pembuatan Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-E).
Sementara itu, di DPRD Sumatera Utara, puluhan anggota DPRD Sumut sudah menjadi terpidana karena terbukti melakukan kongkalikong dengan mantan Gubernur Sumut Gatot Pudjo Nugroho.
Gatot terbukti "bekerja sama" dengan DPRD setempat dengan memberikan uang sogokan miliar rupiah kepada para wakil rakyat "terhormat" itu.
Kasus yang kurang lebih sama juga terjadi di Provinsi Jambi karena Gubernur nonaktif, Zumi Zola, terbukti menyogok para wakil rakyat setempat dalam kasus pembahasan RAPBD.
Padahal sebelumnya, Zumi Zola berkali-kali berkelit dengan menyatakan tak pernah sekali pun juga menyuap wakil-wakil rakyat setempat.
Dari Malang, Jawa Timur diperiksa atau diselidiki 41 anggota DPRD setempat yang diduga "bermain- main" dengan uang yang diperkirakan miliaran rupiah bersama Pemerintah Kabupaten Malang tersebut.
Umumkan
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia baru saja mengumumkan bahwa jumlah bekas terpidana korusi yang bakal mengikuti pemilihan umum legislatif telah bertambah dari 49 menjadi 81 orang karena adanya tambahan 31 orang.
Namun, kali ini tidak ada tambahan mantan terpidana korupsi untuk lembaga negara Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Sementara itu, DPR RI tidak "disusupi" sama sekali oleh mantan-mantan terpidana korupsi.
Oleh karena itu, 192,8 juta calon pemilih dan juga kurang lebih 262 juta rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia tentu berhak bertanya kepada belasan partai politik tingkat nasional dan beberapa partai politik tingkat daerah di Provinsi Aceh, mengapa jumlah mantan terpidana korupsi bukannya berkurang tetapi kok malahan bertambah?
Seorang tokoh partai politik pernah mengungkapkan bahwa parpol menghadapi kesulitan untuk memeriksa atau menyeleksi satu per satu bakal calon wakil rakyat, mulai dari DPRD tingkat provinsi, kota, hingga kabupaten.
Rakyat tentu berhak balik bertanya kepada para pimpinan parpol di daerah-daerah apakah mereka memang benar-benar menghadapi masalah untuk menyeleksi bakal calon wakil rakyat itu, ataukah mereka cuma malas bekerja keras demi seluruh rakyat Indonesia.
Puluhan mantan terpidana korupsi itu memang sudah keluar dari bui atau lembaga pemasyarakatan. Namun, pertanyaan yang amat layak diajukan kepada mereka apakah mereka benar-benar sudah kapok mejadi koruptor sehingga sekarang ingin menjadi wakil rakyat yang amanah terhadap orang-orang yang bakal diwakilinya itu?
Kalau pada masa lalu mereka pernah "memakai" uang rakyat yang tercantum dalam APBD secara ilegal, maka sekarang apa jaminannya bahwa kalau nantinya terpilih sebagai anggota DPD hingga DPRD provinsi/kabupaten/kota hanya benar-benar menggantungkan diri kepada honor sebagai wakil rakyat?
Apabila sekali lagi misalnya mereka diberi amanah untuk menjadi wakil rakyat di DPD, DPR, dan DPRD, namun belakang hari terbukti secara hukum kembali melakukan korupsi, maka apa yang bakal mereka lakukan?
Sebanyak 81 bekas terpidana itu harus ingat kepada kasus yang menimpa mantan Ketua DPD Irman Gusman yang dipenjara gara-gara "hanya" menerima uang sogok senilai Rp100 juta dari seorang pengusaha yang berambisi ditunjuk menjadi importir gula putih untuk provinsi, kota, dan kabupaten di Provinsi Sumatera Barat oleh Perum Bulog.
Gara-gara Irman Gusman terjungkal dari "kursi empuknya" itu, posisi ketua DPD, hingga saat ini masih terus diperebutkan.
