Jakarta, 29/1 (ANTARA News) - Salah satu dari beragam isu, wacana dan perdebatan yang mencuat ke publik dalam setiap menjelang pemilihan umum di Indonesia adalah pemilih yang memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya.
Mereka disebut sebagai golongan putih atau golput. Isu ini pun mengiringi rangkaian persiapan Pemilu 2019 yang merupakan pemilu serentak pertama untuk memilih anggota legislatif semua tingkatan sekaligus pemilihan presiden/wakil presiden.
Istilah golput populer di kalangan aktivis mahasiswa tahun 1971. Beberapa tokohnya, seperti Arief Budiman, mencetuskan gerakan moral itu sebagai manifestasi ketidapercayaan atas penyelenggaraan pemilu oleh Orde Baru.
Sebagai gerakan awal, pencapaian 3,4 persen pemilih untuk memilih golput pada Pemilu 1971 memang masih terbilang sangat kecil. Tetapi gerakan ini menjadi tonggak kesadaran kepada masyarakat bahwa ada pilihan lain di antara calon-calon yang ada, yakni memilih untuk tidak memilih.
Walaupun ada penggalangan sekalipun, sikap politik ini diperkirakan tetap ada sepanjang pemilu yang diselenggarakan Orde Baru. Hanya saja jumlahnya pasti kecil dan tidak ada yang mengumumkan karena beragam alasan.
Di masyarakat, gerakan untuk memberikan hak suaranya pada pemilu waktu itu juga tinggi. Bahkan kalau ada warga yang tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS), kadang dicurigai dan jadi bahan "omongan" warga.
Itulah sebabnya, orang yang memilih golput sangat kecil. Tetapi betapa pun sangat kecil, fenomena itu diyakini tetap ada dengan beragam alasan dari orang yang memilih sikap politik itu.
Bahkan ketika rezim berganti tahun 1998 dan pemilu diselenggarakan lebih terbuka dan demokratis, para aktivis kemudian berbalik menganggap golput sudah tak relevan, tetapi fenomena orang memilih golput diyakini masih ada. Justru dengan pemilu yang lebih transparan dan demokratis, golput semakin memiliki pengakuan dengan alasan hak azasi manusia (HAM).
Pada Pemilu 2009, misalnya, menurut data yang sudah banyak dipublikasikan, persentase golput mencapai 34,1 persen. Sedangkan pada Pemilu 2014 sebesar 24,89 persen.
Namun yang perlu lebih dicermati adalah golput itu karena sikap politik yang dilandasi kesadaran atau akibat persoalan administrasi kependudukan dan administrasi penyelenggaraan pemilu sehingga orang tidak bisa menggunakan hak politiknya?
Dari pilkada ke pilkada dan pemilu ke pemilu persoalan administrasi kependudukan dan daftar pemilih tetap (DPT) seringkali diperdebatkan.
Karena itu, sekali lagi, untuk menilai fenomena golput itu sebaiknya dilihat apakah atas kesadaran politik atau persoalan administrasi kependudukan dan administrasi penyelenggaraan pemilu.
Bagaimana dengan Pemilu 2019?
Beberapa pihak memprediksi golput masih merupakan fenomena politik yang patut menjadi perhatian serius pada Pemilu 2019. Sikap politik seperti ini bisa jadi karena masa bodoh dan kekecewaan kepada wakilnya di parlemen dan kekecewaan atas kinerja pemimpin eksekutif.
Orang yang mengambil sikap politik ini menganggap keadaan (kehidupan) tidak lebih baik, pelayanan publik serta penegakan hukum masih mengecewakan dan masalah korupsi.
Keterlibatan politisi dalam kasus hukum dan rendahnya advokasi mereka terhadap persoalan yang ada di masyarakat khususnya di daerah pemilihan (dapil) bisa menjadi dasar orang "ogah" menggunakan hak politiknya.
