Jakarta (ANTARA News) - Pakar Hukum dari Pusat Studi Konstitusi (Pusako) FH Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan debat capres cawapres bukanlah sebuah acara televisi (TV show) yang sudah memiliki skenario.
"Debat capres ini fungsinya untuk menggali kapasitas paslon dalam mengurai permasalahan, tapi kalau semua diatur dan ada skenario namanya jadi 'tv show'," ujar Feri ketika dihubungi Antara di Jakarta, Minggu.
Feri mengatakan hal tersebut ketika menanggapi metode dan format debat yang berbeda, karena kisi-kisi pertanyaan sudah diberikan jauh-jauh hari sebelum debat digelar. Selain itu adanya kesepakatan untuk tidak membahas kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan kasus korupsi secara spesifik di dalam debat.
Baca juga: Bocoran kisi-kisi debat pilpres turunkan kualitas demokrasi
"Debat ini digelar supaya publik bisa menilai kemampuan para calon, tapi kalau sudah dibatasi tentu debat akan menjadi hambar," kata Feri.
Masyarakat dikatakan Feri mengharapkan para paslon dapat menjawab permasalahan pelanggaran HAM dan korupsi, namun justru permasalahan ini yang dibatasi.
Dengan adanya pembahasan kasus yang dibatasi, Feri menilai akan menyebabkan publik atau calon pemilih tidak dapat melihat secara komprehensif bagaimana kapasitas para capres dalam menilai suatu masalah.
Baca juga: Aktivis sebut kesepakatan debat capres menyimpang amanat reformasi
Feri kemudian menilai pengaturan atau format debat yang digagas sedemikian rupa pada akhirnya hanya untuk memuaskan paslon, bukan untuk memuaskan penonton yang notabene adalah masyarakat Indonesia, yang menginginkan jawaban konkret atas perkara korupsi dan HAM.
"Jadi ini seperti sia-sia kalau semua sudah diatur, kasus-kasus spesifik tidak boleh dibahas, ini sangat aneh," pungkas Feri.
"Debat capres ini fungsinya untuk menggali kapasitas paslon dalam mengurai permasalahan, tapi kalau semua diatur dan ada skenario namanya jadi 'tv show'," ujar Feri ketika dihubungi Antara di Jakarta, Minggu.
Feri mengatakan hal tersebut ketika menanggapi metode dan format debat yang berbeda, karena kisi-kisi pertanyaan sudah diberikan jauh-jauh hari sebelum debat digelar. Selain itu adanya kesepakatan untuk tidak membahas kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan kasus korupsi secara spesifik di dalam debat.
Baca juga: Bocoran kisi-kisi debat pilpres turunkan kualitas demokrasi
"Debat ini digelar supaya publik bisa menilai kemampuan para calon, tapi kalau sudah dibatasi tentu debat akan menjadi hambar," kata Feri.
Masyarakat dikatakan Feri mengharapkan para paslon dapat menjawab permasalahan pelanggaran HAM dan korupsi, namun justru permasalahan ini yang dibatasi.
Dengan adanya pembahasan kasus yang dibatasi, Feri menilai akan menyebabkan publik atau calon pemilih tidak dapat melihat secara komprehensif bagaimana kapasitas para capres dalam menilai suatu masalah.
Baca juga: Aktivis sebut kesepakatan debat capres menyimpang amanat reformasi
Feri kemudian menilai pengaturan atau format debat yang digagas sedemikian rupa pada akhirnya hanya untuk memuaskan paslon, bukan untuk memuaskan penonton yang notabene adalah masyarakat Indonesia, yang menginginkan jawaban konkret atas perkara korupsi dan HAM.
"Jadi ini seperti sia-sia kalau semua sudah diatur, kasus-kasus spesifik tidak boleh dibahas, ini sangat aneh," pungkas Feri.
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019