Pemilihan anggota legislatif tinggal dua bulan lagi, yakni 17 April 2019. Jadi calon-calon anggota DPD, DPRD kabupaten, kota, dan provinsi yang sudah diberi "gelar kehormatan" bekas terpidana korupsi harus sadar bahwa mereka masih diberi kepercayaan untuk mengikuti Pemilu 2019.
Jadi haruskah kehormatan ini kembali akan disia-siakan akibat ulah jahat yang mereka rancang lagi?
Puluhan juta rakyat Indonesia harus hidup di bawah garis kemiskinan. Jadi para anggota lembaga-lembaga legislatif ini harus sadar karena masih diberi nyawa oleh Tuhan Yang Maha Esa dan Kuasa.
Oleh karena itu, kalau mereka diberi amanah lagi untuk menjadi anggota DPD, DPRD kota, kabupaten, dan provinsi, maka jangan sekalipun menyia-nyiakan kepercayaan atau amanah ini.
Jadilah wakil-wakil rakyat yang benar-benar bertanggung jawab kepada masyarakat Indonesia serta terhadap Sang Pencipta yang Maha Kuasa, yang setiap saat bisa mencabut nyawa mereka.*
*) Penulis adalah wartawan LKBN Antara tahun 1982-2018, pernah meliput acara-acara kepresidenan tahun 1987-2009.
Baca juga: Menanti wakil rakyat yang tak lagi terjerat kasus korupsi
Baca juga: Tak malukah wakil rakyat terus "diburu" KPK?
Sambil menangis terisak-isak, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Eni Maulani Saragih, Selasa (19/2), di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (19/2).
Ia meminta maaf kepada rakyat Indonesia atas tuduhan yang ditimpakan terhadap dirinya dalam kasus pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau I.
Wakil rakyat itu harus menerima kenyataan bahwa dirinya dituntut hukuman penjara delapan tahun dalam sidang tersebut.
Dalam kasus yang diduga melibatkan sogokan yang sekarang lazim disebut sebagai comitment fee, Idrus Marham yang baru diangkat sebagai Menteri Sosial pada awal 2018, juga terpaksa harus mengundurkan diri pada Agustus 2018. Untuk selanjutnya, posisi menteri itu diisi oleh Agus Gumiwang Kartasasmita.
Ternyata kasus PLTU Riau I ini juga berdampak terhadap mantan Ketua DPR Setya Novanto. Setya Novanto, sudah dijatuhi hukuman 15 tahun penjara dalam kasus pembuatan Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-E).
Sementara itu, di DPRD Sumatera Utara, puluhan anggota DPRD Sumut sudah menjadi terpidana karena terbukti melakukan kongkalikong dengan mantan Gubernur Sumut Gatot Pudjo Nugroho.
Gatot terbukti "bekerja sama" dengan DPRD setempat dengan memberikan uang sogokan miliar rupiah kepada para wakil rakyat "terhormat" itu.
Kasus yang kurang lebih sama juga terjadi di Provinsi Jambi karena Gubernur nonaktif, Zumi Zola, terbukti menyogok para wakil rakyat setempat dalam kasus pembahasan RAPBD.
Padahal sebelumnya, Zumi Zola berkali-kali berkelit dengan menyatakan tak pernah sekali pun juga menyuap wakil-wakil rakyat setempat.
Dari Malang, Jawa Timur diperiksa atau diselidiki 41 anggota DPRD setempat yang diduga "bermain- main" dengan uang yang diperkirakan miliaran rupiah bersama Pemerintah Kabupaten Malang tersebut.
Umumkan
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia baru saja mengumumkan bahwa jumlah bekas terpidana korusi yang bakal mengikuti pemilihan umum legislatif telah bertambah dari 49 menjadi 81 orang karena adanya tambahan 31 orang.
Namun, kali ini tidak ada tambahan mantan terpidana korupsi untuk lembaga negara Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Sementara itu, DPR RI tidak "disusupi" sama sekali oleh mantan-mantan terpidana korupsi.