Penangkapan terhadap wakil rakyat terkait kasus korupsi juga dikhawatirkan mempertebal keyakinan orang untuk tidak datang ke TPS.
Persepsi sebagian orang terhadap politisi dan partai politik sangat didasarkan pada citra dan kinerjanya selama mewakili suara rakyat di lembaga legislatif. Meski yang terlibat kasus hukum itu sangat kecil (yang terungkap) tetapi merusak seluruh nama orang dan partai yang ada di parlemen.
Hal-hal itu yang dinilai akan mempengaruhi minat orang untuk datang ke TPS. Pemilih tak mau datang ke TPS untuk memilih calon koruptor dan partai politik yang ikut memainkan proyek yang ujungnya ke KPK.
Itulah sebabnya Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arief Maulana memperkirakan jumlah golput pada Pilpres 2019 akan mengalami peningkatan dibanding Pilpres 2014. Berdasarkan beberapa hal, tampaknya golput masih akan mewarnai Pemilu 2019.
Fenomena global telah menunjukkan golput menjadi salah satu pilihan warga dunia karena itu merupakan ekspresi dari pilihan mereka terkait pilihan politik.
Golput dipilih sebagai bentuk koreksi dan itu terjadi dimana-mana dan setiap tahunnya berdasarkan data fenomena global jumlah pemilih golput memang mengalami peningkatan termasuk di Indonesia.
Di beberapa negara termasuk Indonesia, pada umumnya warga memutuskan untuk memilih golput sebagai bentuk kekecewaan terhadap pelaksanaan sistem demokrasi dan kinerja wakilnya di parlemen dan pemerintahan. Karena meskipun dibungkus oleh kata "demokrasi" namun masih banyak pelanggaran HAM yang terjadi.
"Selain itu hak warga negara tidak terpenuhi dan korupsi masih banyak terjadi," kata Arief yang menambahkan penilaian itu juga didasarkan pada penilaian global atas pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
Berdasarkan indeks demokrasi di tahun 2018 yang dibuat oleh The Economist Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan 20 peringkat dari peringkat 48 menjadi 68. Penurunan ini sangat tajam dan memang alasannya berdasarkan riset bahwa masyarakat tidak puas dengan sistem demokrasi yang berjalan.
Arief kemudian mengatakan pada Pilpres 2014 masyarakat Indonesia merasa ada harapan baru, namun selama empat tahun terakhir indeks demokrasi Indonesia justru mengalami penurunan.
Dasar Hukum
Berbeda dengan di masa Orde Baru saat ada orang yang memilih goput bisa dikenakan sanksi sosial berupa dikucilkan atau dicurigai, sejak 20 tahun terakhir penyelenggaraan pemilu, sanksi itu tidak lagi bisa diberlakukan. Pemilih memilih ekspresi kebebasan untuk menyatakan sikapnya.
Tidak adanya perangkat hukum dan sosial yang bisa menjadi alat menekan fenomena golput membuat ekspresi orang bisa diwujudkan secara bebas. Tidak ada sanksi sosial, apalagi dipidana.
Pilihan politik golput atau memilih untuk tidak memilih bukan termasuk tindak pidana pemilu karena golput memiliki dasar hukum.
Yakni Pasal 28 e ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang memiliki hak untuk menyatakan pikiran, sikap, yang sesuai dengan hati nuraninya.
Selain itu, Undang Undang Nomor 39/1999 juga mengatur jaminan kepada setiap orang untuk menentukan keyakinan, pandangan, serta sikap politik yang sesuai dengan hati nuraninya. "Maka kalau tersebar hoaks bahwa memilih untuk tidak memilih atau golput adalah tindak pidana, itu jelas keliru karena kita bisa merujuk pada undang-undang yang ada," ujar Arief.
Menurut dia, pilihan politik tidak harus dimaknai dengan memilih salah satu pasangan calon baik calon presiden maupun calon legislatif. Namun ada opsi lain untuk tidak memilih calon manapun yang tidak sesuai dengan hati nurani pemilih.
