Surabaya (ANTARA News) - Presiden Joko Widodo meminta agar semburan hoaks (berita bohong) dan cara firehose of falsehood dalam berpolitik harus dihentikan.
"Cara-cara politik seperti ini harus diakhiri, menyampaikan semburan dusta, semburan fitnah, semburan hoaks, teori propaganda Rusia yang kalau nanti tidak benar lalu minta maaf, tapi besoknya keluar lagi pernyataan seperti itu lalu minta maaf lagi," kata Presiden Joko Widodo di kantor redaksi Jawa Pos, Graha Pena, Surabaya pada Sabtu.
Presiden Joko Widodo bersama dengan Ibu Negara Iriana Joko Widodo dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengunjungi kantor redaksi Jawa Pos Grup di gedung Graha Pena dalam kegiatan kunjungan kerja ke Jawa Timur.
Propaganda Rusia yang dimaksud adalah teknik firehose of falsehood atau selang pemadam kebakaran atas kekeliruan yang dimunculkan oleh lembaga konsultasi politik Amerika Serikat Rand Corporation pada 2016.
Rand Corporation menganalisis mengenai cara berpolitik mengunakan teknik kebohongan yang diproduksi secara masif dan simultan melalui media-media pemberitaan yang mereka miliki.
"Saya kira tidak bisa cara-cara seperti ini diteruskan dalam pemilihan gubernur, pemilihan bupati, pemilihan presiden. Kita ingin mengedukasi masyarakat, memberikan pelajaran yang baik, sopan santun di politik itu ada dan saya rasa media memegang peran sangat penting dalam hal ini," tambah Presiden.
Presiden pun menilai saat ini marak politik viral yang sesungguhnya sah-sah saja namun harus dibarengi dengan etika dan tata krama.
"Saat ini kalau kita lihat, semua ini kan diviralkan, meski sekarang ini politik viral atau viral politik sebetulnya tidak apa-apa tapi jangan memakai cara-cara yang menurut saya tidak pantas padahal kita memiliki tata krama, etika, budi pekerti, adat yang harus kita junjung," jelas Presiden.
Apalagi semburan hoaks dan propaganda Rusia itu diulang-ulang berkali-kali dalam kontestasi pemilihan kepala daerah maupun pemilihan presiden. Meski begitu hal tersebut dilihat Presiden sebagai proses yang mendewasakan masyarakat.
"Es degan saat minum pertama kalinya enak, tapi diberikan terus-terusan, 10 kali sampai 15 kali jadi muntah dan kapok dan tidak minta lagi. Ini sesungguhnya proses mendewasakan kita, mematangkan kita untuk menyaring berita-berita yang tidak baik, mungkin juga bisa memintarkan, memandaikan kita," ungkap Presiden.
Namun Presiden juga melihat bahwa media massa baik cetak maupun elektronik juga cenderung memberitakan berita-berita viral.
"Tapi saya melihat media cetak atau elektronik sering mengikuti apa yang viral, kadang tidak baik juga. Orientasinya saya melihat ke sana, maaf juga tapi jadinya membuat yang aneh-aneh," tambah Presiden.
Meski begitu, Presiden mengakui bahwa semburan hoaks tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia.
"Tapi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, hampir semua kepala negara, pemerintah yang saya temui mengeluhkan ke saya. 'Pak Jokowi, di negara kita ini begini, begini, bagaimana masalah media sosial Indonesia? Saya jawab di Indonesia bisa lebih kejam dari itu, saya jawab (yang terjadi di sana) biasa saja, di sini (Indonesia) lebih kejam," kata Presiden.
"Cara-cara politik seperti ini harus diakhiri, menyampaikan semburan dusta, semburan fitnah, semburan hoaks, teori propaganda Rusia yang kalau nanti tidak benar lalu minta maaf, tapi besoknya keluar lagi pernyataan seperti itu lalu minta maaf lagi," kata Presiden Joko Widodo di kantor redaksi Jawa Pos, Graha Pena, Surabaya pada Sabtu.
Presiden Joko Widodo bersama dengan Ibu Negara Iriana Joko Widodo dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengunjungi kantor redaksi Jawa Pos Grup di gedung Graha Pena dalam kegiatan kunjungan kerja ke Jawa Timur.
Propaganda Rusia yang dimaksud adalah teknik firehose of falsehood atau selang pemadam kebakaran atas kekeliruan yang dimunculkan oleh lembaga konsultasi politik Amerika Serikat Rand Corporation pada 2016.
Rand Corporation menganalisis mengenai cara berpolitik mengunakan teknik kebohongan yang diproduksi secara masif dan simultan melalui media-media pemberitaan yang mereka miliki.
"Saya kira tidak bisa cara-cara seperti ini diteruskan dalam pemilihan gubernur, pemilihan bupati, pemilihan presiden. Kita ingin mengedukasi masyarakat, memberikan pelajaran yang baik, sopan santun di politik itu ada dan saya rasa media memegang peran sangat penting dalam hal ini," tambah Presiden.
Presiden pun menilai saat ini marak politik viral yang sesungguhnya sah-sah saja namun harus dibarengi dengan etika dan tata krama.
"Saat ini kalau kita lihat, semua ini kan diviralkan, meski sekarang ini politik viral atau viral politik sebetulnya tidak apa-apa tapi jangan memakai cara-cara yang menurut saya tidak pantas padahal kita memiliki tata krama, etika, budi pekerti, adat yang harus kita junjung," jelas Presiden.
Apalagi semburan hoaks dan propaganda Rusia itu diulang-ulang berkali-kali dalam kontestasi pemilihan kepala daerah maupun pemilihan presiden. Meski begitu hal tersebut dilihat Presiden sebagai proses yang mendewasakan masyarakat.
"Es degan saat minum pertama kalinya enak, tapi diberikan terus-terusan, 10 kali sampai 15 kali jadi muntah dan kapok dan tidak minta lagi. Ini sesungguhnya proses mendewasakan kita, mematangkan kita untuk menyaring berita-berita yang tidak baik, mungkin juga bisa memintarkan, memandaikan kita," ungkap Presiden.
Namun Presiden juga melihat bahwa media massa baik cetak maupun elektronik juga cenderung memberitakan berita-berita viral.
"Tapi saya melihat media cetak atau elektronik sering mengikuti apa yang viral, kadang tidak baik juga. Orientasinya saya melihat ke sana, maaf juga tapi jadinya membuat yang aneh-aneh," tambah Presiden.
Meski begitu, Presiden mengakui bahwa semburan hoaks tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia.
"Tapi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, hampir semua kepala negara, pemerintah yang saya temui mengeluhkan ke saya. 'Pak Jokowi, di negara kita ini begini, begini, bagaimana masalah media sosial Indonesia? Saya jawab di Indonesia bisa lebih kejam dari itu, saya jawab (yang terjadi di sana) biasa saja, di sini (Indonesia) lebih kejam," kata Presiden.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2019