Jakarta (ANTARA News) - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid berpendapat kesepakatan untuk membatasi pembahasan kasus hak asasi manusia (HAM) dalam debat capres putaran pertama adalah hal menyimpang dari amanat reformasi.
"Kesepakatan dalam debat itu jelas menyimpang dan secara ketatanegaraan keliru," ujar Usman ketika dihubungi Antara di Jakarta, Sabtu.
Usman mengatakan perumusan mulai dari amandemen, Ketetapan MPR, hingga undang-undang mewajibkan negara, badan peradilan, maupun badan legislatif untuk menyelesaikan seluruh perkara HAM baik yang terjadi di masa lalu, maupun yang berpotensi terjadi di masa yang akan datang.
Kesepakatan yang dibuat untuk debat capres cawapres putaran pertama itu dinilai Usman adalah hal yang sangat serius, karena Indonesia membutuhkan pemimpin yang bisa menjalankan amanat reformasi, bukan pemimpin atau kekuatan politik yang sejak awal sudah menyepakati untuk tidak menyentuh masalah HAM.
Dengan dibuatnya kesepakatan untuk membatasi bahkan tidak membahas beberapa kasus spesifik terkait pelanggaran HAM di masa lalu, Usman berpendapat hal tersebut hanya untuk memberikan konfirmasi bahwa perkara HAM bukanlah hal yang menjadi perhatian dua pasangan calon.
"Padahal HAM adalah persoalan fundamental, dan kesepakatan itu menyimpang dari garis bernegara," tambah Usman.
Baca juga: Kontras katakan debat calon presiden putaran pertama seperti uji coba
Setiap pasangan calon tentu bisa memiliki visi dan misi yang spesifik dan variatif, namun tidak boleh keluar dari fundamental dasar dalam berbangsa dan bernegara yang salah satunya adalah HAM dan pemberantasan korupsi, kata Usman.
"Kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu dan yang berpotensi terjadi di masa depan, adalah perkara nyata yang tidak hanya membutuhkan pernyataan retorika untuk menyampaikan visi dan misi," pungkas Usman.
Baca juga: Kontras: Tema debat capres 2019 lebih rinci
Baca juga: Pentingkah isu penegakan HAM dalam debat capres?
"Kesepakatan dalam debat itu jelas menyimpang dan secara ketatanegaraan keliru," ujar Usman ketika dihubungi Antara di Jakarta, Sabtu.
Usman mengatakan perumusan mulai dari amandemen, Ketetapan MPR, hingga undang-undang mewajibkan negara, badan peradilan, maupun badan legislatif untuk menyelesaikan seluruh perkara HAM baik yang terjadi di masa lalu, maupun yang berpotensi terjadi di masa yang akan datang.
Kesepakatan yang dibuat untuk debat capres cawapres putaran pertama itu dinilai Usman adalah hal yang sangat serius, karena Indonesia membutuhkan pemimpin yang bisa menjalankan amanat reformasi, bukan pemimpin atau kekuatan politik yang sejak awal sudah menyepakati untuk tidak menyentuh masalah HAM.
Dengan dibuatnya kesepakatan untuk membatasi bahkan tidak membahas beberapa kasus spesifik terkait pelanggaran HAM di masa lalu, Usman berpendapat hal tersebut hanya untuk memberikan konfirmasi bahwa perkara HAM bukanlah hal yang menjadi perhatian dua pasangan calon.
"Padahal HAM adalah persoalan fundamental, dan kesepakatan itu menyimpang dari garis bernegara," tambah Usman.
Baca juga: Kontras katakan debat calon presiden putaran pertama seperti uji coba
Setiap pasangan calon tentu bisa memiliki visi dan misi yang spesifik dan variatif, namun tidak boleh keluar dari fundamental dasar dalam berbangsa dan bernegara yang salah satunya adalah HAM dan pemberantasan korupsi, kata Usman.
"Kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu dan yang berpotensi terjadi di masa depan, adalah perkara nyata yang tidak hanya membutuhkan pernyataan retorika untuk menyampaikan visi dan misi," pungkas Usman.
Baca juga: Kontras: Tema debat capres 2019 lebih rinci
Baca juga: Pentingkah isu penegakan HAM dalam debat capres?
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019