Hanya saja, yang harus diingat adalah kemerdekaan berekspresi dan berpendapat tetap ada batasannya. Yaitu tidak boleh melanggar undang-undang.
Kemarahan
Bagi Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani, fenomena diskusi tentang golput menjadi lebih terbuka khususnya di ruang media sosial, pascadebat capres 2019 putaran pertama. Golput menjadi salah satu ekspresi yang dipilih oleh warga negara yang merasa kecewa dengan sistem politik elektoral yang ada.
Kekecewaan itu sebaiknya jangan dianggap enteng karena ini semacam pengingat bagi penyelenggara negara dan kontestan politik bahwa ada kekecewaan dan kemarahan masyarakat. Kemarahan masyarakat terkait dengan kinerja dan visi-misi calon pemimpin.
Menurut Yati, golput adalah ekspresi politik yang merupakan hak warga negara akibat sistem politik dan visi-misi calon pemimpin yang tidak berhasil menjawab harapan masyarakat.
Dari telaah kritis itu tampaknya jelas penyebab orang memilih untuk tidak memilih, yakni kesadaran politik atau adanya persoalan administrasi kependudukan dan penyelenggaraan pemilu. Dasar hukum untuk mengambil sikap politik atas kesadaran itu juga dikatakan ada dan kuat.
Karena menganggap dasar hukumnya ada dan kuat, maka tentu tak sedikit pihak yang khawatir fenomena itu meningkat. Peningkatan angka dan persentase golput masih dipandang sebagai tolok ukur keberhasilan penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Itulah sebabnya imbauan dan ajakan untuk menggunakan hak pilih semakin diintensifkan. Pihak-pihak terkait menjanjikan kemudahan bagi pemilih untuk menggunakan hak politiknya
Selain penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu, jajaran pemerintah juga mengamanyekan penggunaan hak pilih. Bahkan beberapa bukan lalu dicetuskan gerakan melindungi hak pilih di seluruh wilayah Indonesia.
Tujuannya adalah meningkatkan angka dan persentase partisipasi pemilih menggunakan hak pilihnya. Meningkatnya angka dan persentase pemilih yang datang ke TPS secara otomatis akan menggerus fenomena golput.
Imbauan dan ajakan menggunakan hak pemilih pada Pemilu 17 April 2019 juga disampaikan berbagai kalangan, termasuk organisasi kemasyarakatan, ulama, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda. Sekali lagi, itu dilakukan demi mendorong minat orang datang ke TPS.
Tingginya minat orang datang ke TPS akan secara otomatis menunjukkan atau membuktikan bahwa pemilu sukses atau berhasil. Tingginya angka partisipasi juga menguatkan legitimasi siapapun pasangan capres dan anggota legislatif yang terpilih.
Salah satunya, Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Sunanto yang telah menyerukan seluruh anggotanya untuk menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2019 dan tidak ikut dalam gerakan golongan putih (golput).
Sunanto menilai golput tidak bisa dihindari dalam Pemilu 2019, khususnya untuk pemilihan presiden dan wakil presiden. Namun menjadi golput bukanlah suatu pilihan yang dapat membawa perubahan lebih baik untuk Bangsa Indonesia.
Dengan adanya dua pasangan capres-cawapres untuk pilpres, Sunanto menilai hal itu sudah melalui proses demokrasi sehingga keterlibatan masyarakat sebagai pemilih harus diutamakan dengan memberikan hak suara pada hari pencoblosan 17 April mendatang.
Pilihan yang disodorkan peserta pemilu atau demokrasi ada dua. Itulah calon yang harus dipilih untuk mencari yang terbaik. Pilihan realitanya harus dipilih dan tidak bisa memilih golput sebagai bagian dari solusi.
