Jakarta (ANTARA News) - Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani menyebutkan fenomena diskusi tentang golput menjadi lebih terbuka khususnya di ruang media sosial pascadebat capres putaran pertama.
"Pascadebat tersebut kita lihat diskursus (golput) itu begitu mulai banyak meningkat dan terbuka dibicarakan di ruang publik," kata Yati di Gedung YLBHI Jakarta, Rabu.
Menurut Yati, golput bisa menjadi salah satu ekspresi yang dipilih oleh warga negara yang merasa kecewa dengan sistem politik elektoral yang ada.
"Saya hanya ingin mengatakan supaya jangan anggap enteng fenomena golput ini, karena ini semacam pengingat bagi penyelenggara negara dan kontestan politik bahwa ada kekecewaan dan kemarahan masyarakat," kata Yati.
Yati melanjutkan kemarahan masyarakat terkait dengan kinerja petahana maupun dari kandidat lain yang memiliki visi dan misi serta kebijakan politik yang dinilai kurang jelas.
"Hal ini semakin dikuatkan ketika kita lihat dalam debat pilpres putaran pertama bahwa substansi HAM, korupsi dan terorisme yang seharusnya dibahas malah jauh dari harapan," ujar Yati.
Yati mengatakan bahwa golput adalah ekspresi politik yang merupakan hak warga negara, akibat sistem politik dan pasangan calon yang tidak berhasil menjawab harapan masyarakat.
"Karena golput adalah hak, maka ini wajib dilindungi oleh negara atau negara tidak boleh merintangi apabila masyarakat menggunakan ekspresi politiknya untuk memilih golput," kata Yati.
Baca juga: LBH Jakarta prediksi pemilih golput meningkat di Pilpres 2019
Baca juga: LBH sebut golput punya dasar hukum
Baca juga: Debat capres diharapkan turunkan angka golput
"Pascadebat tersebut kita lihat diskursus (golput) itu begitu mulai banyak meningkat dan terbuka dibicarakan di ruang publik," kata Yati di Gedung YLBHI Jakarta, Rabu.
Menurut Yati, golput bisa menjadi salah satu ekspresi yang dipilih oleh warga negara yang merasa kecewa dengan sistem politik elektoral yang ada.
"Saya hanya ingin mengatakan supaya jangan anggap enteng fenomena golput ini, karena ini semacam pengingat bagi penyelenggara negara dan kontestan politik bahwa ada kekecewaan dan kemarahan masyarakat," kata Yati.
Yati melanjutkan kemarahan masyarakat terkait dengan kinerja petahana maupun dari kandidat lain yang memiliki visi dan misi serta kebijakan politik yang dinilai kurang jelas.
"Hal ini semakin dikuatkan ketika kita lihat dalam debat pilpres putaran pertama bahwa substansi HAM, korupsi dan terorisme yang seharusnya dibahas malah jauh dari harapan," ujar Yati.
Yati mengatakan bahwa golput adalah ekspresi politik yang merupakan hak warga negara, akibat sistem politik dan pasangan calon yang tidak berhasil menjawab harapan masyarakat.
"Karena golput adalah hak, maka ini wajib dilindungi oleh negara atau negara tidak boleh merintangi apabila masyarakat menggunakan ekspresi politiknya untuk memilih golput," kata Yati.
Baca juga: LBH Jakarta prediksi pemilih golput meningkat di Pilpres 2019
Baca juga: LBH sebut golput punya dasar hukum
Baca juga: Debat capres diharapkan turunkan angka golput
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019