Oleh karena itu, 192,8 juta calon pemilih dan juga kurang lebih 262 juta rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia tentu berhak bertanya kepada belasan partai politik tingkat nasional dan beberapa partai politik tingkat daerah di Provinsi Aceh, mengapa jumlah mantan terpidana korupsi bukannya berkurang tetapi kok malahan bertambah?
Seorang tokoh partai politik pernah mengungkapkan bahwa parpol menghadapi kesulitan untuk memeriksa atau menyeleksi satu per satu bakal calon wakil rakyat, mulai dari DPRD tingkat provinsi, kota, hingga kabupaten.
Rakyat tentu berhak balik bertanya kepada para pimpinan parpol di daerah-daerah apakah mereka memang benar-benar menghadapi masalah untuk menyeleksi bakal calon wakil rakyat itu, ataukah mereka cuma malas bekerja keras demi seluruh rakyat Indonesia.
Puluhan mantan terpidana korupsi itu memang sudah keluar dari bui atau lembaga pemasyarakatan. Namun, pertanyaan yang amat layak diajukan kepada mereka apakah mereka benar-benar sudah kapok mejadi koruptor sehingga sekarang ingin menjadi wakil rakyat yang amanah terhadap orang-orang yang bakal diwakilinya itu?
Kalau pada masa lalu mereka pernah "memakai" uang rakyat yang tercantum dalam APBD secara ilegal, maka sekarang apa jaminannya bahwa kalau nantinya terpilih sebagai anggota DPD hingga DPRD provinsi/kabupaten/kota hanya benar-benar menggantungkan diri kepada honor sebagai wakil rakyat?
Apabila sekali lagi misalnya mereka diberi amanah untuk menjadi wakil rakyat di DPD, DPR, dan DPRD, namun belakang hari terbukti secara hukum kembali melakukan korupsi, maka apa yang bakal mereka lakukan?
Sebanyak 81 bekas terpidana itu harus ingat kepada kasus yang menimpa mantan Ketua DPD Irman Gusman yang dipenjara gara-gara "hanya" menerima uang sogok senilai Rp100 juta dari seorang pengusaha yang berambisi ditunjuk menjadi importir gula putih untuk provinsi, kota, dan kabupaten di Provinsi Sumatera Barat oleh Perum Bulog.
Gara-gara Irman Gusman terjungkal dari "kursi empuknya" itu, posisi ketua DPD, hingga saat ini masih terus diperebutkan.
Pemilihan anggota legislatif tinggal dua bulan lagi, yakni 17 April 2019. Jadi calon-calon anggota DPD, DPRD kabupaten, kota, dan provinsi yang sudah diberi "gelar kehormatan" bekas terpidana korupsi harus sadar bahwa mereka masih diberi kepercayaan untuk mengikuti Pemilu 2019.
Jadi haruskah kehormatan ini kembali akan disia-siakan akibat ulah jahat yang mereka rancang lagi?
Puluhan juta rakyat Indonesia harus hidup di bawah garis kemiskinan. Jadi para anggota lembaga-lembaga legislatif ini harus sadar karena masih diberi nyawa oleh Tuhan Yang Maha Esa dan Kuasa.
Oleh karena itu, kalau mereka diberi amanah lagi untuk menjadi anggota DPD, DPRD kota, kabupaten, dan provinsi, maka jangan sekalipun menyia-nyiakan kepercayaan atau amanah ini.
Jadilah wakil-wakil rakyat yang benar-benar bertanggung jawab kepada masyarakat Indonesia serta terhadap Sang Pencipta yang Maha Kuasa, yang setiap saat bisa mencabut nyawa mereka.*
*) Penulis adalah wartawan LKBN Antara tahun 1982-2018, pernah meliput acara-acara kepresidenan tahun 1987-2009.
Baca juga: Menanti wakil rakyat yang tak lagi terjerat kasus korupsi
Baca juga: Tak malukah wakil rakyat terus "diburu" KPK?
Pewarta: -
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019