Baca juga: Mahfud sebut golput akan rugi secara elektoral
Baca juga: DPR: golput bukan solusi bagi Indonesia
Mereka disebut sebagai golongan putih atau golput. Isu ini pun mengiringi rangkaian persiapan Pemilu 2019 yang merupakan pemilu serentak pertama untuk memilih anggota legislatif semua tingkatan sekaligus pemilihan presiden/wakil presiden.
Istilah golput populer di kalangan aktivis mahasiswa tahun 1971. Beberapa tokohnya, seperti Arief Budiman, mencetuskan gerakan moral itu sebagai manifestasi ketidapercayaan atas penyelenggaraan pemilu oleh Orde Baru.
Sebagai gerakan awal, pencapaian 3,4 persen pemilih untuk memilih golput pada Pemilu 1971 memang masih terbilang sangat kecil. Tetapi gerakan ini menjadi tonggak kesadaran kepada masyarakat bahwa ada pilihan lain di antara calon-calon yang ada, yakni memilih untuk tidak memilih.
Walaupun ada penggalangan sekalipun, sikap politik ini diperkirakan tetap ada sepanjang pemilu yang diselenggarakan Orde Baru. Hanya saja jumlahnya pasti kecil dan tidak ada yang mengumumkan karena beragam alasan.
Di masyarakat, gerakan untuk memberikan hak suaranya pada pemilu waktu itu juga tinggi. Bahkan kalau ada warga yang tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS), kadang dicurigai dan jadi bahan "omongan" warga.
Itulah sebabnya, orang yang memilih golput sangat kecil. Tetapi betapa pun sangat kecil, fenomena itu diyakini tetap ada dengan beragam alasan dari orang yang memilih sikap politik itu.
Bahkan ketika rezim berganti tahun 1998 dan pemilu diselenggarakan lebih terbuka dan demokratis, para aktivis kemudian berbalik menganggap golput sudah tak relevan, tetapi fenomena orang memilih golput diyakini masih ada. Justru dengan pemilu yang lebih transparan dan demokratis, golput semakin memiliki pengakuan dengan alasan hak azasi manusia (HAM).
Pada Pemilu 2009, misalnya, menurut data yang sudah banyak dipublikasikan, persentase golput mencapai 34,1 persen. Sedangkan pada Pemilu 2014 sebesar 24,89 persen.
Namun yang perlu lebih dicermati adalah golput itu karena sikap politik yang dilandasi kesadaran atau akibat persoalan administrasi kependudukan dan administrasi penyelenggaraan pemilu sehingga orang tidak bisa menggunakan hak politiknya?
Dari pilkada ke pilkada dan pemilu ke pemilu persoalan administrasi kependudukan dan daftar pemilih tetap (DPT) seringkali diperdebatkan.
Karena itu, sekali lagi, untuk menilai fenomena golput itu sebaiknya dilihat apakah atas kesadaran politik atau persoalan administrasi kependudukan dan administrasi penyelenggaraan pemilu.
Bagaimana dengan Pemilu 2019?
Beberapa pihak memprediksi golput masih merupakan fenomena politik yang patut menjadi perhatian serius pada Pemilu 2019. Sikap politik seperti ini bisa jadi karena masa bodoh dan kekecewaan kepada wakilnya di parlemen dan kekecewaan atas kinerja pemimpin eksekutif.
Orang yang mengambil sikap politik ini menganggap keadaan (kehidupan) tidak lebih baik, pelayanan publik serta penegakan hukum masih mengecewakan dan masalah korupsi.
Keterlibatan politisi dalam kasus hukum dan rendahnya advokasi mereka terhadap persoalan yang ada di masyarakat khususnya di daerah pemilihan (dapil) bisa menjadi dasar orang "ogah" menggunakan hak politiknya.
Penangkapan terhadap wakil rakyat terkait kasus korupsi juga dikhawatirkan mempertebal keyakinan orang untuk tidak datang ke TPS.
Persepsi sebagian orang terhadap politisi dan partai politik sangat didasarkan pada citra dan kinerjanya selama mewakili suara rakyat di lembaga legislatif. Meski yang terlibat kasus hukum itu sangat kecil (yang terungkap) tetapi merusak seluruh nama orang dan partai yang ada di parlemen.
Hal-hal itu yang dinilai akan mempengaruhi minat orang untuk datang ke TPS. Pemilih tak mau datang ke TPS untuk memilih calon koruptor dan partai politik yang ikut memainkan proyek yang ujungnya ke KPK.
Itulah sebabnya Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arief Maulana memperkirakan jumlah golput pada Pilpres 2019 akan mengalami peningkatan dibanding Pilpres 2014. Berdasarkan beberapa hal, tampaknya golput masih akan mewarnai Pemilu 2019.
Fenomena global telah menunjukkan golput menjadi salah satu pilihan warga dunia karena itu merupakan ekspresi dari pilihan mereka terkait pilihan politik.
Golput dipilih sebagai bentuk koreksi dan itu terjadi dimana-mana dan setiap tahunnya berdasarkan data fenomena global jumlah pemilih golput memang mengalami peningkatan termasuk di Indonesia.
Di beberapa negara termasuk Indonesia, pada umumnya warga memutuskan untuk memilih golput sebagai bentuk kekecewaan terhadap pelaksanaan sistem demokrasi dan kinerja wakilnya di parlemen dan pemerintahan. Karena meskipun dibungkus oleh kata "demokrasi" namun masih banyak pelanggaran HAM yang terjadi.
"Selain itu hak warga negara tidak terpenuhi dan korupsi masih banyak terjadi," kata Arief yang menambahkan penilaian itu juga didasarkan pada penilaian global atas pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
Berdasarkan indeks demokrasi di tahun 2018 yang dibuat oleh The Economist Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan 20 peringkat dari peringkat 48 menjadi 68. Penurunan ini sangat tajam dan memang alasannya berdasarkan riset bahwa masyarakat tidak puas dengan sistem demokrasi yang berjalan.
Arief kemudian mengatakan pada Pilpres 2014 masyarakat Indonesia merasa ada harapan baru, namun selama empat tahun terakhir indeks demokrasi Indonesia justru mengalami penurunan.
Dasar Hukum
Berbeda dengan di masa Orde Baru saat ada orang yang memilih goput bisa dikenakan sanksi sosial berupa dikucilkan atau dicurigai, sejak 20 tahun terakhir penyelenggaraan pemilu, sanksi itu tidak lagi bisa diberlakukan. Pemilih memilih ekspresi kebebasan untuk menyatakan sikapnya.
Tidak adanya perangkat hukum dan sosial yang bisa menjadi alat menekan fenomena golput membuat ekspresi orang bisa diwujudkan secara bebas. Tidak ada sanksi sosial, apalagi dipidana.
Pilihan politik golput atau memilih untuk tidak memilih bukan termasuk tindak pidana pemilu karena golput memiliki dasar hukum.
Yakni Pasal 28 e ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang memiliki hak untuk menyatakan pikiran, sikap, yang sesuai dengan hati nuraninya.
Selain itu, Undang Undang Nomor 39/1999 juga mengatur jaminan kepada setiap orang untuk menentukan keyakinan, pandangan, serta sikap politik yang sesuai dengan hati nuraninya. "Maka kalau tersebar hoaks bahwa memilih untuk tidak memilih atau golput adalah tindak pidana, itu jelas keliru karena kita bisa merujuk pada undang-undang yang ada," ujar Arief.
Menurut dia, pilihan politik tidak harus dimaknai dengan memilih salah satu pasangan calon baik calon presiden maupun calon legislatif. Namun ada opsi lain untuk tidak memilih calon manapun yang tidak sesuai dengan hati nurani pemilih.
Hanya saja, yang harus diingat adalah kemerdekaan berekspresi dan berpendapat tetap ada batasannya. Yaitu tidak boleh melanggar undang-undang.
Kemarahan
Bagi Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani, fenomena diskusi tentang golput menjadi lebih terbuka khususnya di ruang media sosial, pascadebat capres 2019 putaran pertama. Golput menjadi salah satu ekspresi yang dipilih oleh warga negara yang merasa kecewa dengan sistem politik elektoral yang ada.
Kekecewaan itu sebaiknya jangan dianggap enteng karena ini semacam pengingat bagi penyelenggara negara dan kontestan politik bahwa ada kekecewaan dan kemarahan masyarakat. Kemarahan masyarakat terkait dengan kinerja dan visi-misi calon pemimpin.
Menurut Yati, golput adalah ekspresi politik yang merupakan hak warga negara akibat sistem politik dan visi-misi calon pemimpin yang tidak berhasil menjawab harapan masyarakat.
Dari telaah kritis itu tampaknya jelas penyebab orang memilih untuk tidak memilih, yakni kesadaran politik atau adanya persoalan administrasi kependudukan dan penyelenggaraan pemilu. Dasar hukum untuk mengambil sikap politik atas kesadaran itu juga dikatakan ada dan kuat.
Karena menganggap dasar hukumnya ada dan kuat, maka tentu tak sedikit pihak yang khawatir fenomena itu meningkat. Peningkatan angka dan persentase golput masih dipandang sebagai tolok ukur keberhasilan penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Itulah sebabnya imbauan dan ajakan untuk menggunakan hak pilih semakin diintensifkan. Pihak-pihak terkait menjanjikan kemudahan bagi pemilih untuk menggunakan hak politiknya
Selain penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu, jajaran pemerintah juga mengamanyekan penggunaan hak pilih. Bahkan beberapa bukan lalu dicetuskan gerakan melindungi hak pilih di seluruh wilayah Indonesia.
Tujuannya adalah meningkatkan angka dan persentase partisipasi pemilih menggunakan hak pilihnya. Meningkatnya angka dan persentase pemilih yang datang ke TPS secara otomatis akan menggerus fenomena golput.
Imbauan dan ajakan menggunakan hak pemilih pada Pemilu 17 April 2019 juga disampaikan berbagai kalangan, termasuk organisasi kemasyarakatan, ulama, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda. Sekali lagi, itu dilakukan demi mendorong minat orang datang ke TPS.
Tingginya minat orang datang ke TPS akan secara otomatis menunjukkan atau membuktikan bahwa pemilu sukses atau berhasil. Tingginya angka partisipasi juga menguatkan legitimasi siapapun pasangan capres dan anggota legislatif yang terpilih.
Salah satunya, Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Sunanto yang telah menyerukan seluruh anggotanya untuk menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2019 dan tidak ikut dalam gerakan golongan putih (golput).
Sunanto menilai golput tidak bisa dihindari dalam Pemilu 2019, khususnya untuk pemilihan presiden dan wakil presiden. Namun menjadi golput bukanlah suatu pilihan yang dapat membawa perubahan lebih baik untuk Bangsa Indonesia.
Dengan adanya dua pasangan capres-cawapres untuk pilpres, Sunanto menilai hal itu sudah melalui proses demokrasi sehingga keterlibatan masyarakat sebagai pemilih harus diutamakan dengan memberikan hak suara pada hari pencoblosan 17 April mendatang.
Pilihan yang disodorkan peserta pemilu atau demokrasi ada dua. Itulah calon yang harus dipilih untuk mencari yang terbaik. Pilihan realitanya harus dipilih dan tidak bisa memilih golput sebagai bagian dari solusi.
Baca juga: Mahfud sebut golput akan rugi secara elektoral
Baca juga: DPR: golput bukan solusi bagi Indonesia
Pewarta: Sri Muryono
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019